Mohon tunggu...
Ariesa Pandanwangi
Ariesa Pandanwangi Mohon Tunggu... Dosen - Perempuan, tinggal di Bandung

Staf pengajar PT Swasta di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lelakiku

25 November 2016   16:59 Diperbarui: 25 November 2016   17:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
duniabu425.blogspot

Dalam kebudayaan kontemporer, apresiasi terhadap virilitas diwujudkan dalam bentuk pemujaan terhadap tubuh jantan oleh kaum laki-laki (juga oleh perempuan). Lihat misalnya bagaimana budaya pemeliharaan tubuh itu hadir melalui pintu wacana tentang tubuh yang sehat. Pemaknaan tubuh yang sehat itu, praktiknya seringkali dikaitkan dengan kemudaan dan keindahan tubuh. Tak mengherankan, jika kemudian di kota-kota tumbuh ‘rumah-rumah tubuh’ semacam pusat kebugaran, pusat olah raga, arena petualangan, fashion untuk laki-laki, parfume untuk laki-laki, bahkan salon khusus untuk laki-laki. Intinya, tubuh laki-laki adalah aset.

Di Bandung dan sekitarnya misalnya, arena petualangan yang akomodatif terhadap kelelakian tumbuh menjamur. Di hutan-hutan kecil dibangun arena petualangan untuk bermotor, berkuda, dan serupanya; di sungai-sungai dibangun arena arung.Para pelakunya bukan hanya para wisatawan yang sekadar mencoba, tetapi juga banyak lelaki yang secara tetap dan terprogram melakukan petualangan modern ini. Sejalan dengan itu, produk fasion dan gaya hidup lainnya diproduksi guna memenuhi hasrat kelelakian itu. Lihat misalnya bagaimana fashion untuk pria yang didesain dengan tekanan pada citra kejantanan.

Tetapi, pertanyaan muncul: Apakah kelelakian sekadar konstruksi budaya yang bentuk dan fungsinya bisa berubah-ubah bahkan bisa dilenyapkan oleh konstruksi budaya yang lain?  Dewasa ini wacana tentang perempuan dan kepermpuanannya sedang hangat mengemuka. Ada kesan yang segera dapat terbaca bahwa perempuan dengan semangat feminismenya telah dan sedang memosisikan kesejajaran dengan kaum lelaki. Bahkan pada posisi ekstrim tertentu, perempuan memosisikan diri sebagai yang di depan dan di atas. Pendeknya, hari ini, perempuan tidak lagi harus dibelakang, ia juga bisa hadir sejajar dengan lelaki, bahkan bisa hadir paling depan: pegang kemudi.

Dapat dibayangkan dalam pameran Komunitas 22 Ibu ini akan hadir sejumlah karya rupa yg secara terbuka mengkritisi dua mitos kelelakian itu. Perempuan perupa hadir sebagai subjek yang superior dengan ‘kerling matanya’ dan lelaki hanya ‘bertekuk lutut’. Mungkin juga akan hadir karya rupa yg secara sunyi dan tersembunyi mengkritisi kuasa lelaki itu dengan bahasa visual yg berlapis-lapir dan berbungkus-bungkus.

Pendeknya, bahasa dan cara ungkap yang manapun, pameran ini tetap dengan niatan menghadirkan tanggapan perempuan, dalam hal ini Komunitas 22 Ibu, terhadap kelelakian. Judul pameran ‘lelakiku’ diniatkan agar tertangkap kesan bahwa lelaki itu milik/punya/dipegang/ada dalam/ aku. Jelas, perempuan adalah subjek.[]



CATATAN:
[1] Pierre Bourdieu, 2010, Dominasi Maskulin (terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko), Yogyakarta:
  Jalasutra.

[2] Lihat misalnya struktur lingga-yoni yang menempatkan lingga sebagai pusat. Peninggal kebudayaan

  lama ini, hingga hari ini masih dipelihara dalam bentuk dongeng suci, keadatan, dan keagamaan di 

  beberapa daerah lain di Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun