Â
Cahaya orange keemasan mulai memancar, mentari mulai memudar, senja hadir memayungi langit. Â Rasanya terlalu penat setelah seharian mengisi acara pada perayaan ulang tahun kota tempat aku berdomisili. Aku hanyalah seorang penari, yang belakangan ini mulai sepi dengan job. Â Lambat laun tenagaku mungkin tak pernah dibutuhkan lagi, yang akhirnya semua akan punah.
"Ri, izinkan aku untuk menikah lagi," Ucapnya padaku, tatkala aku mengahapus sisa makeup di depan cermin rias. Â Tak membuatku kaget dengan ucapannya, karena ini bukan pertama kalinya, kalimat itu terucap dari bibirnya.
      "Apa kamu memberiku pilihan?" Tanyaku tanpa menoleh padanya.
      "Aku butuh jawaban kamu, bukan berbalik bertanya padaku."
      "Jawaban seperti apa yang kamu harap dariku?"
      "Aku hanya menginginkan kamu memberiku izin, tanpa pernah mempersulit posisiku,"
      "Berarti kamu tidak memberiku pilihan.  Jika aku menjawab tidak, apa kamu mengubah keputusanmu untuk menikah lagi?"
      "Aku rasa tidak, aku tetap akan menikahinya."
      "Lantas mengapa bertanya? Lakukan sesuka hati, dan anggap aku hanya boneka dalam hidupmu yang tak punya hak sama sekali untuk didengarkan." Ucapku dengan nada bergetar.
      Aku terdiam dan memberi ruang pada batinku untuk menerima kenyataan terburuk apapun.  Pria itu, telah mengucapkan janji setianya padaku 3 tahun lalu.  Berlahan, mulai beranjak meninggalkan aku yang masih bergelut dengan batiku sembari menatap rona langit yang mulai meredup dari balik jendala.  Sebentar lagi semua akan gelap, mungkin akan segelap hari esok tatkala sosoknya benar-benar beranjak dariku.Â
      Sejenak aku menghela napas panjang. Terasa sangat sesak, tetapi pada siapakah aku bercerita? Ah, rasanya benakku tak lagi mampu untuk berfikir jernih.  Aku segera menghempaskan tubuh pada pembaringan sembari menatap langit-langit kamar.  Setitik air mata terjatuh.  Apa yang harus aku tangiskan? Entahlah.  Aku hanya ingin memejamkan mata, dan berharap semua ini hanyalah mimpi.Â
      Pria itu, sosok yang pernah aku kagumi, sosok yang mampu meyakinkan orang tuaku untuk membawa aku pada kehidupan yang penuh kebahagiaan.  Namun, lambat laun kehidupan berganti.  Sosok pria itu pulalah menjadi alasan meninggalkan kampung halaman, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.  Selepas mengikat janji di hadapan penghulu, saat itu aku menyadari sepenuhnya bahwa aku adalah milik pria itu.
      Berlayar ribuan mil dari kampung halaman dengan harapan mampu membangun biduk rumah tangga dengan penuh kebahagiaan.  Membangun kehidupan baru pada tempat yang benar-benar asing bagiku.  Harapan demi harapan terbaik senantiasa aku sematkan dalam batin, berharap esok semua berjalan dengan baik-baik saja.Â
      Hari demi hari berlalu, tahun berganti.  Merajut cerita, merenda kasih dalam ikatan pernikahan yang berlahan mulai memudar.  Cerita tak lagi seindah dulu, mungkin ini salahku.  Aku terlalu terburu-buru meyakinkan hati bahwa sosok itu benar-benar sempurna untukku.  Salah, aku tak tepat menambat hatiku pada sosoknya.  Aku gegabah dan penyesalan mungkin tak akan lagi bermakna.
      Kemana aku curahkan segala kegundahan hati.  Aku hanyalah sosok perempuan yang hidup dalam perantauan tanpa tahu siapa-siapa kecuali pria itu.  Sepanjang perputaran waktu, aku hanya sibuk mengais rezeki dengan menawarkan jasa menari.Â
Tubuh meliuk-liuk di atas panggaung dengan kemolekan yang nyaris sempurna. Â Mata jelalatan dan sesekali tangan tangan jahil menggerayangi setiap inci tubuhku. Â Apa pernah aku protes? Ah, aku hanya butuh lembaran rupiah demi menyambung hidup. Â Pria itu tak lagi peduli, sesekali sosoknya hadir hanya sekadar memuaskan nafsunya lalu menghilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI