Hari ini, 23 April 2024 menjadi hari yang luar bagi umat manusia sang pembelajar sampai akhir hayat ialah hari Buku seDunia. Bagaimana cara pandang terhadap buku di depan matamu? Atau buku yang bertumpuk di atas mejamu? Bagaimana sikap pemuda sang pembelajar dalam menyikapi ilmu pengetahuan masa kini?
Perlu kiranya kita mengenali sejarah sebuah masa ke emasan ilmu pengetahuan sekaligus masa keharuan bagi ilmu pengetahuan dengan bersama kembali memandang dan menuai sikap tentang sejarah rumah kebijaksanaan.
Perpustakaan Bagdad, juga dikenal sebagai Rumah Kebijaksanaan, berdiri sebagai bukti pencarian pengetahuan yang abadi sepanjang sejarah manusia. Warisannya melampaui waktu, melambangkan perpaduan budaya yang beragam, keingintahuan intelektual, dan pelestarian kebijaksanaan. Dalam artikel ini, kami mempelajari kekayaan sejarah, signifikansi global, dan relevansi kontemporer Perpustakaan Bagdad.
Sejarah
Didirikan pada Zaman Keemasan Islam pada abad ke-8, Perpustakaan Bagdad berfungsi sebagai pusat beasiswa, penyelidikan ilmiah, dan pertukaran budaya. Didirikan oleh Khalifah Al-Mansur, ia berkembang di bawah penguasa berikutnya seperti Al-Ma'mun, yang secara aktif mendorong penerjemahan teks Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Para sarjana dari berbagai latar belakang berkumpul di sini, melampaui hambatan geografis dan bahasa untuk memajukan pemahaman manusia.
Penghancuran Perpustakaan Bagdad
Masa keemasan Islam terjadi pada abad ke-8 dan ke-11, masa ketika banyak bermunculan sarjana dan filsuf yang memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan modern. Pada periode ini, beberapa kota di Timur Tengah menjadi pusat ilmu pengetahuan, salah satunya adalah Bagdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah.
Bagdad yang juga dikenal dengan Rumah Kebijaksanaan (Bayt al-Hikma) merupakan sebuah lembaga intelektual yang didirikan pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (813-833). Lembaga ini terkenal karena kontribusinya yang signifikan terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk matematika, astronomi, dan kedokteran. Rumah Hikmah merupakan tempat para ulama dari berbagai latar belakang dan agama untuk bertukar pikiran dan ilmu.
Sayangnya, pusat pengetahuan ini dihancurkan pada tahun 1257 oleh bangsa Mongol selama penaklukan mereka di Timur Tengah. Saat itu, Mongke Khan, pemimpin Kerajaan Mongol, menuntut agar Kekhalifahan Abbasiyah menyerah. Namun, ketika Khalifah menolak, bangsa Mongol menyerang dan menaklukkan Bagdad, yang mengakibatkan kematian ratusan ribu orang dan hancurnya harta kota.
Bangsa Mongol menghancurkan Rumah Kebijaksanaan, membakar dan menjarah isinya. Menurut “Rumah Kebijaksanaan: Bagaimana Ilmu Pengetahuan Arab Menyelamatkan Pengetahuan Kuno dan Memberi Kita Renaisans” (2011), bangsa Mongol menghancurkan ribuan manuskrip berharga, hasil kerja keras para sarjana, dengan cara dibakar atau dibuang ke Sungai Tigris. . Sungai menjadi hitam karena tinta dari buku, bahkan ada yang menyatakan bahwa jumlah buku yang dibuang ke sungai sangat banyak sehingga bisa membentuk jembatan di seberang sungai.
Penghancuran Rumah Hikmah menandai berakhirnya masa keemasan Islam dan awal kemundurannya dalam upaya intelektual. Hilangnya pusat ilmu pengetahuan ini merupakan pukulan telak bagi dunia Islam, dan butuh waktu berabad-abad untuk memulihkannya.
Peran di Dunia
Perpustakaan Bagdad memainkan peran penting dalam membentuk jalannya peradaban manusia. Ini berfungsi sebagai mercusuar pencerahan, di mana ide-ide dari Timur dan Barat bertemu, menghasilkan kemajuan luar biasa di berbagai bidang seperti matematika, astronomi, kedokteran, filsafat, dan sastra. Gerakan penerjemahan memfasilitasi penyebaran pengetahuan melintasi benua, meletakkan dasar bagi Renaisans di Eropa dan mempengaruhi perkembangan intelektual selama berabad-abad mendatang.
Pelajaran untuk pemuda Masa Kini
Warisan Perpustakaan Bagdad menyimpan pelajaran berharga bagi generasi muda masa kini. Hal ini menekankan pentingnya rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, dan dialog lintas budaya dalam mendorong inovasi dan kemajuan. Dengan merangkul keberagaman dan kolaborasi, generasi muda dapat melampaui batasan dan berkontribusi pada dunia yang lebih terhubung dan tercerahkan. Selain itu, pelestarian pengetahuan menggarisbawahi perlunya investasi di bidang pendidikan dan warisan budaya, untuk memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses terhadap kekayaan kearifan manusia.
Kesimpulan
Kesimpulannya, Perpustakaan Bagdad berdiri sebagai simbol kecerdikan manusia dan pencarian pengetahuan yang tak lekang oleh waktu. Warisannya berfungsi sebagai pengingat akan kekuatan ide yang transformatif dan nilai abadi dari pertukaran intelektual. Saat kita merenungkan signifikansi historis dan relevansinya saat ini, marilah kita mengambil inspirasi dari semangat berkarya dan kolaborasi yang mendefinisikan institusi luar biasa ini. Dengan menghormati warisan Perpustakaan Bagdad, kita dapat bercita-cita membangun dunia yang lebih tercerahkan dan harmonis untuk generasi mendatang.
Referensi
• Kennedy, Hugh. Nabi dan Zaman Kekhalifahan: Timur Dekat Islam dari Abad ke-6 hingga ke-11 . Routledge, 2016.
• Lyons, Jonathan. Rumah Kebijaksanaan: Bagaimana Sains Arab Menyelamatkan Pengetahuan Kuno dan Memberi Kita Renaisans . Bloomsbury Pers, 2010.
• Al-Hassani, Salim TS dkk. "1001 Penemuan: Warisan Muslim di Dunia Kita." Geografi Nasional, 2012.
• Rosenthal, Franz. Warisan Klasik dalam Islam . Routledge, 2014.
• “Perpustakaan Bagdad.” Britannica.com.
• "Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa." Fernando Baez.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H