Bermula dari obrolan sesama kasir di toko buku alternatif Ultimus. Suatu ketika, ada seorang pembeli yang dengan isengnya bertanya, kira-kira begini bunyinya "bisa dapat discount lebih besar gak?". Rekan saya menolak, dengan alasan kurang lebih berikut "jika buku terbitan penerbit lain yang sama tebalnya dengan buku Anda beli, pastilah lebih mahal."
Mau tau buku apa? Kapital III. Silakan cek di tautan yang saya sertakan.
Toko buku alternatif Ultimus selalu menyediakan potongan harga untuk semua buku yang dijual. Dan, buku-buku yang diterbitkan oleh Ultimus pun sudah dengan harga semurah mungkin.
Kenapa rekan saya itu menjawabnya demikian? Ini tentunya juga berkaitan juga dengan menghargai kekayaan intelektual seseorang. Lagipula, kecenderungan budaya konsumtif mengakibatkan kebanyakan di antara kita lebih memilih membuang uang banyak untuk hal yang kurang berguna.
Dialektika kedua di toko di atas membuat saya teringat buku Pendidikan Rusak-rusakan karya Darmaningtyas. Masih banyak orang yang kurang rela membayar dana pendidikan anak-anaknya, dan mengaku kurang mampu agar dapat potongan harga.
Maka terkait dengan judul di atas, kadangkala kita lebih banyak salah kaprah dengan keinginan mengurangi dana membayar sesuatu.
* * *
Namun, terkait dengan penemuan saya dari buku Darmaningtyas "Pendidikan Rusak-rusakan" tersebut, masih ada salah kaprah lain, seperti artikel di Kompas Online di awal tulisan ini.
Apa sebenarnya definisi SBI? Bertaraf atau Bertarif Internasional? Sebab, pendidikan di negara ini sudah sedemikian salah kaprah akibat kebijakan simpangsiur yang entah bijak menurut siapa.
* * *
Ketika memang ada sesuatu yang perlu dibayar, maka bayarlah. Terutama untuk perkara cash flow dana keuangan untuk keperluan publik. Jika ditinjau dari sisi di luar urusan publik, maka pembayaran tidak melulu perlu berupa uang. Sistem barter dapat kembali diterapkan. Tentunya, konsep bergotong-royong sangat cocok diaplikasikan, selain sistem barter tersebut.