2. Lakukan pada kadar yang tepat,
3. Lakukan pada waktu yang tepat,
4. Lakukan demi tujuan yang benar,
5. Lakukan dengan cara yang sesuai.
Jadi, diperbolehkan marah asal memenuhi kriteria di atas. Susah? Memang. Karena itu tadi amygdala itu membuat respon tubuh secara refleks. Namun detik sebelum amarah meledak, korteks atau akal sehat haruslah tetap digunakan. Latihan demi latihan memang harus dilakukan, dimulai dari kecil. Itulah mengapa, seorang anak dengan memori "ketidakadilan-ketidakpuasan" akan lebih mudah meluap emosi nya ketika besar.
Marah harus ditujukan untuk alasan yang positif, dimana dengan marah maka akan mengubah sesuatu/seseorang menjadi lebih baik. Namun tetap dilakukan dengan cara yang sesuai, santun dan tidak melukai.
Islam memperbolehkan marah bila berkaitan dengan Allah SWT, namun yang berkaitan dengan dunia, Rasulullah menganjurkan kita untuk diam apabila telah timbul amarah. Apabila tidak juga reda, maka bertaawudz-lah, atau "Allahumma inni a'udzubika min asy-syaithan ar-rajim. (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan yang terkutuk)."
Bila belum juga reda, maka berwudhulah, karena Rasulullah bersabda "Marah itu berasal dari setan. Sementara setan diciptakan dari api dan api hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, jika di antara kalian ada yang marah segeralah berwudhu." (HR. Ahmad bin Hanbal)
Namun, bila belum reda juga maka berubahlah posisi, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila ada di antara kalian yang marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Apabila kemarahan tersebut belum juga reda, berbaringlah." (HR. Ahmad bin Hanbal)
Jangan Marah!
Seorang laki-laki meminta nasehat kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan, 'Jangan Marah!" Dalam riwayat lain, Rasulullah pernah ditanya, amalan apakah yang akan membawaku ke syurga, Rasulullah menjawab, "Jangan marah, engkau pasti masuk surga"