Â
Semua jurusan pasti memiliki alasan sendiri mengapa mahasiswa mereka sulit untuk lulus kuliah, termasuk departemen Ilmu Sejarah.
Menurut Rian yang merupakan salah satu alumni dari jurusan Ilmu Sejarah di univesitas ternama di Jawa Tengah ini mengatakan, banyak teman-teman mereka sulit untuk lulus tepat waktu. Ada banyak faktor yang menyababkan hal itu terjadi, mulai dari kepribadian mahasiswanya sendiri hingga terganjal karena tidak mendapatkan sumber sejarah untuk skripsi.
Yaps, Rian mengakui, salah satu kesulitan yang sering dialami oleh teman-temannya kala itu adalah mencari sumber premier untuk penulisan skripsi. Kala itu, banyak dosen yang menyuruh mahasiswanya untuk mencari dan mendapatkan sumber premier sesuai dengan tema penelitian mereka.
Adapun sumber premier yang perlu dicari bisa berupa wawancara dengan narasumbernya yang menjadi pelaku sejarah, surat keterangan (sesuai peristiwa), hingga melansir dari berbagai pemberitaan koran/media lainya yang disesuaikan dengan periode pembahasan skripsi.
Bersyukur bagi mereka yang masih bisa wawancara dengan narasumber pelaku sejarah. Mereka yang bisa bertemu dengan narasumber bisa mengorek lebih dalam mengenai peristiwa sejarah yang sedang diteliti.
Namun, beda cerita bagi mereka yang narasumbernya sudah dipanggil oleh sang pencipta. Salah satu cara agar skripsi mereka bisa terselesaikan adalah dengan mencari sumber premier berupa tulisan, kepingan koran, dan lainnya.
Mencari sumber premier berupa tulisan atau kepingan koran masa lalu bukan perkara mudah. Budaya masyarakat Indonesia yang tidak terlalu peduli terhadap sistem pengasipan menjadi kendala tersendiri bagi mahasiswa jurusan Sejarah. Â Â Â Â
Rian ingat betul untuk mencari sumber skripsi, ia harus mengunjungi kantor berita cetak ternama di kota Semarang.
Sesampainya di sana, memang seluruh edisi koran tersebut terkumpul dengan dengan baik. Namun untuk mencari apa yang Rian inginkan bukan perkara mudah. Karena Rian harus membuka lembar demi lembar dan membaca kolom demi kolom untuk mendapatkan data yang dicari.
Layaknya mencari jarum ditumpukan jerami, Rian sangat sulit mendapatkan data dari ribuan tumpukan koran lama. Bahkan setelah dua hari, data yang dicari tidak kunjung untuk didapatkan.
"Asyu enggak dapet," umpat Rian dalam hati.
Karena kesal tidak mendapatkan apa yang dicari, Rian memutuskan untuk pergi kantor Harian Kompas di Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, Rian bersama temannya asal Bintaro segera berkunjung ke kantor Harian Kompas di Palmerah Jakarta Pusat.
Berpakaian ala mahasiswa yang petatang-peteteng, ia memasuki komplek Kompas Gramedia. Di dalam komplek tersebut terdapat banyak sekali lini bisnis dari Kompas Gramedia, mulai dari Harian Kompas, Kompas Tv, Tribunnews, Gramedia, dan lainnya.
Setelah mendapatkan arahan dari petugas keamanan setempat, ia segera menuju gedung di depan Gedung Bentera Budaya atau seberangnya Menara Kompas.Â
Puji syukur, pegawai di gedung yang dituju memberikan pelayanan baik bagi mahasiswa yang sedang mencari data untuk skripsi.
Kemudian, mereka berdua diarahkan naik ke lantai 3 (kalau tidak salah) untuk bertemu dengan bagian Litbang Kompas. Saat berada di lift, dalam benak Rian berkata "Apa sistem pengarsipan Kompas sama seperti  koran yang di Semarang yah. Jangan sampe kaya gitu deh repot banget pastinya nyarinya."
Perasangka Rian tidak terbukti. Ia dan temannya sama sekali tidak menemukan tumpukan koran lama. Masih tergambar dalam benaknya, kala itu, hanya ada tumbukan koran berusia baru dari Harian Kompas dan beberapa koran dari seperti dari Warta Kota, Tribun, dan Kontan.
"Mas mau nyari data skripsi yah? Silahkah duduk di depan komputer itu mas, nanti saya ajarkan cara mencarinya," ujar salah satu petugas di sana.
Mendengar perintah itu, mereka berdua segera duduk di depan komputer yang telah disediakan. Pada layar komputer, mereka ditampilkan halaman website pencarian arsip Harian Kompas.Â
Petugas yang mengantarkan Rian dan temannya pun dengan senang hati membantu mereka untuk mencari data yang diinginkan.
"Jadi gini, kamu tinggal masukan kata kunci yang diinginkan lalu pilih periode waktu dan jika data yang dicari tersedia, maka (data) akan muncul dengan sendirinya," kata petugas itu.
Tanpa pikir panjang, Rian segera memasukan kata kunci yang ingin dicarinya yakni "Wayang Orang Bharata". Temannya pun juga mencari kata kunci lain yakni "Bengkel Teater WS Rendra"
Setelah di-enter, Rian pun sontak terkaget-kaget karena data yang dicarinya keluar semua. Kurang lebih ada 100an data mengenai Wayang Orang Bharata. Data-data tersebut merupakan hasil tulisan wartawan yang dimuat di Harian Kompas.
"Wah anjir banyak bener," ujar Rian.
"Gue juga banyak bener ini," ungkap temennya.
Tanpa pikir panjang lagi, Rian dan temannya segera membaca data tersebut satu persatu. Senang tiada tara, data tersebut menghadirkan seluruh informasi yang dibutuhkan Rian dan temannya. Bahkan, berkat data tersebut gelar sarjana Humaniora sukses diraih oleh Rian.Â
Menurut Rian, upaya Harian Kompas melakukan digitalisasi arsip patut diapresiasi. Sebab, mereka yang sedang melakukan penelitian tidak perlu lagi membuka lembar koran satu persatu, namun dengan memasukan kata kunci yang tepat maka seluruh data akan ditampilkan.
Rian sadar betul untuk membuat sistem pengarsipan seperti ini bukan perkara mudah. Bayangkan saja, mulai dari cetakan pertama Harian Kompas tangun 1965 sampai hari ini harus dilakukan digitalisasi dan penulisan ulang sesuai dengan ejaan baru agar memudahkan pencarian. Siapapun yang ingin mecari data tidak perlu membuka lembar koran satu persatu, hanya butuh memasukkan kata kunci yang diinginkan maka berbagai bahan akan segera muncul.Â
Terima kasih Harian Kompas upayamu melakukan digitalisasi arsip sangat bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H