Terjebak dalam "Vicious Cycle"
"Setelah proses reshuffel jajaran pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Buteng dilaksanakan, akankah datang suatu masa gemilang yang menghembuskan angin segar kemajuan dan prestasi hebat bagi daerah itu sendiri? Atau apa yang dilakukan tak ubahnya sekadar pemanis bibir belaka. Hanya manis dalam sambutan-sambutan, meriah upacaranya, menggema kabar beritanya, lalu hilang entah kemana, mengingkari janji-janji, melupakan tugas pokok dan fungsi."
Satu untaian kegelisahan yang perlu dan mendesak untuk direnungkan sebab kejadian serupa bukanlah yang pertama. Alih-alih menantikan prestasi dan kemajuan daerah, tapi yang ada justru agenda perombakan melulu.
Selama kurun waktu tiga tahun terakhir dari kepemimpinan Bupati Buton Tengah (H. Samahuddin., S.E), prosesi perombakan jajaran OPD sudah berulang kali dilakukan.Â
Entah virus apa yang menjangkiti tubuh pemerintahan, hanya saja kejadian yang terus berulang ini mengindikasikan dua hal; Pertama, komposisi perangkat kerja yang dibentuk memang notabenenya adalah orang-orang "bebal" dan kurang kapabel untuk mengemban tugas.
Kedua, ketidakcermatan dan ketidakmampuan Bupati dalam menyeleksi serta mengatur dan mengorganisir bawahannya-lah yang justru menjadi sumber utama segala persoalan. Tentu saja kedua hal tersebut sama-sama memberikan dampak buruk bagi berlangsungnya roda pemerintahan.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang sudah dicanangkan tidak mungkin bisa dieksekusi dengan baik oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas dan keahlian khusus dalam bidangnya.
Ditambah lagi oleh kesibukan rutin pemerintah daerah Buton Tengah yang senantiasa mempertontonkan sebuah adegan, "siapa dekat dengan siapa lalu mendapat apa". Upacara perombakan dan pelantikan OPD hanya akan bermakna sebagai ajang bagi-bagi kue jabatan semata sebelum dibuktikan dengan kinerja dan prestasi gemilang.
Jika bercermin dari kebiasaan di atas maka tak menutup kemungkinan 4-6 bulan ke depan akan dilakukan lagi prosesi perombakan. Siklus berulang yang menarik ditelisik, sekaligus sebagai asumsi dasar untuk menjelaskan kegagalan seorang pemimpin, sebab kita mengilhami satu pemahaman bahwa kepada pucuk pimpinanlah "hak prerogatif" disematkan sehingga dengan menggunakan keistimewaan wewenang tersebut.
Seorang Bupati harusnya dari sejak awal bisa mudah saja menyeleksi dengan ketat dan memastikan siapa orang yang tepat, benar-benar telah memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk mengisi jabatan OPD tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kebuntuan, agar terjalin pula hubungan sinergis antara pimpinan dan perangkatnya serta antar sesama jajaran OPD sehingga kerja-kerja pemerintah juga bisa dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi, pemahaman yang sama sepertinya belum diilhami dengan baik oleh Bupati Buton Tengah maka tidak heran jika kita terus diperlihatkan dengan adegan berulang yakni perombakan struktur lagi dan lagi. Negeri Seribu Gua Buton Tengah tersandra dalam gua kebuntuan "vicious cycle".
Tantangan Semakin Dahsyat
Perkembangan zaman telah membuka peluang yang sebesar-sebesarnya kepada kemajuan tetapi beriringan dengan sebuah tantangan yang tak kalah dahsyat. Dalam kondisi ini, segala prasyarat yang dibutuhkan baik itu dari sarana prasarana infrastruktur penunjang maupun kesediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas harus dipersiapkan sejak dini.
Daerah Buton Tengah mungkin menonjol dalam hal pembangunan infrastruktur (meskipun masih menyisahkan perdebatan panjang) tetapi jika tidak dibarengi dengan perhatian atas pembangunan SDM maka itu sama saja nihil. Seperti menyediakan sebuah kendaraan lengkap dengan segala fasilitasnya tetapi daya cerna dan pemahaman orang-orang tentang bagaimana cara mengendarai, tidak coba ditingkatkan.
Upaya yang dikerahkan untuk mengupgrade kualitas manusia di Buton Tengah masih minim sehingga yang terjadi hanyalah menunggu waktu dimana kendaraan tersebut jadi rongsokan yang siap ditimbang dengan harga murah.
Padahal, untuk membelinya, daerah harus mengeluarkan anggaran yang sangat besar. Jadi sebenarnya daerah sedang membangun proyek kesia-sian yang berujung pada kerusakan. Contoh kasus misalnya, ketimbang memikirkan masa depan pembangunan kampus USN di kecamatan Mawasangka yang mana itu sangat penting bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia ke depan, pemerintah Buton Tengah malah lebih memprioritaskan izin eksplorasi tambang batu gamping yang wilayah garapannya hampir mengenai kavlingan lahan pembangunan kampus.
Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadikan era sekarang demikian maju dan canggih itu merupakan buah pikir, daya nalar dan kapasitas pemahaman manusia dalam mencipta dan berkarya.
Pun, untuk mampu mengadaptasikan diri terhadap kemajuan cipta-karya itu, kita dituntut untuk sebisa mungkin berpemahaman dan berpengetahuan sejalan dengan tuntutan perkembangan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk menggenjot pembangunan sumber daya manusia biar peluang kemajuan bisa dicapai dan mengalahkan tantangan zaman yang semakin dahsyat.
Revitalisasi Fungsi OPD ke Peran Strategisnya
Hidupkan kembali fungsi dan peran strategis OPD terutama yang berhubungan dengan urusan peningkatan kesejahteraan dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Buton Tengah. Dua hal penting yang menjadi tujuan mendasar dibentuknya sebuah DOB.
Sejauh ini, kinerja pemerintah Buton Tengah dalam kategori di atas sungguh sangat memprihatinkan. Laporan BPS "Kabupaten Buton Tengah dalam Angka" menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin di Buton Tengah sekitar 13,72% di tahun 2018. Lebih besar dari Muna Barat 11,39%, Buton Selatan 11,86%, dan Buton Utara 9,38%.Â
Beberapa daerah ini sengaja disebutkan sebagai bahan perbandingan karena merupakan DOB yang bersamaan terbentuknya dengan Buton Tengah. Sementara mengenai Indeks Pembangunan Manusia, dari 17 jumlah kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tenggara, Buton Tengah menduduki peringkat ke-17. Itu artinya upaya dan progres pembangunan kualitas manusia di Buton Tengah adalah yang paling lemah. Berikut datanya;
Tulisan ini sejatinya ditujukan kepada kritik paradigma pemerintah yang sebenarnya hanya membutuhkan itikad baik dan jiwa besarnya untuk membangun. Dengan begitu, maka bisalah dibedakan mana yang utama lagi kondusif bagi kemajuan, mana yang prioritas dan mendasar untuk dikerjakan dan mana yang bukan.
Pemerintah harus mampu bergerak ke arah berpikir yang lebih subtantif dan progresif lagi dalam mengemban tugas. Kalau sebelumnya, pemerintah selalu disibukkan dengan proyeksi pembangunan jangka pendek, sekarang saatnya untuk lebih mengedepankan hal-hal fundamental untuk menyonsong buteng tengah yang berkemajuan. Hal itu harus dimulai dari perbaikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan sumber daya manusia.
Selamat Datang Masa Gemilang
Proses perombakan kali ini, harapannya menjadi yang terakhir dan memberikan impact positif terhadap kemajuan daerah Buton Tengah. Apalagi sekarang telah memasuki era dimana situasi semakin tidak menentu. Dalam konteks ini, kata cepat saja belum cukup, harus ditingkatkan frekuensinya menjadi sangat cepat.
Karenanya, perlu bagi kita untuk merekonstruksi pola pikir dan budaya kerja yang cepat, tepat dan responsif terhadap tuntutan dan perkembangan zaman. Revolusi industri harus diimbangi dengan revolusi mental, revolusi cara berpikir dari semua kalangan, terutama pihak pemerintah.
Tentu semua akan lebih mudah, bisa berjalan lebih efektif, efisien jika yang memulainya adalah pemerintah sebagai pemangku dan pemegang kuasa. Dengan otoritas yang dimiliki, pemerintah harusnya bisa memenuhi segala tuntutan kemajuan.
Apalagi hanya sekedar merubah, menggeser paradigma dan orientasi pembangunan Buton Tengah ke arah yang lebih bersahabat dan mengena segenap lapisan masyarakat. Tinggal nawaitu dan itikad baiknya pemerintah saja. Kira-kira demikian..!! Lebih kurangnya, bisa dimaklumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H