Mohon tunggu...
Duta Krisna
Duta Krisna Mohon Tunggu... Penulis - Balinese

Perpaduan seni dan kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menelisik Potensi "Ladang" Petani Indonesia

15 Juni 2019   19:41 Diperbarui: 15 Juni 2019   19:51 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Satu Biji Beras Sama Dengan Seribu Kerigat Petani". Kalimat ini merupakan suatu gambaran jelas bagaimana kerasnya usaha seorang petani untuk menghasilkan beras yang menjadi bahan pangan nomor satu di Indonesia. Dalam pengandaian itu, dapat kita rasakan bahwa pengorbanan petani terhadap kita semua tentu sudah tidak ternilai lagi harganya dan sudah sepatutnya kita merasa berhutang atas apa yang telah mereka hasilkan dan telah kita nikmati selama ini.

Banyak orang beranggapan bahwa petani itu identik dengan kemiskinan. Hal itu tidak salah, karena pada kenyataannya di Indonesia petani memang barang murah dalam sudut pandang ekonomi. Bahkan dalam pernyataan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat berkunjung ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tanggal 6 September 2017 dalam rangka Dies Natalies IPB menyampaikan bahwa lulusan IPB kini hanya tinggal gelar dan sangat jarang yang mengarah ke pertanian. Bahkan disebutkan kebanyakan lulusan IPB justru berbelok ke arah kerja yang lain seperti bank pada BUMN dan manager pada perusahaan-perusahaan swasta lainnya.

Dari kasus IPB yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa memang sudah menjadi suatu pandangan yang lumrah tentang "Petani adalah untuk rakyat miskin". Banyak orang di Indonesia yang memandang sebelah mata pekerjaan sebagai petani karena berbagai alasan. Ada yang berasumsi bahwa menjadi petani itu tidak sehat karena selalu berdampingan dengan lumpur dan kotoran, ada yang berpandangan bahwa petani itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa berfikir -- orang tidak tamat SD saja bisa jadi petani --, dan bahkan kini angka kesejahteraan petani di Indonesia sangatlah rendah.

Seperti yang dikatakan mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar (2017) bahwa pada saat ini masih ada 39 juta petani yang miskin dan tidak punya lahan memadai. (Petani) rata-rata hanya punya lahan di bawah 500 meter. Jika tidak ada lahan para petani ini memilih lari dari kenyataan. Dan ini alasan mengapa petani kita tidak bisa berkembang layaknya petani luar yang terus bertambah kesejahteraan hidupnya, baik dari segi ekonomi, kehidupan yang layak serta tidak didukungnya petani lokal dalam mengembangkan dam menumbuhkan usaha mereka.

Pada kenyataannya sektor agraria Indonesia yang identik dengan pertanian masih sangat kurang dalam hal penentuan nasib serta angka kelayakan hidup bagi petani. Kesenjangan hidup masih sangat terasa bagi mereka yang menekuni profesi sebagai petani. Indonesia memiliki memori yang pernah diciptakan pada era orde lama, tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang yang ditulis pada tahun 1960 ini menjanjikan suatu kegembiraan pada Indonesia khususnya pada petani. 

Pada undang-undang ini secara jelas dituliskan bahwa "meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk kemakmuran dan kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutana rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur". Dalam kalimat yang telah dicetak tebal, dinyatakan bahwa kemakmuran dan keadilan yang dibuat pada undang-undang ini ialah dikhususkan untuk para tani Indonesia. 

Namun dari masa feodal hingga berkuasanya masa reformasi, kesenjangan masih tetap dirasakan oleh rakyat tani. Bagaimana tidak, meskipun ada institut yang secara gamblang di cap memiliki tanggung jawab dibidang pertanian, namun masih saja menyimpang dari sasaran yang seharusnya dicapai tentang dunia pertanian. Harapan tentang akademisi yang langsung mengurus dan menghidupkan kembali sektor pertanian, justru mereka yang kurang pengetahuan tentang pertanian yang lebih banyak memilih untuk menekuni dunia pertanian.

Laporan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS yang digelar Agustus 2016 menyebutkan 37,8 juta orang bekerja pada sektor pertanian. Dalam laporan itu diketahui pekerja pertanian paling banyak adalah lulusan SD 39,4 persen dan tak tamat SD 30 persen. Lulusan SMP hanya 16,6 persen, lulusan SMA/SMK 12.8 persen. 

Mereka yang lulus perguruan tinggi hanya 1,3 persen. Dari survei tersebut jelas bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bekerja pada sektor pertanian masih sangat rendah, hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo, di mana sebagian lulusan IPB yang merupakan SDM unggul di bidang pertanian malah berbelok arah ke sektor lain.

Sebagai bangsa yang ingin maju dan ingin mewujudkan keadilan sosial harus dapat mengentaskan permasalahan disektor agraria khususnya pertanian yang menyangkut langsung tentang kelangsungan hidup para petani. Dengan mendukung program pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia menjadi negara maju -- Sustainable Development Goals (SDGs) -- yang tercantum dalam tujuan kedua dari 17 pilar SDGs tentang "Tanpa Kelaparan" yang didefinisikan menjadi Menghilangkan Kelaparan, Mencapai Ketahanan Pangan Dan Gizi Yang Baik, Serta Meningkatkan Pertanian Berkelanjutan, maka penulis bermaksud untuk menggali lebih dalam mengenai tujuan SDGs tersebut.

Dalam tujuan kedua SDGs tentang "Tanpa Kelaparan" ini, terdapat beberapa poin yang tercantun dalam buku ringkasan metadata indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), dan dalam indikator nomor 2.3.1 dan nomor 2.3.2 disebutkan tentang rupiah per tenaga dan rata-rata produsen pertanian skala kecil menurut jenis dan status adat. Hal ini sangat berkaitan dengan pertayaan "bagaimana meningkatkan kualitas hidup petani dengan meninjau dari segi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup" yang kini secara perlahan dijawab oleh pemerintah melalui program kerja Kementerian Pertanian Republik Indonesia tentang peningkatan kedaulatan pangan yang juga merupakan point ke-7 dari agenda Nawacita Presiden Joko Widodo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun