Air mataku tak mampu terbendung, bulir bulir air mata masih terus menetes membasahi kedua pipi.  Lama  aku terpekur, sembari menatap pintu rumah Sabda, kakak lelakiku satu satunya.  Pintu itu tampak tertutup rapat, seolah mengisyaratkan Sabda tak ingin diganggu oleh siapa siapa.  Setiap aku menghadapi persoalah hidup, tak ada tempat lain untuk bersandar dan mengadukan segala permasalahan kecuali padanya.  Kerabat satu satunya yang aku miliki semenjak kepergian kedua orang tua.  Aku hanya mampu terisak pelan dan  tak memiliki keberanian lebih untuk mengetuk pintu.Â
Sejenak aku menyandarkan bahu pada tembok, lambat laun seluruh persendian terasa lunglai, hingga tenaga nyaris tak lagi tersisa. Â Aku terduduk sembari berusaha sekuat tenaga menahan bobot tubuh, kedua lutut kian gemetar. Â Aku harus kuat, demi bocah mungil yang tertidur lelap dalam dekapanku. Â
Tampaknya tangisan kecilku  dan dinginnya udara malam tak juga mengusiknya, sesekali terdengar dengkuran halus dari bibir mungilnya yang tampak merah merona.  Kehadiran bocah mungil nan tampan tak juga menjadi alasan aku bebas dari peringai buruk orang yang harusnya  menjadi pelindung bagi kami berdua.  Lambat laun isak tangis terdengar dan benar saja, isak tangisku mengusik Sabda.  Pintu terbuka, aku hanya mampu tertunduk dan tak  sanggup menatap wajahnya.  Tanpa kata, Sabda membenamkan aku dalam pelukannya.  Kami hanya mampu terdiam dengan rasa dan pikiran masing -- masing.  Â
"Tenang Dek, kamu akan selalu aman dalam pelukan Kakak!" Ucapnya sembari membelai dan mengecup keningku. Â
Sesaat kemudian ia meraih tubuh mungil bocah yang ada dekapanku. Â Air mataku semakin mengalir dengan derasnya. Â Tak lama kemudian tangan kokoh itu menuntun langkahku masuk ke dalam rumah. Â Luka luka di beberapa bagian tubuh terasa begitu nyeri.
"Dek, pria itu menganiaya kamu lagi? Â Sampai kapan kamu akan bertahan dalam penderitaan seperti ini? Ucapnya pelan, sembari tangan kokohnya mendongakkan wajahku.Â
Seketika aku tak lagi mampu menyembunyikan luka luka lebam di wajah. Â Darah segar sesekali mengalir dari hidung dan ujung bibir. Â Sabda, tampak sangat geram. Â Kepalan tangan kanannya seketika terayun dan mengenai tembok, sementara tangan kiri mendekap tubuh bocah mungilku. Â Darah segar mengalir dari ujung kepalan tangannya. Â Â Bocah mungil dalam dekapannya tampak menggeliat, barangkali dia merasa terusik. Â Aku segera beranjak dan memeluk tubuhnya dari belakang.
"Kak, Kakak tenang juga yah. Â Widya nggak apa apa, kok." Ucapku berbisik di telinganya.
"Nggak apa apa, bagaimana, Dek? Mulut kamu bisa saja membohongi Kakak, tetapi luka di wajah kamu itu tidak bisa bohong.
"Maafin Widya, Kak. Â Widya telah memilih pria yang salah."
"Kamu tunggu kakak di sini, sampai kakak pulang dan jangan ke mana mana!" Ujarnya, sembari menyerahkan bocah mungil itu kepadaku.
"Kakak mau ke mana? Jangan tinggalkan Widya di sini. Â Widya takut kakak kenapa kenapa di luar sana."
"Tenang Dek, Kakak janji akan kembali." Ucap Sabda sembari menatap kedua bola mataku.
Sesaat kemudian Sabda membalikkan badan dan segera berlalu. Â Aku hanya mampu menatapnya hingga sosoknya semakin menjauh, hingga sosok itu hilang dari pandangan. Â Nyatanya kepergian Sabda untuk membalas dendam dengan pria yang telah membuat sekujur tubuhku lebam. Â Pria yang sangat aku cintai, pria yang sangat aku kagumi, pria yang telah berjanji di hadapan penghulu dan keluarga besar 3 tahun yang lalu untuk menjagaku selamanya nyatanya hanya asapan jempol belaka. Â Â
Aku memutuskan menikah dengannya di usia yang masih sangat belia meski saat itu awalnya aku mendapat pertentangan keluarga besar yang pada akhirnya mereka memilih untuk mengalah demi kebagahagiaanku. Â Setelah menikah, aku memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua, dan tinggal di rumah kontrakan.Â
Yudha, pria yang telah meminangku adalah pria yang sangat penyanyang dan begitu menghormati keluarga besarku. Â Peringainya seketika berubah total semenjak kepergian kedua orang tuaku. Entah berapa banyak air mata yang tertumpah, entah berapa banyak luka lebam menghiasi sekujur tubuhku karena pelakuan kasarnya. Â Rasa sakit hati tak mampu lagi dijabarkan dengan kata. Â Rasa malu dan takut membebani Sabda serta kehadiran bocah mungil di tengah keluarga kecil kami menjadi alasan untuk mencoba bertahan dalam ikatan pernikahan dengannya.
Kepergian Sabda malam itu untuk membalas dendam dan dendam itulah  yang mengantarkan ia ke balik jeruji besi.  Sabda menyerang Yudha secara membabi buta hingga  menghembuskan napas terakhir.  Aku tak dapat berbuat apa apa, aku hanya berusaha tegar menghadapi garis takdir demi bocah mungilku.
Waktu bergulir, mentari beranjak, senja hadir menggantikannya hingga pekatnya malam membalut. Â Roda kehidupan terus berputar menghadirkan cerita suka dan duka yang hadir silih berganti. Â Demi bertahan hidup dan biaya sekolah putraku, aku membuka warung kecil kecilan, juga menitipkan jajanan pada warung warung lain, dan juga memasarkan secara online.Â
Tahun berganti, kesabaran dan kerja keras mengantarkan aku menapaki tangga kesuksesan. Â Beberapa usaha kini telah berkembang pesat dengan brand sendiri dan telah memiliki cabang di berbagai tempat. Â Bocah mungilku yang aku lahirkan beberapa tahun lalu, kini telah beranjak dewasa. Â Randi Yustira Abdillah, begitulah nama indah itu aku sandangkan padanya.
Randi, satu satunya tumpuan harapanku telah menyelesaikan kuliah di S2 pada jurusan hukum di University of Melbourne diusia 20 tahun. Â Kecerdasan Randi di atas rata rata mengantarkan ia pada kelas akselerasi sehingga mampu menyesaikan pendidikan S2nya di usia yang masih sangat muda. Â Kecerdasanya pulalah yang mengantarkan aku telah menginjakkan kaki di beberapa negara.
Randi telah tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan bak pangeran.  Perawakan yang tinggi besar, kulit putih bersih membalut seluruh tubuhnya, mata yang begitu indah, dan  bibir merah merona.  Kini ia telah kembali ke tanah air dan menempati jabatan penting dipemerintahan sesuai bidangnya.  Randi pulalah yang mengatarkan sang paman terbebas dari jeruji besi dan menghirup udara bebas.  Setitik air mataku terjatuh saat menyaksikan Sabda memeluk tubuh Randi tatkala usai menjalani masa tahanan dan dibebaskan dari tahanan.
 Tubuhnya tak lagi setegap dulu, dia bukan lagi Sabda yang dulu.  Jeruji besi menjadikan tubuhnya menjadi ringkih.  Aku menatap bola mata Sabda, bola mata itu tampak sayu dan memendam kepedihan.  Namun, tidak dapat dipungkiri di sana juga tersisa guratan kebahagiaan.  Seperti janjinya dulu, Sabda benar benar telah kembali, meski dengan cerita yang berbeda.  Aku mendekap tubuhnya begitu erat, air mata terus mengalir.  Tangisan ini adalah tangisan kebahagiaan.  Sumber Gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H