Mohon tunggu...
Nurlina (Tinta Ungu)
Nurlina (Tinta Ungu) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Selain aktif sebagai tenaga pengajar juga aktif menulis pada beberpa platform menulis digital. Telah menerbitkan 3 buah buku antologi cerpen dan 1 buah buku kumpulan cerpen solo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salah Mencintai

20 Agustus 2023   19:14 Diperbarui: 20 Agustus 2023   20:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kakak mau ke mana? Jangan tinggalkan Widya di sini.  Widya takut kakak kenapa kenapa di luar sana."

"Tenang Dek, Kakak janji akan kembali." Ucap Sabda sembari menatap kedua bola mataku.

Sesaat kemudian Sabda membalikkan badan dan segera berlalu.  Aku hanya mampu menatapnya hingga sosoknya semakin menjauh, hingga sosok itu hilang dari pandangan.  Nyatanya kepergian Sabda untuk membalas dendam dengan pria yang telah membuat sekujur tubuhku lebam.  Pria yang sangat aku cintai, pria yang sangat aku kagumi, pria yang telah berjanji di hadapan penghulu dan keluarga besar 3 tahun yang lalu untuk menjagaku selamanya nyatanya hanya asapan jempol belaka.   

Aku memutuskan menikah dengannya di usia yang masih sangat belia meski saat itu awalnya aku mendapat pertentangan keluarga besar yang pada akhirnya mereka memilih untuk mengalah demi kebagahagiaanku.   Setelah menikah, aku memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua, dan tinggal di rumah kontrakan. 

Yudha, pria yang telah meminangku adalah pria yang sangat penyanyang dan begitu menghormati keluarga besarku.  Peringainya seketika berubah total semenjak kepergian kedua orang tuaku. Entah berapa banyak air mata yang tertumpah, entah berapa banyak luka lebam menghiasi sekujur tubuhku karena pelakuan kasarnya.  Rasa sakit hati tak mampu lagi dijabarkan dengan kata.  Rasa malu dan takut membebani Sabda serta kehadiran bocah mungil di tengah keluarga kecil kami menjadi alasan untuk mencoba bertahan dalam ikatan pernikahan dengannya.

Kepergian Sabda malam itu untuk membalas dendam dan dendam itulah  yang mengantarkan ia ke balik jeruji besi.   Sabda menyerang Yudha secara membabi buta hingga  menghembuskan napas terakhir.   Aku tak dapat berbuat apa apa, aku hanya berusaha tegar menghadapi garis takdir demi bocah mungilku.

Waktu bergulir, mentari beranjak, senja hadir menggantikannya hingga pekatnya malam membalut.   Roda kehidupan terus berputar menghadirkan cerita suka dan duka yang hadir silih berganti.   Demi bertahan hidup dan biaya sekolah putraku, aku membuka warung kecil kecilan, juga menitipkan jajanan pada warung warung lain, dan juga memasarkan secara online. 

Tahun berganti, kesabaran dan kerja keras mengantarkan aku menapaki tangga kesuksesan.  Beberapa usaha kini telah berkembang pesat dengan brand sendiri dan telah memiliki cabang di berbagai tempat.  Bocah mungilku yang aku lahirkan beberapa tahun lalu, kini telah beranjak dewasa.  Randi Yustira Abdillah, begitulah nama indah itu aku sandangkan padanya.

Randi, satu satunya tumpuan harapanku telah menyelesaikan kuliah di S2 pada jurusan hukum di University of Melbourne diusia 20 tahun.  Kecerdasan Randi di atas rata rata mengantarkan ia pada kelas akselerasi sehingga mampu menyesaikan pendidikan S2nya di usia yang masih sangat muda.   Kecerdasanya pulalah yang mengantarkan aku telah menginjakkan kaki di beberapa negara.

Randi telah tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan bak pangeran.  Perawakan yang tinggi besar, kulit putih bersih membalut seluruh tubuhnya, mata yang begitu indah, dan  bibir merah merona.  Kini ia telah kembali ke tanah air dan menempati jabatan penting dipemerintahan sesuai bidangnya.  Randi pulalah yang mengatarkan sang paman terbebas dari jeruji besi dan menghirup udara bebas.   Setitik air mataku terjatuh saat menyaksikan Sabda memeluk tubuh Randi tatkala usai menjalani masa tahanan dan dibebaskan dari tahanan.

 Tubuhnya tak lagi setegap dulu, dia bukan lagi Sabda yang dulu.  Jeruji besi menjadikan tubuhnya menjadi ringkih.  Aku menatap bola mata Sabda, bola mata itu tampak sayu dan memendam kepedihan.  Namun, tidak dapat dipungkiri di sana juga tersisa guratan kebahagiaan.  Seperti janjinya dulu, Sabda benar benar telah kembali, meski dengan cerita yang berbeda.  Aku mendekap tubuhnya begitu erat, air mata terus mengalir.  Tangisan ini adalah tangisan kebahagiaan.  Sumber Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun