Mohon tunggu...
Ariesa Pandanwangi
Ariesa Pandanwangi Mohon Tunggu... Dosen - Perempuan, tinggal di Bandung

Staf pengajar PT Swasta di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lelakiku

25 November 2016   16:59 Diperbarui: 25 November 2016   17:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
duniabu425.blogspot

LELAKIKU

(Abstrak kuratorial pameran komunitas 22 ibu)

oleh

Hardiman

Virilitas atau kelelakian/kejantanan, dalam konsep Pierre Bourdieu, adalah sebuah ke-hal-an (quidditas ) yang ada pada vir,virtus, titik kehormatan (nif), sebagai prinsif konservasi dan peningkatan kehormatan. Pada aspek etikanya, virilitas itu tetap tidak dapat dipisahkan dari virilitas fisik, setidaknya secara diam-diam, terutama lewat pengakuan-pengakuan keperkasaan seksual--perenggutan keperawanan perempuan, jumlah anak laki-laki, dan lain-lain--yang diinginkan oleh laki-laki yang betul-betul laki-laki.[1]

Virilitas, dalam sejumlah budaya, segera terhubung dengan phallus yang dimaknai sebagai pusat dari semua fantasi kolektif kekuatan penyuburan.

[2] Realitas ini lebih dekat dengan karakter mitos yang, bagaimanapun, menyimpan suatu ambiguitas struktural  pada sejumlah simbol yang terkait dengan kesuburan. Begitulah definisi sosial yang adalah produk dari sebuah konstruksi. Konstruksi budaya laki-laki yang pada wilayah tertentu dirancang guna keuntungan kaum laki-laki.

Virilitas dan Mitos Tradisional

Kelelakian atau kejantanan dalam kultur tradisional Indonesia dibangun lewat narasi mitologis semacam dongeng suci yang memosisikan laki-laki sebagai pusat segala anergi. Itu sebabnya garis keturunan ayah misalnya,  bukan sekadar tumbuh dalam wilayah adati yang bersifat horizontal, tetapi diyakini pula sebagai kebenaran vertikal. Dalam banyak kebudayaan kita, garis keturunan ayah terefleksikan melalui bahasa, nama keluarga, waris, bahkan asal-asul genealogis. Realitas kultural ini, meski hanya sebuah konstruksi, pada praktiknya telah melahirkan dan melanggengkan dominasi maskulin. Lihat misalnya bagaimana epos Ramayana, Mahabharata, tantri, legenda, dan serupanya di banyak daerah di Jawa dan Bali secara menerus diproduksi dengan tetap memerlihatkan keberpihakannya pada kerajaan laki-laki.

Sekadar contoh, Dewi Sinta yang menceburkan diri ke lautan api untuk membuktikan keperawanannya adalah ritual dengan pertaruhan nyawa demi kuasa laki-laki. Dongeng-dongeng lain yang tetap dipelihara oleh para lelaki (juga oleh  perempuan) misalnya Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari, Sangkuriang dan Dayang Sumbi, dan banyak lagi yg secara tersembunyi memerlihatkan kuasa lelaki atau kejantanan.

Virilitas dan Mitos Modern

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun