Mohon tunggu...
Nurlina (Tinta Ungu)
Nurlina (Tinta Ungu) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Selain aktif sebagai tenaga pengajar juga aktif menulis pada beberpa platform menulis digital. Telah menerbitkan 3 buah buku antologi cerpen dan 1 buah buku kumpulan cerpen solo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Pilu Sang Penari

1 September 2023   16:59 Diperbarui: 1 September 2023   17:04 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pngwing.com/id/free-png-bnvae.

            Sejenak aku menghela napas panjang. Terasa sangat sesak, tetapi pada siapakah aku bercerita? Ah, rasanya benakku tak lagi mampu untuk berfikir jernih.  Aku segera menghempaskan tubuh pada pembaringan sembari menatap langit-langit kamar.  Setitik air mata terjatuh.  Apa yang harus aku tangiskan? Entahlah.  Aku hanya ingin memejamkan mata, dan berharap semua ini hanyalah mimpi. 

            Pria itu, sosok yang pernah aku kagumi, sosok yang mampu meyakinkan orang tuaku untuk membawa aku pada kehidupan yang penuh kebahagiaan.  Namun, lambat laun kehidupan berganti.  Sosok pria itu pulalah menjadi alasan meninggalkan kampung halaman, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.  Selepas mengikat janji di hadapan penghulu, saat itu aku menyadari sepenuhnya bahwa aku adalah milik pria itu.

            Berlayar ribuan mil dari kampung halaman dengan harapan mampu membangun biduk rumah tangga dengan penuh kebahagiaan.  Membangun kehidupan baru pada tempat yang benar-benar asing bagiku.   Harapan demi harapan terbaik senantiasa aku sematkan dalam batin, berharap esok semua berjalan dengan baik-baik saja. 

            Hari demi hari berlalu, tahun berganti.   Merajut cerita, merenda kasih dalam ikatan pernikahan yang berlahan mulai memudar.  Cerita tak lagi seindah dulu, mungkin ini salahku.  Aku terlalu terburu-buru meyakinkan hati bahwa sosok itu benar-benar sempurna untukku.  Salah, aku tak tepat menambat hatiku pada sosoknya.  Aku gegabah dan penyesalan mungkin tak akan lagi bermakna.

            Kemana aku curahkan segala kegundahan hati.  Aku hanyalah sosok perempuan yang hidup dalam perantauan tanpa tahu siapa-siapa kecuali pria itu.  Sepanjang perputaran waktu, aku hanya sibuk mengais rezeki dengan menawarkan jasa menari. 

Tubuh meliuk-liuk di atas panggaung dengan kemolekan yang nyaris sempurna.  Mata jelalatan dan sesekali tangan tangan jahil menggerayangi setiap inci tubuhku.  Apa pernah aku protes? Ah, aku hanya butuh lembaran rupiah demi menyambung hidup.  Pria itu tak lagi peduli, sesekali sosoknya hadir hanya sekadar memuaskan nafsunya lalu menghilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun