(Abstrak kuratorial pameran komunitas 22 ibu)
oleh
Hardiman
Virilitas atau kelelakian/kejantanan, dalam konsep Pierre Bourdieu, adalah sebuah ke-hal-an (quidditas ) yang ada pada vir,virtus, titik kehormatan (nif), sebagai prinsif konservasi dan peningkatan kehormatan. Pada aspek etikanya, virilitas itu tetap tidak dapat dipisahkan dari virilitas fisik, setidaknya secara diam-diam, terutama lewat pengakuan-pengakuan keperkasaan seksual--perenggutan keperawanan perempuan, jumlah anak laki-laki, dan lain-lain--yang diinginkan oleh laki-laki yang betul-betul laki-laki.[1]
Virilitas, dalam sejumlah budaya, segera terhubung dengan phallus yang dimaknai sebagai pusat dari semua fantasi kolektif kekuatan penyuburan.
[2] Realitas ini lebih dekat dengan karakter mitos yang, bagaimanapun, menyimpan suatu ambiguitas struktural  pada sejumlah simbol yang terkait dengan kesuburan. Begitulah definisi sosial yang adalah produk dari sebuah konstruksi. Konstruksi budaya laki-laki yang pada wilayah tertentu dirancang guna keuntungan kaum laki-laki.
Virilitas dan Mitos Tradisional
Kelelakian atau kejantanan dalam kultur tradisional Indonesia dibangun lewat narasi mitologis semacam dongeng suci yang memosisikan laki-laki sebagai pusat segala anergi. Itu sebabnya garis keturunan ayah misalnya, Â bukan sekadar tumbuh dalam wilayah adati yang bersifat horizontal, tetapi diyakini pula sebagai kebenaran vertikal. Dalam banyak kebudayaan kita, garis keturunan ayah terefleksikan melalui bahasa, nama keluarga, waris, bahkan asal-asul genealogis. Realitas kultural ini, meski hanya sebuah konstruksi, pada praktiknya telah melahirkan dan melanggengkan dominasi maskulin. Lihat misalnya bagaimana epos Ramayana, Mahabharata, tantri, legenda, dan serupanya di banyak daerah di Jawa dan Bali secara menerus diproduksi dengan tetap memerlihatkan keberpihakannya pada kerajaan laki-laki.
Sekadar contoh, Dewi Sinta yang menceburkan diri ke lautan api untuk membuktikan keperawanannya adalah ritual dengan pertaruhan nyawa demi kuasa laki-laki. Dongeng-dongeng lain yang tetap dipelihara oleh para lelaki (juga oleh  perempuan) misalnya Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari, Sangkuriang dan Dayang Sumbi, dan banyak lagi yg secara tersembunyi memerlihatkan kuasa lelaki atau kejantanan.
Virilitas dan Mitos Modern
Dalam kebudayaan kontemporer, apresiasi terhadap virilitas diwujudkan dalam bentuk pemujaan terhadap tubuh jantan oleh kaum laki-laki (juga oleh perempuan). Lihat misalnya bagaimana budaya pemeliharaan tubuh itu hadir melalui pintu wacana tentang tubuh yang sehat. Pemaknaan tubuh yang sehat itu, praktiknya seringkali dikaitkan dengan kemudaan dan keindahan tubuh. Tak mengherankan, jika kemudian di kota-kota tumbuh ‘rumah-rumah tubuh’ semacam pusat kebugaran, pusat olah raga, arena petualangan, fashion untuk laki-laki, parfume untuk laki-laki, bahkan salon khusus untuk laki-laki. Intinya, tubuh laki-laki adalah aset.
Di Bandung dan sekitarnya misalnya, arena petualangan yang akomodatif terhadap kelelakian tumbuh menjamur. Di hutan-hutan kecil dibangun arena petualangan untuk bermotor, berkuda, dan serupanya; di sungai-sungai dibangun arena arung.Para pelakunya bukan hanya para wisatawan yang sekadar mencoba, tetapi juga banyak lelaki yang secara tetap dan terprogram melakukan petualangan modern ini. Sejalan dengan itu, produk fasion dan gaya hidup lainnya diproduksi guna memenuhi hasrat kelelakian itu. Lihat misalnya bagaimana fashion untuk pria yang didesain dengan tekanan pada citra kejantanan.
Tetapi, pertanyaan muncul: Apakah kelelakian sekadar konstruksi budaya yang bentuk dan fungsinya bisa berubah-ubah bahkan bisa dilenyapkan oleh konstruksi budaya yang lain? Â Dewasa ini wacana tentang perempuan dan kepermpuanannya sedang hangat mengemuka. Ada kesan yang segera dapat terbaca bahwa perempuan dengan semangat feminismenya telah dan sedang memosisikan kesejajaran dengan kaum lelaki. Bahkan pada posisi ekstrim tertentu, perempuan memosisikan diri sebagai yang di depan dan di atas. Pendeknya, hari ini, perempuan tidak lagi harus dibelakang, ia juga bisa hadir sejajar dengan lelaki, bahkan bisa hadir paling depan: pegang kemudi.
Dapat dibayangkan dalam pameran Komunitas 22 Ibu ini akan hadir sejumlah karya rupa yg secara terbuka mengkritisi dua mitos kelelakian itu. Perempuan perupa hadir sebagai subjek yang superior dengan ‘kerling matanya’ dan lelaki hanya ‘bertekuk lutut’. Mungkin juga akan hadir karya rupa yg secara sunyi dan tersembunyi mengkritisi kuasa lelaki itu dengan bahasa visual yg berlapis-lapir dan berbungkus-bungkus.
Pendeknya, bahasa dan cara ungkap yang manapun, pameran ini tetap dengan niatan menghadirkan tanggapan perempuan, dalam hal ini Komunitas 22 Ibu, terhadap kelelakian. Judul pameran ‘lelakiku’ diniatkan agar tertangkap kesan bahwa lelaki itu milik/punya/dipegang/ada dalam/ aku. Jelas, perempuan adalah subjek.[]
[2] Lihat misalnya struktur lingga-yoni yang menempatkan lingga sebagai pusat. Peninggal kebudayaan
 lama ini, hingga hari ini masih dipelihara dalam bentuk dongeng suci, keadatan, dan keagamaan diÂ
 beberapa daerah lain di Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H