"Fik, aku tahu ini kerjaan kamu, ya. Aku laporin ke wali kelas, ya." Aku mengancam.
"Mana buktinya kalau gua yang narok di tas lo, heh!" Rafika tidak bergeming. Aku kembali ke bangkuku.
"Udah gak usah diladenin." Bisik Fadlan dari belakang. Tidak ku gubris. "sekomplotan kok." Kataku dalam hati.
Sepanjang sisa hari itu aku diliputi rasa kesal karena kejadian kodok tadi. Agak kurang konsentrasi memperhatikan pelajaran Kimia. Padahal pelajaran ini salah satu favoritku. Buku coretan puisi yang aku selipkan di antara buku panduan kimia sudah hampir penuh satu halaman bolak-balik.
"Ada yang tahu jawaban dari persoalan di papan tulis ini?" kelas mendadak hening. Aku masih terus berkutat dengan coretan-coretan puisi tadi tanpa mendengarkan yang dikatakan bu Nuning.
"Nina?!" entah berapa kali bu Nuning memanggil namaku, hingga akhirnya Fadlan menepuk pundakku.
"Apa!!" aku melotot kearahnya.
"Buu Nuning manggil lo." Fadlan setengah berbisik.
Ketika aku menoleh, bu Nuning sudah ada di sampingku. "Eh.. Anu, bu. Hmm. Maaf" kataku gagap sembari terus menunduk ke ubin kelas.
"Kamu sedari tadi ibu perhatikan tidak memperhatikan apa yang ibu sampaikan." Kata bu Nuning menyelidik. "gak biasanya." Lanjut bu Nuning.
"Biasa bu, sok pintar jadi gak perlu merhatiin pelajaran lagi." Rafika menimpali.