Judul di atas bermula dari ketika saya terlibat dalam sebuah dialektika dua sesi di toko buku alternatif Ultimus. Dilanjutkan dengan penemuan sebuah artikel di kompas online berjudul 10 Alasan Utama SBI Harus Dihentikan.
Oia, kata KBBI sih dialektika artinya “peribahasa dan penalaran dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah”.
* * *
Dialektika pertama di toko yaitu sebagai berikut:
Citizen Journalism - konsep ini tentunya membantu mewartakan berita-berita yang belum sempat terjamah media nasional. Terlebih setelah era internet sangat membantu menyebarluaskan informasi. Ini akan sangat berguna, agar yang di "pusat" menyadari keadaan di daerah-daerah.
Apa ide yang muncul? Alokasi dana untuk membiayai konsep Citizen Journalism ini.
Mengapa demikian? Tentunya agar membantu, termasuk membayari Kompensasi Waktu dan Tenaga yang telah disumbangkan para pelaku Citizen Journalism tersebut. Ini termasuk dengan Radio/TV Komunitas dan buletin-buletin, yang semuanya itu dapat mewartakan dan terlebih meningkatkan kekritisan.
Tentunya ini dapat mendukung upaya Budaya Baca di negara kita. Membaca yang telah membudaya, akan memudahkan kita membaca yang bukan berupa teks.
Di negara yang mayoritas beragama Islam, ada kata IQRA. Artinya "bacalah". Yang menjadi pertanyaan, apa yang dibaca? Tentunya Para Islam'ers akan menjadi lebih banyak pekerjaan - ketimbang sekedar berkutat halal haram, apalagi sampai membunuh atas nama Sang Maha Suci - jika sudah dalam kapasitas membaca yang bukan teks.
Konsep Citizen Journalism lebih jauh dapat membantu persoalan Lapangan Pekerjaan Yang Sempit. Berikan saja tugas-tugas untukmemberdayakan para pengangguran, sesuai kapasitas masing-masing.
Dialektika kedua di toko yaitu sebagai berikut:
Bermula dari obrolan sesama kasir di toko buku alternatif Ultimus. Suatu ketika, ada seorang pembeli yang dengan isengnya bertanya, kira-kira begini bunyinya "bisa dapat discount lebih besar gak?". Rekan saya menolak, dengan alasan kurang lebih berikut "jika buku terbitan penerbit lain yang sama tebalnya dengan buku Anda beli, pastilah lebih mahal."
Mau tau buku apa? Kapital III. Silakan cek di tautan yang saya sertakan.
Toko buku alternatif Ultimus selalu menyediakan potongan harga untuk semua buku yang dijual. Dan, buku-buku yang diterbitkan oleh Ultimus pun sudah dengan harga semurah mungkin.
Kenapa rekan saya itu menjawabnya demikian? Ini tentunya juga berkaitan juga dengan menghargai kekayaan intelektual seseorang. Lagipula, kecenderungan budaya konsumtif mengakibatkan kebanyakan di antara kita lebih memilih membuang uang banyak untuk hal yang kurang berguna.
Dialektika kedua di toko di atas membuat saya teringat buku Pendidikan Rusak-rusakan karya Darmaningtyas. Masih banyak orang yang kurang rela membayar dana pendidikan anak-anaknya, dan mengaku kurang mampu agar dapat potongan harga.
Maka terkait dengan judul di atas, kadangkala kita lebih banyak salah kaprah dengan keinginan mengurangi dana membayar sesuatu.
* * *
Namun, terkait dengan penemuan saya dari buku Darmaningtyas "Pendidikan Rusak-rusakan" tersebut, masih ada salah kaprah lain, seperti artikel di Kompas Online di awal tulisan ini.
Apa sebenarnya definisi SBI? Bertaraf atau Bertarif Internasional? Sebab, pendidikan di negara ini sudah sedemikian salah kaprah akibat kebijakan simpangsiur yang entah bijak menurut siapa.
* * *
Ketika memang ada sesuatu yang perlu dibayar, maka bayarlah. Terutama untuk perkara cash flow dana keuangan untuk keperluan publik. Jika ditinjau dari sisi di luar urusan publik, maka pembayaran tidak melulu perlu berupa uang. Sistem barter dapat kembali diterapkan. Tentunya, konsep bergotong-royong sangat cocok diaplikasikan, selain sistem barter tersebut.
Untuk keperluan pengeluaran dana bagi kepentingan publik, bisa bukan berupa uang melainkan dengan sarana atau fasilitias memadai.
Korupsi bisa juga berarti, salah membayar, yaitu membayar yang tidak perlu dibayar.
Maka, mari kita bersama-sama mengurangi sikap pelit ketika memang perlu untuk membayar sesuatu Yang Layak Dibayar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H