Mohon tunggu...
Durrotun Fatihah
Durrotun Fatihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Asuh Anak Pernikahan Siri Dalam Prespektif Hukum Islam Di Indonesia

3 Juni 2023   08:54 Diperbarui: 3 Juni 2023   08:57 2643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

JUDUL SKRIPSI:

HAK ASUH ANAK PERNIKAHAN SIRI DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Tita Khaliza

Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (2020)

PENDAHULUAN:

Pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan guna hidup bersama dan memiliki keturunan, yang dilangsungkan menurut ketentuan agama masing-masing. Di Indonesia pelaksanaan perkawinan atau pernikahan itu harus dicatatakan kepada petugas pencataan nikah guna melegalkan pernikahan tersebut di mata masyarakat dan negara. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 yang menyatakan "perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". 

Namun di Indonesia, khususnya pada masyarakat muslim masih ada yang tidak mengikuti aturan yang sudah berlaku. Sebagian masyarakat masih ada yang melaksanakan praktik nikah siri atau nikah di bawah tangan (sah secara agama namun tidak resmi di negara dan tidak dipublikasikan). Nikah siri adalah nikah yang sah menurut hukum islam dan jika terjadi perceraian istri berhak mendapat bagian dari harta bersama. Meski nikah siri tersebut sah tapi tidak mempunyai kekuatan hukum menurut hukum positif Indonesia karena tidak dicatatkan, istri tidak dapat menuntut haknya secara hukum apabila terjadi sesuatu dalam perkawinannya. Demikian pula dengan anak yang dilahirkan menurut pasal 42 ayat 1 Undang Undang No 1 Tahun 1974 berbunyi, "anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah disebut anak sah". Dengan demikian anak berhak mendapatkan warisan dan nafkah dari orang tuanya. Pasal 43 ayat 1 berbunyi "anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya". Namun anak yang lahir dari pernikahan siri dianggap sah menurut hukum islam dan berhak atas warisan serta nafkah dari orang tuanya

Merujuk UU No.1 Tahun 1974 Pasal 42 Ayat 1 status anak memiliki hubungan darah dengan orang tuanya, namun beberapa kasus yang terjadi anak hasil nikah siri mengalami kesulitan dalam mengurus hak hukum seperti akta kelahiran, nafkah maupun warisan. Hal ini dikarenakan status anak nikah siri dikatakan di luar nikah karena status pernikahan tidak dicatat oleh negara. Secara agama status anak dari hasil nikah siri mendapat hak yang sama dengan anak hasil perkawinan sah. Kasus ini bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1 sehingga resiko akibat ketidaktahuan terhadap hukum tersebut menyebabkan perempuan termasuk golongan yang merugi akibat dari ketidaktahuannya.

Kemudian masalah Hadanah (hak asuh anak). Secara Bahasa hadanah berarti di bawah atau di samping ketiak. Menurut istilah hadanah berarti merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz. Wajib hukumnya dalam melakukan hadanah ini. Hak asuh anak ini harus dijaga oleh orang tuanya sendiri agar anak terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun disini yang jadi permasalahannya adalah, ketika anak itu lahir dari sebuah pernikahan siri, apakah masih ada hukum wajib melakukan hadanah bagi orag tuanya terkhusus si ayah? Melihat di Indonesi ini bahwa anak hasil pernikahan siri itu hanya memiliki hubungan perdata pada ibunya saja.

ALASAN MEMILIH JUDUL SKRIPSI INI:

Judul skripsi ini saya pilih karena dalam fakta di masyarakat sekarang masih banyak pelaku yang melakukan perkawinan siri. Padahal hal ini dapat merugikan pihak istri dan anak karena nantinya tidak mendapat perlindungan hukum terhadap pemenuhan haknya. Jadi saya tertarik untuk membaca dan meriview skripsi ini.

PEMBAHASAN HASIL REVIEW:

Pernikahan siri, pernikahan yang sah secara agama namun tidak diakui oleh negara. Disebutkan dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang kedudukan anak bahwa terdapat arti khusus tentang pengertian dan status anak di dalam bidang politik dan menjadi dasar kedudukan anak. Anak disebut sebagai subjek hukum yang harus dipelihara, dilindungi, dan dibina untuk mencapai kemaslahatan. Menurut UU nomor 1 tahun 1974 dalam Bab IX pasal 43 ayat 1 anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kemudian pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan teknologi dan ilmu pengetahuan atau alat bukti lain sehingga menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Dalam KHI, anak luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Akibat hukum anak luar nikah menurut KHI adalah tidak berhak memperoleh hubungan nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak) dan perwalian dari ayah yang membenihkannya, melainkan kepada ibunya. Hukum Islam menetapkan anak menempati garis warisan pertama dalam hal menerima warisan dari orang tuanya. Mengenai anak luar kawin sebagai anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan kerabat ayahnya dan hanya mempunyai hubungan hukum perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. oleh karena anak luar kawin (laki-laki ataupun perempuan) tidak mewarisi harta ayahnya dan tidak pula dari seorang kerabat ayahnya sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya karena anak tersebut tidak diakui hubungan darahnya dengan ayahnya. 

Wahbah Zuhaili menuturkan bahwa menentukan hubungan nasab seorang anak dengan beberapa cara, yaitu pernikahan yang sah, pengakuan garis keturunan atau nasab (isbat nasab bil iqrar) dan pembuktian. hubungan nasab bagi anak diawali dari adanya pernikahan yang sah.Semua Imam mazhab sepakat dengan hal tersebut. Istilhaq merupakan istilah di dalam Fiqih yang digunakan untuk suatu pengakuan garis keturunan atau nasab (Isbat nasab bil iqrar). Abdul Manan (ahli hukum Islam Indonesia) menuturkan bahwa jalan istilhaq dapat ditempuh untuk mengakui anak zina yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah akibat hubungan ghairu syar'i. Hal ini dapat ditempuh apabila secara zahir bahwa hubungan mereka tidak sah (berzina) tidak terpenuhi. Terdapat aturan hukum dalam hukum islam tentang nasab seorang anak dengan ayahnya dengan cara pembuktian. Cara ini disebut dengan mubaiyyinah (perbandingan), yaitu pembuktian berdasarkan bukti yang sah bahwa anak tersebut betul-betul senasab dengan orang tuanya. Misalnya dilihat dari kemiripan antara orang tua dengan anaknya dan didukung pengakuan dari masyarakat bahwa mereka mempunyai hubungan nasab. Karena dalam hukum Islam, suatu hak nasab bagi seseorang harus dilandasi dengan perkawinan yang sah.

Berkaitan dengan hak asuh anak di luar perkawinan dapat dibedakan menjadi 2 aspek yakni, maslahah dan mudharat. Sebagaimana yang di jelaskan di dalam maslahah sendiri, hak asuh anak dari nikah siri hanya di hubungkan dengan ibunya. Secara psikologi anak yang masih berusia 0-11 tahun masih membutuhkan perhatian lebih dari ibunya, seperti anak yang baru lahir masih membutuhkan ASI dari ibunya. Jika anak tersebut sudah berusia 12 tahun, dia boleh memilih sendiri dengan siapa dia ingin di asuh. Dan mudharat nya, karena Indonesia memiliki 2 (dua) hukum yang harus diselaraskan yaitu, hukum islam dan hukum positif. Sekali pun anak nikah siri itu sah dari pernikahan yang sah secara agama maka tetap saja secara hukum positif anak tersebut di anggap anak luar nikah dan secara administrasi negara dia tidak tercatat. 

Dalam konsep Maqasid as-Syariah 5 pilar yang harus di selaraskan berkaitan dalam hak asuh anak pernikahan siri secara garis besar dapat di katakan belum memenuhi secara sempurna, karena ada hal-hal yang seharusnya itu mutlak harus dilaksanakan, Contoh:

1. Menjaga agama, meskipun pernikahan siri itu sah tapi hak asuh anak tidak tercatatkan secara negara sedagkan di dalam agama islam diajarkan bahawa umat muslim juga harus menaati hukum yang ada di negaranya. 

2. Menjaga akal, dengan adanya hak asuh anak dalam pernikahan siri tanpa dicatatkan secara administarsi negara maka akan meimbulkan pemikiran-pemikiran negatif terhadap anak nantinya tumbuh dewasa.

3  Menjaga keturunan, anak hasil pernikahan siri dianggap dari pernikahan diluar administrasi negara, sehingga dapat dikatakan anak itu tidak memiliki nasab secara administrasi negara kepada ayahnya meskipun secara pernikahan siri anak itu sah sebagai anak kandungnya.

4. Menjaga harta, kedepannya anak tersebut tidak bisa mendapatkan waris dalam kacamata hukum positif Indonesia, karena anak pernikahan siri tanpa dicatatkan di administrasi negara bukan merupakan anak dari suami istri hanya merupakan anak dari seorang ibu.

5. Menjaga jiwa, secara psikologi nantinya adanya ketidaksinambungan antara administrasi agama dan administrasi negara mengakibatkan mental anak menjadi terganggu. 

Maka dapat disimpulkan bahwa dari analisis Maqasid as-Syariah hak asuh anak dalam pernikahan siri banyak mengandung mudharat karena tidak memenuhi dalam prinsip-prinsip Maqasid as-Syariah.

RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DITULIS BESERTA ARGUMENTASINYA:

Menurut penulis, pernikahan seharusnya tetap dilaksanakan secara sah berdasarkan agama dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sebab meskipun pernikahan siri sah secara agama namun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada pencatatan yang sah atas pernikahan yang dilakukan justru mengakibatkan adanya hak-hak yang tidak didapatkan oleh anak yang seharusnya hak tersebut di dapat secara mutlak.

DURROTUN FATIHAH (212121023)

HKI

FAKULTAS SYARIAH

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun