Pada pengujung masa jabatannya yang berakhir dengan kekalahan tahun 2024, Bupati Jember Hendy Siswanto meresmikan hasil pemugaran alun-alun Jember. Namanya kini menjadi Alun-Alun Jember Nusantara --sangat bernuansa IKN. Meski alun-alunnya sudah ada sejak zaman voor de oorlog namun kiranya baru kali ini diresmikan secara akbar. Tentu saja peresmian ini menandai bahwa alun-alun telah dipugar, dipercantik, atau dalam istilah ala pemerintah sering disebut revitalisasi. Selama Era Reformasi, alun-alun Jember beberapa kali mengalami ubahan. Namun harus diakui, pemugaran 2024 memberikan nuansa baru yang tidak sebatas estetika namun juga pengejawantahan konsep ruang publik modern.
Selama berabad-abad, kota-kota di Jawa bercirikan alun-alun sebagai inti ruang kota yang tidak terbatas pada aspek fisik namun juga kosmologis. Kota dengan alun-alun di tengahnya merupakan mandala yang mencerminkan konsep kekuasaan konsentris yang dianut raja-raja Jawa khususnya sejak pulau ini terpapar indianisasi secara masif. Kekuasaan secara politis dan yuridis berpusat pada diri sang raja sendiri; ia adalah wewenang murba wisesa. Konsepsi ini masih harus ditampilkan secara fisik melalui tata ruang kota dengan alun-alun sebagai pusat dari sebuah kota yang melambangkan kekuasaan sang raja. Bentuk ini dapat diamati misalnya pada ibukota Kesultanan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Kedua keraton selain saling mengklaim sebagai penerus Mataram, juga mengembangkan konsep tata ruang kota ala keraton di era kolonial. Malah kemudian tata ruang ala kekuasaan Jawa ini digunakan oleh pemerintah kolonial ketika mengembangkan sistem pemerintahan daerah pada abad ke 19 hingga abad 20.
Ketika pemerintah kolonial mulai menegakkan pax neerlandica, kota-kota baru bermunculan di seantero Jawa. Mereka layak disebut kota yang baru, dalam arti gagasan urbanisasi (baca: ke-kota-annya) memang baru yaitu sebagai pusat pemerintahan daerah yang berjenjang dalam struktur kolonial. Semua ini tidak lepas dari ide Thomas Raffles, Gubernur British India untuk Jawa yang membentuk sistem pemerintahan berbasis karesidenan di Jawa pada 1811. Penyerahan Jawa kepada Belanda tahun 1816 tidak mengubah sistem karesidenan ini; para Komisaris Jenderal terlalu sibuk jungkir-balik dengan tetek-bengek birokrasi dan seiring dengan program cultuur stelsel justru sistem karesidenan terbukti sebagai sistem yang andal menunjang politik kolonial.
Karesidenan, meski merupakan unit pemerintahan yang vital namun tidak mengandalkan konsep "ibu kota" dalam arti ruang fisik seperti gaya kekuasaan raja-raja feudal. Inti dari karesidenan ada pada para ambtenaar atau birokratnya, yang terdiri atas residen sebagai "komandan resimen" yang mengepalai pemerintahan berikut unsur-unsur pelaksana teknis. Seorang residen secara birokratis mengepalai Binnenlandsche Bestuur atau BB (kepegawaian Belanda) dan Inlandsche Bestuur atau IB (kepegawaian bumiputera). Hal ini dikarenakan pemerintahan Hindia Belanda sejak 1816 sampai 1920-an menggunakan sistem berkaki dua, dalam arti terdapat dua jenis birokrasi yang bekerja sama menjalankan satu sistem pemerintahan.
Sebuah karesidenan terdiri atas beberapa afdeeling atau sub-karesidenan yang dikepalai assistent resident atau AR. Afdeeling merupakan unit administratif yang kemudian menjelma menjadi regentschap atau kabupaten. Transformasi ini terjadi ketika pemerintahan suatu wilayah dinilai sudah bisa diserahkan pada IB yang terdiri dari bupati dan jajaran di bawahnya (wedana, asisten wedana, kepala desa). Sampai dengan diundangkannya Decentralisatie Wet 1903, sebagian besar karesidenan di Jawa masih terdiri atas afdeeling-afdeeling. Baru kemudian seiring diterapkannya desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda, afdeeling digantikan dengan regentschap atau kabupaten yang dipimpin regent (bupati) yang bertanggungjawab kepada residen. Afdeeling pun dihapuskan dan jabatan AR masuk kotak.
Diterapkannya sistem pemerintahan kolonial ini berpengaruh terhadap kemunculan pusat-pusat karesidenan dan afdeeling sebagai kota-kota baru di Jawa. Baik residen maupun AR memerlukan rumah dinas dan kantor, serta diperlukan pula adanya dinas-dinas pelaksana teknis khususnya yang berkaitan dengan proyek raksasa cultuur stelsel (1830-1870) seperti dinas pertanian, pengairan, kesehatan, dsb. Ketika kemudian cultuur stelsel dihapuskan dan sistem ekonomi Hindia Belanda menjadi liberal sejak 1870, dinas-dinas baru dibentuk seperti pekerjaan umum, perbankan, perkreditan, dan pegadaian. Dengan demikian, suatu wilayah yang ditetapkan sebagai pusat karesidenan atau pusat afdeeling akan menjadi kota yang sejalan dengan konsep kota sebagai pusat peradaban komunitas manusia di suatu lingkup wilayah tertentu.
Kota sebagai pusat pemerintahan memang menjadi suatu ciri yang khas dari periode kolonial. Terpusatnya kegiatan pemerintahan di kota menjadikan wilayah ini penting dan menjanjikan bagi pasar. Para residen dan antek-anteknya tentu memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup, yang disuplai dari wilayah perdesaan di sekitarnya. Maka kota-kota kolonial ini juga menjadi pusat kegiatan ekonomi, meski pada paruh pertama abad 19 masih belum nampak aktivitas ekonomi yang dapat dikatakan "menggerakkan" atau "menggairahkan" kota. Justru desa-desa yang lebih dahulu mengalami perubahan gara-gara cultuurstelsel.
Kondisi pusat-pusat karesidenan atau afdeeling yang belum maju justru menjadi blessing in disguise dalam konteks keruangan kota. Pemerintah menjadi leluasa mengatur dan menetapkan penggunaan ruang fisik sesuatu dengan kebutuhan. Uniknya, pusat kota kolonial ini mengambil konsep yang plek-ketiplek dengan kota-kota tradisional Jawa yang menjadi pusat kerajaan yaitu dengan alun-alun sebagai inti kota.
Alun-alun kota kolonial berupa tanah lapang berbentuk bujur sangkar yang keempat sisinya menghadap arah mata angin secara konsisten. Konsep rancangan ini meski persis dengan alun-alun kerajaan namun memiliki pendekatan yang berbeda. Alih-alih bersifat sakral, alun-alun kota kolonial lebih berfungsi secara rasional yaitu memungkinkan tata ruang yang lebih leluasa khususnya pembangunan jaringan jalan raya. Titik nol suatu kota kolonial galibnya ditancapkan di sekitar alun-alun, sehingga jarak antarkota dapat diukur dari satu pusat kota ke pusat kota lainnya. Namun tidak dapat disangkal bahwa tren kebudayaan Indis yang berkembang di kalangan orang Belanda juga mempengaruhi keputusan ini. Adopsi rancang-bangun alun-alun ala keraton feudal menunjukkan pengakuan mereka terhadap konsep tata ruang Jawa. Tindakan mereplika bentuk tata ruang ala keraton sebagai pusat kota juga merupakan usaha untuk mendapatkan simpati penduduk Jawa yang sebagian besar masih keraton-minded.
Konsep tata ruang kota tradisional Jawa dikenal sebagai catur gatra tunggal atau empat unsur dalam satu kesatuan. Empat unsur tersebut meliputi keraton sebagai simbol kekuasaan politik raja, masjid mewakili unsur Ketuhanan Yang Maha Esa, alun-alun mewakili bumi sebagai simbol ruang fisik tempat manusia berinteraksi, dan pasar mewakili aspek ekonomi yang merupakan salah satu sifat umum manusia (homo economicus). Catur gatra tunggal menunjukkan sinkretisme ajaran pra-indianisasi dan pengaruh Islam dalam gagasan kekuasaan yang holistik.
Bagi pemerintah kolonial, konsep yang sudah teruji dan diterima oleh khalayak seperti ini lebih baik dilanjutkan saja. Nampaknya mereka belajar betul dari sejarah, bahwa ketika Maarschalk Daendels dan Raffles berusaha mengobok-obok sistem kekuasaan Jawa malah berujung huru-hara dan timbul krisis kepercayaan pada pemerintah. Selain itu, semangat birokrasi kolonial sebagaimana dapat dilihat dalam "konstitusi" Regering Reglement 1854 menunjukkan adanya penyerapan unsur kekuasaan Jawa dalam sistem kolonial. Sekalipun pada saat yang sama pemerintah kolonial juga berusaha merampingkan gaya hidup para bupati yang dinilai kelewat hedon.
Kemunculan kota-kota Kol-Ja (kolonial tapi Jawa) pada paruh kedua abad 19 berkaitan dengan dihapuskannya cultuurstelsel pada 1870 dan digantikan dengan opendeur politiek. Paket kebijakan ekonomi pemerintah kolonial menganut haluan baru dengan dibukanya Hindia Belanda terhadap investasi. Regulasi yang paten dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi para investor, yaitu Agrarische Wet (undang-undang agraria) dan Suiker Wet (undang-undang gula) yang keduanya ditetapkan tahun 1870. Kedua beleid kolonial tersebut sebenarnya sudah ditunggu-tunggu oleh pengusaha Belanda yang nyidam ingin mencicipi kue ekonomi di tanah jajahan. Maka sejak 1870 bermunculan perusahaan-perusahaan swasta yang umumnya berkutat di sektor agroindustri khususnya perkebunan dan industri gula.
Ada tiga wilayah di Hindia Belanda yang menjadi prima donna para ondernemer (pengusaha perkebunan swasta) yaitu Priangan, Sumatera Timur, dan Ujung Timur Jawa. Ini berkaitan dengan ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perkebunan, yang memerlukan lahan luas dan masih subur. Selain itu komoditas tertentu khususnya kopi memerlukan ketinggian tanam yang ideal, dan hanya bisa didapatkan di dataran tinggi. Priangan kaya akan pegunungan, dan Ujung Timur Jawa memiliki plateau di Ijen. Selain kopi, budidaya tembakau juga mensyaratkan karakter lahan nan spesifik yang terpenuhi oleh tanah-tanah di Sumatera Timur khususnya wilayah Kesultanan Deli dan Jember di Karesidenan Besuki.
Investasi yang masuk ke wilayah yang semula tergolong pedalaman seperti Jember berpengaruh pada perkembangan ekonomi setempat. Perkebunan adalah usaha ekonomi berorientasi ekspor, sehingga sebuah wilayah yang "ketempatan" perkebunan dengan sendirinya menjadi bagian dari jejaring produksi sejak komoditas dibudidayakan di lahan hingga dilelang di kota-kota dagang seperti Amsterdam dan Rotterdam. Maka fasilitas pokok seperti pabrik, pergudangan, perumahan pekerja, dan perkantoran pun berdiri di wilayah perkebunan. Fasilitas produksi biasanya berada di lokasi lahan, sementara perkantoran berada dekat dengan pusat kota. Antara keduanya kemudian dibangun jalan penghubung untuk menunjang kelancaran usaha. Jalan-jalan inilah yang kemudian menjadi jaringan transportasi desa ke kota.
Apapun itu, kota-kota di Jawa sendiri mengalami perkembangan seiring peningkatan populasi penduduk pasca cultuurstelsel. Ini bukan berarti bahwa sistem tanam paksa sebagai suatu bentuk "pencapaian positif" kalau bicara demografi, namun lebih pada keberhasilan program vaksinasi cacar di Jawa sejak paruh kedua abad 19. Wilayah-wilayah dengan pertumbuhan penduduk yang signifikan memerlukan tata kelola yang lebih kompleks dan biasanya ini adalah wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan. Maka pada periode yang sama dengan pelaksanaan opendeur politiek, kita dapat menyaksikan pertumbuhan kota-kota "baru" di hampir seluruh Jawa --khususnya dalam bahasan ini adalah Jember.
Kapan kiranya Jember bisa disebut kota?
Pada 9 Januari 1883, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s'Jacob mengeluarkan Lembaran Negara Nomor 17 tentang Pembagian Afdeeling Bondowoso menjadi Dua Ke-asisten residen-an (afdeeling). Disebutkan bahwa hoofdplaats yang di sini diterjemahkan secara bebas sebagai "ibu kota" untuk Afdeeling Jember adalah Jember yang terletak di Distrik Jember. Jelas sudah posisinya di mana. Tentang alun-alun sebagai inti kota kolonial, Hageman mencatat bahwa dalam kunjungannya ke Jember tahun 1861 bahwa di alun-alun Jember banyak tanaman sadeng dimuat dalam gerobak-gerobak. Sayangnya Hageman tidak merinci aspek fisik alun-alun dan sekitarnya, namun cukup menjelaskan bahwa lapangan ini telah ada sebelum Jember bertransformasi menjadi kota sejak 1883.
Kiranya alun-alun Jember bermula dari suatu tanah lapang yang terletak persis di pertemuan jalan dari Tanggul/Puger ke arah Bondowoso, dan juga akses Bondowoso--Kranjingan/Mumbulsari. Titik ini menjadi penting karena menjadi simpul transportasi dari dan ke pusat pemerintahan Afdeeling Bondowoso (sebelum dipecah). Berdasarkan dugaan ini, maka fungsi alun-alun pada mulanya sebagai titik istirahat atau checkpoint para pelintas yang hendak menuju Bondowoso dan sebaliknya. Lokasi alun-alun kemungkinan merupakan wilayah inti dari Kabekelan Jember yang kemudian direorganisasi menjadi Distrik Jember pada 1774 oleh pemerintah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Perserikatan Perusahaan Hindia Timur). Lokasinya menjadi strategis lantaran merupakan titik percabangan akses jalan yang menjangkau wilayah-wilayah lain, sehingga ketika di Jember dibentuk pemerintahan afdeeling sebagai sub-karesidenan, titik pusat pemerintahan yang dipilih adalah alun-alun. Pertimbangan rasional yang bermain di sini.
Oleh karena konsep alun-alun Jember bukan sebagai mandala kosmis, maka pengaturan ruang fisiknya pun berbeda dengan keraton dengan konsep catur gatra tunggal. Tanpa keraton, justru letak bangunan kantor AR berada di sisi timur atau kini menjadi bangunan Bank Jatim. Rumah dinas meneer AR justru berada tepat di sisi selatan alun-alun, yang sekarang sudah berubah total menjadi Kantor Bupati Jember di Jalan Sudarman Nomor 1 --dan satu-satunya. Pada masa regentschap sejak 1940 hingga awal Orde daripada Baru, bupati-bupati Jember berkantor di belakang rumah AR. Bangunannya sampai sekarang masih terjaga, dengan ciri khas menara yang menjulang tepat di atas ruang aula.
Pada bagian barat, di sebelah barat daya terdapat masjid dan kantor wedana yang mengapit jalan raya. Kini kedua bangunan tersebut sama-sama menjadi masjid jami' --lama dan baru. Sampai awal 2024 masih ada jembatan penghubung kedua bangunan bersejarah itu, namun kerapuhan struktur membuat keberadaan jembatan dinilai membahayakan penggunanya dan pengguna jalan sehingga dibongkar.
Jika dalam tata ruang tradisional bagian utara alun-alun ditempati keraton, maka di alun-alun Jember yang "mbeling" ini malah berjejer kantor controleur, kantor pos, kantor bank afdeeling, dan gedung pengadilan. Di pojok timur laut dibangun penjara, mungkin agar mudah menjebloskan terpidana setelah di-landraad langsung dikurung dalam bilik pro deo (uh, di sini pernah menginap mantan bupati, sekretaris daerah dan kepala dinas).
Tata ruang yang demikian menunjukkan bahwa terjadi pengejawantahan-ulang fungsi alun-alun dalam konteks keruangan kota pada masa kolonial hingga kemerdekaan. Alun-alun tetap dimaknai sebagai inti kota, yang dengan jelas nampak dari pemusatan kantor pemerintah dan fasilitas utama di sekelilingnya. Namun inti kota di sini telah menunjukkan semangat modern yang merupakan zeitgeist paruh kedua abad 19; sejalan dengan opendeur politiek pemerintah kolonial sejak 1870.
Masuknya modal swasta sejak 1870 mempercepat urbanisasi Jember, dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan. Perusahaan-perusahaan swasta mendirikan kantor-kantornya di sepanjang jalan utama, misalnya pelopor perkebunan swasta, NV Landbouw Maatschappij Oud Djember membangun gedung kantornya sekitar 2 km ke arah barat dari alun-alun. Sementara hunian elit berupa rumah-rumah loji dibangun di sepanjang "jalan kamar bola" (sekarang Jalan Panglima Besar Sudirman), dengan "kamar bola" atau Gedung Societeit berada sejajar dengan stasiun. Yes, bangunan ini kemudian diakuisisi tentara dan sekarang menjadi markas satuan teritorial, sayangnya renovasi fasad muka justru menghilangkan ciri khas bangunan kolonial. Namun jangan kuatir karena masih ada satu gedung societeit yang masih relatif utuh, yaitu gedung UKM Unej atau aula LPM lawas di belakang Puslit Koka/ICCRI.
Sebenarnya bangunan Puslit Koka sendiri juga bangunan kolonial yang dibangun tahun 1911 sebagai Besoekisch Proefstastion atau laboratorium penelitian dan pemuliaan tanaman perkebunan. Fasilitas ini pernah dikunjungi Gubernur Jenderal Bonifacius de Jonge pada 1935. Dari sinilah lahir galur-galur kopi unggulan seperti Java Arabica "Ijen" dan Toraja Arabica "Toarco". Namun nasib bangunan bergaya art deco khas kolonial juga segendang sepenarian dengan societeit gebouw di jalan kamar bola; tertutup fasad gaya modern.
Harus diakui bahwa kebutuhan bangunan modern atau setelah setengah abad Indonesia merdeka telah berperan dalam hilangnya elemen kota lama di Jember. Fait accompli. Misalnya bangunan "Hotel Djember" yang punya nilai historis luar biasa, kini sama sekali tak nampak sisanya karena diubah menjadi kantor BRI. Sedikit berkisah, sejak 22 Juli 1947 pasukan Brigade Marinir Belanda menggunakan hotel ini sebagai markas sementara, ketika berhasil merebut Jember dalam gelar Operatie Product atau Agresi Militer Belanda I. Para marinier menetap sampai bulan November 1947 ketika tiba saatnya aplusan dengan Batalion Infanteri ke-23 KNIL. Satuan yang dipimpin Letkol J.H.J. Brendgen inilah yang bertanggungjawab atas gugurnya Letkol Mochammad Sroedji, Komandan Brigade 3 "Damarwulan". Jasad Letkol Sroedji juga sempat disimpan di Hotel Djember sampai akhirnya diminta oleh Kiai Dachnan untuk dimakamkan secara Islam.
Mengingat pentingnya pengaruh peristiwa yang terjadi, semestinya bangunan utama hotel masih dapat dipertahankan sekalipun penggunaannya sudah diproyeksikan untuk keperluan lain. Namun sejarah tinggal sejarah, bank pemerintah perlu gedung lebih luas jadi digempurlah bangunan Hotel Djember dan generasi kiwari cuma kebagian tutur tinular belaka. Nasib sama terjadi pada kantor AR yang terletak persis di sebelahnya. Bangunan bank afdeeling dan landraad juga sudah tak berjejak lagi. Semangat dekolonisasi yang tidak dibarengi dengan wawasan kesejarahan nampaknya menjadi biang kerok dari pembangunan ruang kota yang terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Namun tentunya tiap generasi berhak dan absah memproduksi sejarahnya sendiri. Pada 1970-an ketika Orde daripada Baru gemar menempatkan perwira menengah sebagai kepala daerah, studi pendahuluan menunjukkan bahwa pemerintahan daerah tingkat II Jember memerlukan kantor pemerintahan yang lebih adekuat dan representatif. Maka kemudian diputuskan untuk membangun gedung pemerintahan baru di sebelah selatan alun-alun. Bangunan rumah dinas AR pun diratakan dan dibangun gedung baru yang megah; berdesain melengkung, lebarnya sama dengan lebar alun-alun, dan di halaman dibuat taman dengan bentuk kepala rajawali. Menurut sebagian orang, desain ini bermaksud agar bila bangunan dilihat dari angkasa akan nampak seperti burung garuda nan istimewa. Tapi kalau boleh jujur, taman dengan hiasan kepala burung jadi lebih mirip lambang Divisi Lintas Udara ke-101 "Screaming Eagle" yang legendaris itu.
Selain kantor AR, pada 1970-an kantor wedana yang terletak persis di sebelah barat alun-alun juga harus hilang dari muka bumi. Pertumbuhan penduduk kota Jember yang secara kepercayaan dominan Islam memerlukan tempat ibadah yang representatif, yang tidak lagi mampu dilayani masjid jami' di pojok barat daya. Rembug muspida (sekarang forkopimda) dan tokoh masyarakat memutuskan perlunya membangun masjid baru tanpa harus menggusur masjid lama. Oleh karena letak geografis kota-kota Jawa terhadap Mekkah dan pola penggunaannya, jadi letak masjid harus di sebelah barat alun-alun. Maka kantor wedana yang memang secara administratif sudah obsolete dibongkar, lahannya beserta area sekitar menjadi masjid bergaya kubah dengan struktur penyangga busur terekspos, mirip betul dengan kubah gedung DPR-MPR di Jakarta.
Memasuki dasawarsa 1990-an, seiring ekonomi nasional yang membaik dibangun pula rumah dinas bupati dengan gaya arsitektur kejawa-jawaan. Pendopo raksasa bertingkat dibangun di bekas kantor controleur, di pojok barat laut alun-alun. Harus diakui bangunan ini serasi betul dengan konsep alun-alun sebagai mandala, apalagi dengan nama yang tak kalah kepriyayi-priyayian nJawani; Wahyawibawagraha. Kombinasi pendopo di sebelah utara (sebenarnya terlalu mojok) dan masjid di sisi barat membuat banyak orang terkecoh, mengira tata ruang Jember sebagai tata ruang kota keraton. Apalagi di kala cuaca cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Argopuro di latar belakang. Persis sumbu imajiner Gunung Merapi-Keraton-Laut Kidul. Tapi di Jember sumbunya sedang kusut sehingga tidak lurus.
Letak alun-alun Jember yang berada di tengah wilayah membuat posisinya strategis untuk kegiatan massal. Paling kentara adalah alun-alun menjadi titik finish gerak jalan Tanggul Jember Tradisional (Tajemtra) yang dihelat saban tahunnya sejak 1977, titik start arak-arakan Jember Fashion Carnival sejak 2003, dan car free day sejak 2010. Selain itu dengan dislokasi terminal angkutan umum di Rambipuji, membuat hampir semua jurusan pasti melewati alun-alun sehingga memposisikannya sebagai center of gravity kegiatan masyarakat. Namun demikian, karena wilayah inti kota semakin penuh sesak dan juga arah gerak perekonomian semakin kapitalistik maka ruang kota Jember semakin melebar tanpa arah pembangunan yang jelas. Kota Jawa modern (sejak awal abad 21) berkembang secara relatif bebas karena didorong semangat otonomi daerah. Masing-masing pemerintahan kabupaten/kota berlomba-lomba membangun kotanya dengan gagasan masing-masing. Sayangnya, pada satu dan lain hal semangat pembaruan justru menjadikan tata ruang kota terkesan tidak berkesinambungan lantaran pemerintahan daerah berganti-ganti setiap lima tahun. Setiap pemerintahan baru berusaha tampil dengan gagasan berbeda, sehingga program bupati lama dengan cepat digantikan program bupati baru.
Alun-alun Jember Nusantara menandai suatu era baru dalam menempatkan alun-alun sebagai contoh ruang publik modern. Alun-alun bukan lagi simbolisasi kekuasaan politik, melainkan wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat dengan menghadirkan ruang sosialisasi yang berorientasi kepentingan umum. Kegiatan-kegiatan massal baik yang terselenggara atas inisiasi pemerintah maupun dari unsur masyarakat sendiri merupakan sinyal positif dalam konteks sosial-budaya. Bahwa di tengah semakin sesaknya kota Jember masih terdapat ruang yang demokratis dan inklusif untuk penduduk membaur dan melepaskan kepenatan akibat tekanan hidup yang semakin merobotkan manusia.*
Beberapa bacaan:
Arifin, Edy Burhan. (1989). "Emas Hijau" di Jember: Asal-Usul, Pertumbuhan, dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat, 1860-1970 [tesis tidak diterbitkan]. Universitas Gadjah Mada.
Ashadi. (2017). Alun-Alun Kota Jawa. Arsitektur UMJ Press.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta. (2019). Catur Gatra Tunggal. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/catur-gatra-tunggal/
Boomgaard, Peter. (2004). Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. KITLV-Jakarta dan Djambatan.
Hageman Jcz, J. (1862). Over de Nijverheid in Zuidoostelijk Java, Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch Indie. VIII, 28-66.
Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Gramedia Pustaka Utama, Forum Jakarta-Paris, dan cole franaise d'Extrme-Orient.
Margana, Sri. (2012). Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada.
Moertono, Soemarsaid. (1985). Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Yayasan Obor Indonesia.
Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie 1854.
Ricklefs, M.C. (1994). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press.
Rutz, Werner. (1987). Cities and Town in Indonesia: Their Development, Current Positions and Functions with Regard to Administration and Regional Economy. Gebrder Bontraeger.
Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Yayasan Bentang Budaya.
Staatsblad van Nederlandsch-Indi over het jaar 1883.
Stroomberg. J. (2018). Hindia Belanda 1930. IRCiSoD.
Surianingrat, Bayu. (1981). Sejarah Pemerintahan di Indonesia, Babak Hindia Belanda dan Jepang. Dewaruci Press.
Winarni, Retno, Widuatie, Ratna Endang, & Sasmita, Nurhadi. (2023). Para Patih Zelfstandig dan Bupati Jember (1883-2015). UPT Penerbitan Universitas Jember.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H