Mohon tunggu...
Dumas Kurnia
Dumas Kurnia Mohon Tunggu... Lainnya - Salient Studies

Sic semper tyrannis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemugaran Alun-Alun dan Perubahan Ruang Kota Jember

25 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 25 Desember 2024   13:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta alun-alun Jember circa 1922 dengan bangunan-bangunan pemerintahan mengitarinya. (Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:2011961)

Jika dalam tata ruang tradisional bagian utara alun-alun ditempati keraton, maka di alun-alun Jember yang "mbeling" ini malah berjejer kantor controleur, kantor pos, kantor bank afdeeling, dan gedung pengadilan. Di pojok timur laut dibangun penjara, mungkin agar mudah menjebloskan terpidana setelah di-landraad langsung dikurung dalam bilik pro deo (uh, di sini pernah menginap mantan bupati, sekretaris daerah dan kepala dinas).

Tata ruang yang demikian menunjukkan bahwa terjadi pengejawantahan-ulang fungsi alun-alun dalam konteks keruangan kota pada masa kolonial hingga kemerdekaan. Alun-alun tetap dimaknai sebagai inti kota, yang dengan jelas nampak dari pemusatan kantor pemerintah dan fasilitas utama di sekelilingnya. Namun inti kota di sini telah menunjukkan semangat modern yang merupakan zeitgeist paruh kedua abad 19; sejalan dengan opendeur politiek pemerintah kolonial sejak 1870.

Rumah dinas assistent-resident (AR) Jember, circa 1907. Bangunan ini kini menjadi Kantor Bupati Jember. (Sumber: https://hdl.handle.net/20.500.11840/510440)
Rumah dinas assistent-resident (AR) Jember, circa 1907. Bangunan ini kini menjadi Kantor Bupati Jember. (Sumber: https://hdl.handle.net/20.500.11840/510440)

Peta alun-alun Jember circa 1922 dengan bangunan-bangunan pemerintahan mengitarinya. (Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:2011961)
Peta alun-alun Jember circa 1922 dengan bangunan-bangunan pemerintahan mengitarinya. (Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:2011961)

Masuknya modal swasta sejak 1870 mempercepat urbanisasi Jember, dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan. Perusahaan-perusahaan swasta mendirikan kantor-kantornya di sepanjang jalan utama, misalnya pelopor perkebunan swasta, NV Landbouw Maatschappij Oud Djember membangun gedung kantornya sekitar 2 km ke arah barat dari alun-alun. Sementara hunian elit berupa rumah-rumah loji dibangun di sepanjang "jalan kamar bola" (sekarang Jalan Panglima Besar Sudirman), dengan "kamar bola" atau Gedung Societeit berada sejajar dengan stasiun. Yes, bangunan ini kemudian diakuisisi tentara dan sekarang menjadi markas satuan teritorial, sayangnya renovasi fasad muka justru menghilangkan ciri khas bangunan kolonial. Namun jangan kuatir karena masih ada satu gedung societeit yang masih relatif utuh, yaitu gedung UKM Unej atau aula LPM lawas di belakang Puslit Koka/ICCRI.

Sebenarnya bangunan Puslit Koka sendiri juga bangunan kolonial yang dibangun tahun 1911 sebagai Besoekisch Proefstastion atau laboratorium penelitian dan pemuliaan tanaman perkebunan. Fasilitas ini pernah dikunjungi Gubernur Jenderal Bonifacius de Jonge pada 1935. Dari sinilah lahir galur-galur kopi unggulan seperti Java Arabica "Ijen" dan Toraja Arabica "Toarco". Namun nasib bangunan bergaya art deco khas kolonial juga segendang sepenarian dengan societeit gebouw di jalan kamar bola; tertutup fasad gaya modern.

Harus diakui bahwa kebutuhan bangunan modern atau setelah setengah abad Indonesia merdeka telah berperan dalam hilangnya elemen kota lama di Jember. Fait accompli. Misalnya bangunan "Hotel Djember" yang punya nilai historis luar biasa, kini sama sekali tak nampak sisanya karena diubah menjadi kantor BRI. Sedikit berkisah, sejak 22 Juli 1947 pasukan Brigade Marinir Belanda menggunakan hotel ini sebagai markas sementara, ketika berhasil merebut Jember dalam gelar Operatie Product atau Agresi Militer Belanda I. Para marinier menetap sampai bulan November 1947 ketika tiba saatnya aplusan dengan Batalion Infanteri ke-23 KNIL. Satuan yang dipimpin Letkol J.H.J. Brendgen inilah yang bertanggungjawab atas gugurnya Letkol Mochammad Sroedji, Komandan Brigade 3 "Damarwulan". Jasad Letkol Sroedji juga sempat disimpan di Hotel Djember sampai akhirnya diminta oleh Kiai Dachnan untuk dimakamkan secara Islam.

Mengingat pentingnya pengaruh peristiwa yang terjadi, semestinya bangunan utama hotel masih dapat dipertahankan sekalipun penggunaannya sudah diproyeksikan untuk keperluan lain. Namun sejarah tinggal sejarah, bank pemerintah perlu gedung lebih luas jadi digempurlah bangunan Hotel Djember dan generasi kiwari cuma kebagian tutur tinular belaka. Nasib sama terjadi pada kantor AR yang terletak persis di sebelahnya. Bangunan bank afdeeling dan landraad juga sudah tak berjejak lagi. Semangat dekolonisasi yang tidak dibarengi dengan wawasan kesejarahan nampaknya menjadi biang kerok dari pembangunan ruang kota yang terkesan berjalan sendiri-sendiri.

Namun tentunya tiap generasi berhak dan absah memproduksi sejarahnya sendiri. Pada 1970-an ketika Orde daripada Baru gemar menempatkan perwira menengah sebagai kepala daerah, studi pendahuluan menunjukkan bahwa pemerintahan daerah tingkat II Jember memerlukan kantor pemerintahan yang lebih adekuat dan representatif. Maka kemudian diputuskan untuk membangun gedung pemerintahan baru di sebelah selatan alun-alun. Bangunan rumah dinas AR pun diratakan dan dibangun gedung baru yang megah; berdesain melengkung, lebarnya sama dengan lebar alun-alun, dan di halaman dibuat taman dengan bentuk kepala rajawali. Menurut sebagian orang, desain ini bermaksud agar bila bangunan dilihat dari angkasa akan nampak seperti burung garuda nan istimewa. Tapi kalau boleh jujur, taman dengan hiasan kepala burung jadi lebih mirip lambang Divisi Lintas Udara ke-101 "Screaming Eagle" yang legendaris itu.

Selain kantor AR, pada 1970-an kantor wedana yang terletak persis di sebelah barat alun-alun juga harus hilang dari muka bumi. Pertumbuhan penduduk kota Jember yang secara kepercayaan dominan Islam memerlukan tempat ibadah yang representatif, yang tidak lagi mampu dilayani masjid jami' di pojok barat daya. Rembug muspida (sekarang forkopimda) dan tokoh masyarakat memutuskan perlunya membangun masjid baru tanpa harus menggusur masjid lama. Oleh karena letak geografis kota-kota Jawa terhadap Mekkah dan pola penggunaannya, jadi letak masjid harus di sebelah barat alun-alun. Maka kantor wedana yang memang secara administratif sudah obsolete dibongkar, lahannya beserta area sekitar menjadi masjid bergaya kubah dengan struktur penyangga busur terekspos, mirip betul dengan kubah gedung DPR-MPR di Jakarta.

Memasuki dasawarsa 1990-an, seiring ekonomi nasional yang membaik dibangun pula rumah dinas bupati dengan gaya arsitektur kejawa-jawaan. Pendopo raksasa bertingkat dibangun di bekas kantor controleur, di pojok barat laut alun-alun. Harus diakui bangunan ini serasi betul dengan konsep alun-alun sebagai mandala, apalagi dengan nama yang tak kalah kepriyayi-priyayian nJawani; Wahyawibawagraha. Kombinasi pendopo di sebelah utara (sebenarnya terlalu mojok) dan masjid di sisi barat membuat banyak orang terkecoh, mengira tata ruang Jember sebagai tata ruang kota keraton. Apalagi di kala cuaca cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Argopuro di latar belakang. Persis sumbu imajiner Gunung Merapi-Keraton-Laut Kidul. Tapi di Jember sumbunya sedang kusut sehingga tidak lurus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun