Mohon tunggu...
Dumas Kurnia
Dumas Kurnia Mohon Tunggu... Lainnya - Salient Studies

Sic semper tyrannis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemugaran Alun-Alun dan Perubahan Ruang Kota Jember

25 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 25 Desember 2024   13:00 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah baru Alun-Alun Jember Nusantara, 19 Desember 2024 (Sumber: dokumentasi pribadi)

Pada pengujung masa jabatannya yang berakhir dengan kekalahan tahun 2024, Bupati Jember Hendy Siswanto meresmikan hasil pemugaran alun-alun Jember. Namanya kini menjadi Alun-Alun Jember Nusantara --sangat bernuansa IKN. Meski alun-alunnya sudah ada sejak zaman voor de oorlog namun kiranya baru kali ini diresmikan secara akbar. Tentu saja peresmian ini menandai bahwa alun-alun telah dipugar, dipercantik, atau dalam istilah ala pemerintah sering disebut revitalisasi. Selama Era Reformasi, alun-alun Jember beberapa kali mengalami ubahan. Namun harus diakui, pemugaran 2024 memberikan nuansa baru yang tidak sebatas estetika namun juga pengejawantahan konsep ruang publik modern.

Selama berabad-abad, kota-kota di Jawa bercirikan alun-alun sebagai inti ruang kota yang tidak terbatas pada aspek fisik namun juga kosmologis. Kota dengan alun-alun di tengahnya merupakan mandala yang mencerminkan konsep kekuasaan konsentris yang dianut raja-raja Jawa khususnya sejak pulau ini terpapar indianisasi secara masif. Kekuasaan secara politis dan yuridis berpusat pada diri sang raja sendiri; ia adalah wewenang murba wisesa. Konsepsi ini masih harus ditampilkan secara fisik melalui tata ruang kota dengan alun-alun sebagai pusat dari sebuah kota yang melambangkan kekuasaan sang raja. Bentuk ini dapat diamati misalnya pada ibukota Kesultanan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Kedua keraton selain saling mengklaim sebagai penerus Mataram, juga mengembangkan konsep tata ruang kota ala keraton di era kolonial. Malah kemudian tata ruang ala kekuasaan Jawa ini digunakan oleh pemerintah kolonial ketika mengembangkan sistem pemerintahan daerah pada abad ke 19 hingga abad 20.

Ketika pemerintah kolonial mulai menegakkan pax neerlandica, kota-kota baru bermunculan di seantero Jawa. Mereka layak disebut kota yang baru, dalam arti gagasan urbanisasi (baca: ke-kota-annya) memang baru yaitu sebagai pusat pemerintahan daerah yang berjenjang dalam struktur kolonial. Semua ini tidak lepas dari ide Thomas Raffles, Gubernur British India untuk Jawa yang membentuk sistem pemerintahan berbasis karesidenan di Jawa pada 1811. Penyerahan Jawa kepada Belanda tahun 1816 tidak mengubah sistem karesidenan ini; para Komisaris Jenderal terlalu sibuk jungkir-balik dengan tetek-bengek birokrasi dan seiring dengan program cultuur stelsel justru sistem karesidenan terbukti sebagai sistem yang andal menunjang politik kolonial.

Karesidenan, meski merupakan unit pemerintahan yang vital namun tidak mengandalkan konsep "ibu kota" dalam arti ruang fisik seperti gaya kekuasaan raja-raja feudal. Inti dari karesidenan ada pada para ambtenaar atau birokratnya, yang terdiri atas residen sebagai "komandan resimen" yang mengepalai pemerintahan berikut unsur-unsur pelaksana teknis. Seorang residen secara birokratis mengepalai Binnenlandsche Bestuur atau BB (kepegawaian Belanda) dan Inlandsche Bestuur atau IB (kepegawaian bumiputera). Hal ini dikarenakan pemerintahan Hindia Belanda sejak 1816 sampai 1920-an menggunakan sistem berkaki dua, dalam arti terdapat dua jenis birokrasi yang bekerja sama menjalankan satu sistem pemerintahan.

Sebuah karesidenan terdiri atas beberapa afdeeling atau sub-karesidenan yang dikepalai assistent resident atau AR. Afdeeling merupakan unit administratif yang kemudian menjelma menjadi regentschap atau kabupaten. Transformasi ini terjadi ketika pemerintahan suatu wilayah dinilai sudah bisa diserahkan pada IB yang terdiri dari bupati dan jajaran di bawahnya (wedana, asisten wedana, kepala desa). Sampai dengan diundangkannya Decentralisatie Wet 1903, sebagian besar karesidenan di Jawa masih terdiri atas afdeeling-afdeeling. Baru kemudian seiring diterapkannya desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda, afdeeling digantikan dengan regentschap atau kabupaten yang dipimpin regent (bupati) yang bertanggungjawab kepada residen. Afdeeling pun dihapuskan dan jabatan AR masuk kotak.

Diterapkannya sistem pemerintahan kolonial ini berpengaruh terhadap kemunculan pusat-pusat karesidenan dan afdeeling sebagai kota-kota baru di Jawa. Baik residen maupun AR memerlukan rumah dinas dan kantor, serta diperlukan pula adanya dinas-dinas pelaksana teknis khususnya yang berkaitan dengan proyek raksasa cultuur stelsel (1830-1870) seperti dinas pertanian, pengairan, kesehatan, dsb. Ketika kemudian cultuur stelsel dihapuskan dan sistem ekonomi Hindia Belanda menjadi liberal sejak 1870, dinas-dinas baru dibentuk seperti pekerjaan umum, perbankan, perkreditan, dan pegadaian. Dengan demikian, suatu wilayah yang ditetapkan sebagai pusat karesidenan atau pusat afdeeling akan menjadi kota yang sejalan dengan konsep kota sebagai pusat peradaban komunitas manusia di suatu lingkup wilayah tertentu.

Kota sebagai pusat pemerintahan memang menjadi suatu ciri yang khas dari periode kolonial. Terpusatnya kegiatan pemerintahan di kota menjadikan wilayah ini penting dan menjanjikan bagi pasar. Para residen dan antek-anteknya tentu memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup, yang disuplai dari wilayah perdesaan di sekitarnya. Maka kota-kota kolonial ini juga menjadi pusat kegiatan ekonomi, meski pada paruh pertama abad 19 masih belum nampak aktivitas ekonomi yang dapat dikatakan "menggerakkan" atau "menggairahkan" kota. Justru desa-desa yang lebih dahulu mengalami perubahan gara-gara cultuurstelsel.

Kondisi pusat-pusat karesidenan atau afdeeling yang belum maju justru menjadi blessing in disguise dalam konteks keruangan kota. Pemerintah menjadi leluasa mengatur dan menetapkan penggunaan ruang fisik sesuatu dengan kebutuhan. Uniknya, pusat kota kolonial ini mengambil konsep yang plek-ketiplek dengan kota-kota tradisional Jawa yang menjadi pusat kerajaan yaitu dengan alun-alun sebagai inti kota.

Alun-alun kota kolonial berupa tanah lapang berbentuk bujur sangkar yang keempat sisinya menghadap arah mata angin secara konsisten. Konsep rancangan ini meski persis dengan alun-alun kerajaan namun memiliki pendekatan yang berbeda. Alih-alih bersifat sakral, alun-alun kota kolonial lebih berfungsi secara rasional yaitu memungkinkan tata ruang yang lebih leluasa khususnya pembangunan jaringan jalan raya. Titik nol suatu kota kolonial galibnya ditancapkan di sekitar alun-alun, sehingga jarak antarkota dapat diukur dari satu pusat kota ke pusat kota lainnya. Namun tidak dapat disangkal bahwa tren kebudayaan Indis yang berkembang di kalangan orang Belanda juga mempengaruhi keputusan ini. Adopsi rancang-bangun alun-alun ala keraton feudal menunjukkan pengakuan mereka terhadap konsep tata ruang Jawa. Tindakan mereplika bentuk tata ruang ala keraton sebagai pusat kota juga merupakan usaha untuk mendapatkan simpati penduduk Jawa yang sebagian besar masih keraton-minded.

Konsep tata ruang kota tradisional Jawa dikenal sebagai catur gatra tunggal atau empat unsur dalam satu kesatuan. Empat unsur tersebut meliputi keraton sebagai simbol kekuasaan politik raja, masjid mewakili unsur Ketuhanan Yang Maha Esa, alun-alun mewakili bumi sebagai simbol ruang fisik tempat manusia berinteraksi, dan pasar mewakili aspek ekonomi yang merupakan salah satu sifat umum manusia (homo economicus). Catur gatra tunggal menunjukkan sinkretisme ajaran pra-indianisasi dan pengaruh Islam dalam gagasan kekuasaan yang holistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun