BAB I
Bila rindu ini ibarat halau mentua saja
Tiada kan rona meretas
mengalir dari muara mataku
Aku duduk menghadap jendela di ujung kursi perpustakaan. Atlas Anatomi Sobotta yang sedari tadi ku pegang, hanya dibolak balik tanpa minat. Hujan selalu bisa mengalihkan duniaku. Kaca jendela basah oleh titik-titik air hujan yang turun dari selepas dzuhur. Aku menatap kosong ke arah luar jendela. Suasana selepas hujan membuat rindu dalam hatiku membuncah. Rasanya aku ingin menangis. Sebelum air mata jatuh, handphone di atas meja bergetar.
"Ya, Mir?" aku mengangkat panggilan telpon Almira, teman seangkatanku.
"Dosen udah mau masuk, Nin." Suara Almira setengah panik dari seberang.
Buru-buru aku memasukkan semua buku dan peralatan tulis ke ransel biru ku. Keluar sesegera mungkin dari perpustakaan menuju tangga turun. Dosen anatomi satu itu tidak mentolerir keterlambatan. Hampir bersamaan tiba ke pintu masuk, dr. Azhar melirik tajam ke arahku.
"Permisi, dok. Maaf" aku mengambil satu langkah lebih cepat masuk langsung menuju ke kursi yang sudah disiapkan Almira.
"hampir saja." Bisik Almira setengah tersenyum.
"bisa mampus aku disuruh duduk di sampingnya kalo sampai terlambat satu detik saja tadi." Kataku masih ngos-ngosan.
"ehem." Dr. Azhar melotot ke arah kami yang masih bersuara. "bersuara sedikit lagi, keluar dari ruangan." Katanya kemudian yang membuat kami langsung duduk tegap menghadap ke depan.
Dua jam mata kuliah dengan dr. Azhar adalah momen paling melelahkan untuk mata, telinga dan punggung. Entahlah, semestinya mata kuliah sesulit ini harusnya diajarkan dengan suasana yang santai. Bukan menegangkan seperti ini.
Akhirnya kuliah hari itu selesai juga. Aku dan Almira memilih berjalan ke terminal bus mahasiswa. Berjalan melewati fakultas teknik, tampak masih ada sekumpulan mahasiswa yang belum pulang. Masih mengobrol di depan ruang kelas mereka. Kami melewatinya tanpa menoleh. Yah, kelakuan anak teknik apalagi kalau melihat Almira dengan tubuh proporsional, rambut bergelombang yang diurainya sebahu, mata bulat dengan bulu mata lentik, juga lincah jalannya, pastilah mencuri perhatian para lelaki yang normal.
Tiba di terminal, hanya tersisa dua bis mahasiswa saja. Hari memang sudah menjelang senja. Masih untung ada bis yang masuk ke universitas. Kalau sampai tidak ada, terpaksa kami harus ke pasar dengan naik angkot satu kali. Saat kami masuk ke dalam bis, bis hampir penuh. Namun karena sudah sangat sore, sopir bis langsung jalan.
Selepas hujan dan senja dahulu bisa saja membuat suasana romantis tapi tidak dua bulan ini. Setelah kepergian papa, hujan dan senja adalah airmata.
"bengong mulu, ah." Kata Almira menyikut lenganku. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.
Almira adalah teman sejak awal pendaftaran ulang ke kampus kuning ini. Dia lah yang pertama menyapa aku, yang saat itu ditemani papa, duduk di bawah pohon Trembesi di ujung ruangan pemeriksaan kesehatan.
Dia tahu benar kalau aku sudah mulai diam tanpa peduli sekitar berarti aku sedang 'pergi jauh', mengenang setiap kenangan yang papaku tinggalkan.
"udah, selipin do'a aja terus. Yang dibutuhkan papa hanya anak yang terus mendoakannya." Peluk Almira. Ada bulir bening di ujung mataku, tidak sampai tumpah, hanya membuat remang pandanganku pada langit senja yang memerah.
Aku tiba di rumah sudah maghrib. Kubuka pagar pelan-pelan, masuk tanpa suara ke kamar. Aku tau mama tahu aku sudah pulang. Terdengar dari kamar, mama menyiapkan makan malam. Menyiapkan air hangat untuk aku mandi.
Tanpa menoleh aku masuk ke toilet. Air hangat yang disiapkan tidak sama sekali aku sentuh. Selepas mandi, aku seduh mie instan.
"mama buatin malbi, nak" kata mama pelan.
"pengen makan mie aja." Kataku lagi-lagi tanpa menoleh.
"jangan makan mie terus, kamu butuh makanan yang sehat. Kuliah kamu sudah cukup menyita tenaga dan pikiran." Kata mama mengelus lenganku.
Aku terus saja mengaduk mie, geram sebenarnya, namun entahlah, tak ada kata-kata yang sanggup aku utarakan. Aku sesak sendiri menahan gelombang gemuruh amarah. Kumatikan kompor. Urung makan bergegas ke kamar. Aku tahu mama masih terdiam di dapur. Aku memilih menghindar, lagi, aku hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Aku jatuh tertidur hingga tengah malam. Pening. Mungkin karena keletihan atau memang karena belum ada makanan yang masuk sejak tadi siang. Aku beranjak ke dapur.
Ku lihat makanan yang mama siapkan untuk aku tadi masih tersedia di atas meja. Mie yang aku rebus sudah masuk kotak sampah di dapur. Ada sebersit rasa sesal, namun amarah rasanya terlalu besar untuk pura-pura tidak terjadi apa-apa.
Aku ambil nasi dan lauk pauk kemudia memilih makan masuk ke kamar lagi. Kunyalakan radio, mengubah setting frekuensi, mencari siaran radio yang masih mengudara jam segini. Ku lihat jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul 3 dini hari. lSelepas makan, aku melanjutkan membaca, mengulang kembali mata kuliah tadi siang. Daripada melanjutkan tidur takut tidak terbangun di waktu subuh dan beresiko terlambat ke kampus.
Setiap pagi, perjuangan selalu di mulai dari saling sikut, berebutan sesama mahasiwa untuk dapat bis. Beberapa mahasiwa mempunya prioritas bis yang akan diperebutkan. Ada yang karena bis nya bagus, karena banyak bis yang reot yang sebenarnya tidak laik jalan. Ada yang karena bis nya full music. Ada juga karena sopirnya akrab ke sesama mahasiwa. Ada juga yang apa aja deh, asal bisa segera sampai terutama bisa duduk.
Karena agak pegal juga kalau mesti berdiri selama perjalanan. Dari pusat kota menuju kampus kurang lebih 38 km memakan waktu sekitar 1 jam. Belum lagi kalau ada tugas yang belum diselesaikan atau ada ujian dan belum selesai belajar malamnya. Atau minimal bisa tidur bagi mereka yang terbiasa tidur di dalam kendaraan atau keletihan setelah SKS (sistem kebut semalam).
Aku bernafas lega karena berhasil dapat tempat duduk meski dekat pintu bis setelah mengerahkan semua energi, membakar karbohidrat dari setangkup roti isi sebelum pergi tadi. Aku buka tas ransel berniat membuka diktat mikrobiologi. Belum separuh jalan ada ibu naik bawa keranjang belanjaan, mengas nampaknya membawa beban berat keranjangnya. Semua kursi telah penuh. Kulirik tak ada satupun yang merespon untuk berdiri memberi kursinya. Aku masukkan diktat, berdiri, kupasang ranselku.
"Silahkan bu, duduk di kursi saya saja." Kataku mempersilahkan ke ibu tadi sambil tersenyum.
"Oh," Setengah kaget, ibu itu langsung menggeser posisinya dan duduk. "makasih ya, nak" lanjutnya kemudian. aku balas dengan senyum kecil.
***
"Kalo besar nanti, Nina mau jadi apa?" tanya ayah di atas motor vespa nya saat mengantar aku menuju lomba pelajar teladan tingkat SD sekota Palembang.
"jadi dokter, boleh?" aku menjawabnya ragu.
"boleh dong. Mau jadi apa saja asal bermanfaat buat banyak orang, papa dukung." Nampak wajah papa di kaca spion tersenyum. Aku juga tersenyum mendengar jawaban papa.
"pa, doain Nina, ya." Kataku kemudian. Papa mengelus pergelangan tanganku yang melingkar di pinggang papa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H