Sumber: "Mendjeladjah Nusantara", Kompas, 7 September 1967.
Kesuksesan WO Pantja Murti tidak hanya terbukti dari adanya dua cabang yang dimiliki oleh Soejono sebagai pendiri. Pada 1969 dibuka lagi cabang di daerah Lampung dengan nama WO Pantja Murti III. Pada saat itu WO Pantja Mutri III masih kekurangan pemain. Kekurangan pemain yang dihadapi oleh WO Pantja Murti III menyebabkan beberapa pemain yang berada di WO Pantja Murti I dan WO Pantja Murti II dikirim ke WO Pantja Murti III untuk membantu pementasan. Salah satu pemain yang dikirim ke Lampung pada 1970 adalah Marsam yang pada tahun 1967 berada di WO Pantja Murti II. Dalam pementasannya WO Pantja Murti III mengikuti gaya pementasan WO Pantja Murti II dengan cara berkeliling untuk menghibur para penonton yang ada Lampung dan Palembang.
Pendirian WO Pantja Murti III bukan untuk membuka peluang bisnis baru, melainkan untuk menghibur para pensiunan TNI AD yang berada di daerah Poncowati, Lampung dan mengobati rasa rindu terhadap kampung halaman para pensiunan TNI terhadap tanah kelahiran mereka di Jawa. Ketika WO Pantja Murti yang dikirim untuk menghibur para pensiunan TNI AD di Lampung telah selesai dan bersiap untuk kembali ke Jakarta, mereka tertahan karena ada beberapa usul dari pensiunan TNI agar para pemain WO Pantja Murti yang dikirim ke Lampung tetap berada di Pulau Sumatra dan melakukan pementasan dengan cara berkeliling, sehingga para pensiunan tidak usah jauh-jauh harus ke Pulau Jawa untuk menikmati kesenian khas Jawa. Menyikapi permintaan tersebut, Soejono mengizinkan untuk membentuk WO Pantja Murti III di Lampung.
Untuk pementasan WO Pantja Murti III diberikan sedikit modal oleh para pensiunan TNI AD. Selain modal yang diberikan untuk menggelar suatu pertunjukan di suatu kawasan, pasti dibutuhkan surat izin. Proses pembuatan surat izin untuk menggelar pertunjukan WO Pantja Murti III juga dibantu oleh para pensiunan, agar surat izin tersebut cepat keluar dan WO Pantja Murti III segera melakukan pertunjukan.
Setiap grup seni pertunjukan pasti membutuhkan biaya untuk produksi dan gaji para pemain. Pembiayaan WO Pantja Murti I, WO Pantja Murti II, dan WO Pantja Murti III diperoleh dari tiket para penonton. Sumber pembiayaan itu juga berasal dari masyarakat, karena beberapa kali WO Pantja Murti pernah diundang untuk mengisi undangan-undangan yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa. Pemerintah tidak membantu dana untuk pertunjukan, karena WO Pantja Murti merupakan milik perorangan bukan milik pemerintah. Selain, itu apabila suatu pertunjukan WO Pantja Murti di beberapa cabangnya mengalami sepinya penonton, biasanya para pemimpin cabang akan melapor ke pusat yang berada di WO Pantja Murti I. Nanti dari pusat akan menanggung kekurangan biaya yang dialami oleh setiap cabang.
Kepengurusan WO Pantja Murti di setiap cabang diketuai oleh seseorang yang dipercaya untuk mengelolanya. Pusat WO Panjta Murti berada di Jakarta, dengan pemimpin tertinggi B. Soejono dan pemimpin harian Pungut Indra. Dalam melakukan pementasan dan membuat skenario yang dibutuhkan dalam pementasan dipercayakan kepada Soetjipto, Samsoe, dan sutradara dipercayakan kepada Sukiman.
Dalam perkembangannya ada beberapa pengurus yang dipindahkan ke cabang lain, seperti Samsoe dipindahkan ke WO Pantja Murti III dan Pungut Indra ke WO Pantja Murti II.
Sementara itu, untuk bagian dekorasi, tata panggung dan sebagainya dipercayakan kepada Tohir dan Sudarno. Bagian keamanan dikepalai oleh Soemardi. Ketika itu banyak para pemain WO Pantja Murti I yang tinggal di gedung pertunjukan. Untuk itu sistem keamanannya dijaga secara bergantian oleh para pemuda-pemuda yang berada dan menjadi bagian dari WO Pantja Murti I, di bawah pengawasan Soemardi.
Sementara itu, untuk di WO Pantja Murti II Djatminah ditunjuk sebagai ketua, Padmo Joned sebagai sutradara, dan Slamet sebagai dekorasi. Pungut Indra yang pernah menjadi ketua harian di WO Pantja Murti I juga pernah dipindahkan ke WO Pantja Murti II untuk menjadi ketua cabang menggantikan Djatminah. Untuk WO Pantja Murti III diketuai oleh Soeprapto, sutradara oleh Samsoe, dan koordinator dekorasi oleh Untung.
Tahun 1971 dan 1972 adalah masa kemuduran WO Pantja Murti, karena para pemain senior mulai banyak keluar dan mendirikan grup wayang orang sendiri yang bernama Warga Muda dan Jaya Budaya. Â Kepergian anggota senior mengakibatkan WO Pantja Murti kurang diminati oleh para penonton. Akhirnya para pengelola WO Pantja Murti membuat sebuah terobosan baru dengan mengadakan undian berhadiah kepada para penonton, agar penonton kembali lagi ke WO Pantja Murti.
Namun, sangat disayangkan ide tersebut malah membawa dampak negatif bagi WO Pantja Murti. Banyak penonton yang hanya menginginkan undian tersebut, tetapi tidak ingin menonton pertunjukan dan dapat dikatakan undian tersebut bernuansa judi.