Mohon tunggu...
Durotul Qodriyah
Durotul Qodriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STAI Al-Anwar Sarang

MAHASANTRI

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mendepolitisasi HAM dan Kewarganegaraan : dari Pemikiran Locke hingga Realitas Papua

7 Juni 2024   13:08 Diperbarui: 10 Juni 2024   10:30 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendepolitisasi HAM dan Kewarganegaraan: Dari Pemikiran Locke hingga Realitas Papua

Oleh: Durotul Qodriyah

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan konsep penting dalam pemikiran politik dan hukum yang saling terkait. Keduanya berperan dalam menentukan hubungan antara individu dengan negara, serta bagaimana hak-hak individu dihormati dan dilindungi. Kedua konsep mendepolitisasi akses terhadap kesetaraan, hak, dan sumber daya dengan membuatnya tersedia bagi lebih banyak orang yang memiliki kualitas yang sama (milik negara kebangsaan tertentu atau memenuhi kriteria sebagai manusia) (Shafir, 2004, hlm. 13).

Konsep kewarganegaraan dan HAM muncul pada masa abad pencerahan seorang filsuf liberal seperti John Locke. Locke berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak-hak alami yang tidak bisa dicabut, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti. Menurut Locke, hak-hak tersebut bersifat universal dan tidak bergantung pada hukum atau pemerintah mana pun. Mereka adalah bagian dari kondisi alami manusia dan harus dihormati oleh setiap otoritas yang sah.

Teori kewarganegaraan dan HAM yang dikembangkan oleh John Locke memberikan fondasi penting bagi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disahkan PBB pada tahun 1948. Menurut Locke, hak asasi manusia tersebut tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga bersifat prinsipil dalam kehidupan sehari-hari. Locke mempercayai bahwa manusia memiliki hak inheren yang tidak dapat diganggu gugat oleh pemerintah atau pihak lainnya.

Dalam teori Locke, pemerintah dibentuk melalui kontrak sosial untuk melindungi HAM. Jika pemerintah gagal melindungi hak-hak ini atau justru melanggarnya, pemerintah tersebut kehilangan legitimasi. Warga negara, dalam hal ini, memiliki hak untuk menuntut perubahan atau mengganti pemerintahan yang ada. Konsep ini menjadi dasar bagi hak untuk melakukan perlawanan atau revolusi jika pemerintah terus-menerus melanggar hak-hak dasar warga negaranya.

Dalam konteks ini, teori Locke dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kondisi hak-hak dasar dan kewarganegaraan di Papua, serta tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak tersebut. Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan (PAK) HAM Papua, Mathius Murib, menyatakan bahwa masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua saat ini bukannya membaik, melainkan semakin rumit dan buruk. Contohnya, tindak kekerasan terus meningkat dan penyanderaan masih berlangsung. Selain itu, para pembela HAM di Papua menghadapi risiko besar, seperti teror, intimidasi, dan ancaman. Meskipun demikian, Mathius dan aktivis HAM di Papua tetap semangat memperjuangkan penegakan hak asasi di Bumi Cenderawasih, meski belum selaras dengan aturan penegakan hukum, dikutip oleh (Trianita, 2023) dilansir dari Nasional Tempo.co.

Menurut berbagai laporan, seperti "All Eyes on Papua," terdapat kekhawatiran tentang pelanggaran hak-hak dasar di Papua, termasuk hak untuk hidup, kebebasan berekspresi, dan hak atas properti. Kekerasan terhadap penduduk asli Papua, pembatasan kebebasan berekspresi, dan ketidakadilan ekonomi menunjukkan bahwa hak-hak dasar mereka mungkin tidak dihormati sepenuhnya .

Menurut Locke, pemerintah Indonesia memperoleh legitimasi melalui persetujuan dari rakyatnya. Jika penduduk Papua merasa bahwa mereka tidak diberi hak yang setara dan tidak dilibatkan dalam proses pemerintahan, maka legitimasi pemerintah dapat dipertanyakan.

Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak dasar penduduk Papua. Jika gagal melindungi hak-hak ini, baik melalui tindakan langsung (seperti kekerasan) atau kelalaian (seperti mengabaikan hak-hak ekonomi dan sosial), pemerintah tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam pandangan Locke menyatakan, bahwa jika pemerintah terus-menerus melanggar hak-hak dasar warga negara, warga negara memiliki hak untuk melakukan perlawanan atau revolusi guna membentuk pemerintahan baru yang lebih adil dan melindungi hak-hak mereka .

Dalam konteks Papua, hak untuk revolusi ini dapat dimaknai sebagai hak penduduk asli Papua untuk menuntut otonomi yang lebih besar atau bahkan kemerdekaan jika hak-hak dasar mereka tidak dihormati oleh pemerintah Indonesia. Gerakan-gerakan politik di Papua sering kali didorong oleh keinginan untuk perlindungan dan penghormatan yang lebih baik terhadap hak-hak dasar mereka.

Sedangkan menurut Bentham, seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia terhadap Papua harus dievaluasi berdasarkan sejauh mana mereka meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi penderitaan penduduk Papua yang mencakup kebijakan ekonomi, sosial, dan keamanan.

Upaya aktivis dan kelompok advokasi harus difokuskan pada meningkatkan kesadaran dan mempromosikan kebijakan yang memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahteraan penduduk Papua.

Pendekatan Utilitarian akan menyarankan solusi damai dan berkelanjutan yang mengurangi penderitaan dan meningkatkan kesejahteraan semua pihak yang terlibat dalam konflik di Papua.

Menghormati dan melindungi hak asasi manusia penduduk Papua adalah esensial dalam mencapai kebahagiaan terbesar, sehingga setiap tindakan yang melanggar hak-hak ini harus dihindari dan diatasi.

Teori kewarganegaraan dan hak asasi manusia John Locke memberikan dasar filosofis yang kuat bagi banyak prinsip yang ditemukan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak-hak alami, kontrak sosial, kewajiban pemerintah, dan hak untuk menuntut perubahan adalah konsep-konsep utama dalam pemikiran Locke yang secara jelas tercermin dalam pasal-pasal DUHAM. Pengaruh Locke pada DUHAM menunjukkan bagaimana ide-ide abad ke-17 tentang hak dan pemerintahan masih relevan dan penting dalam membentuk pandangan modern tentang hak asasi manusia dan kewarganegaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun