Mohon tunggu...
Dumas Kurnia
Dumas Kurnia Mohon Tunggu... Lainnya - Salient Studies

Sic semper tyrannis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemugaran Alun-Alun dan Perubahan Ruang Kota Jember

25 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 25 Desember 2024   13:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi pemerintah kolonial, konsep yang sudah teruji dan diterima oleh khalayak seperti ini lebih baik dilanjutkan saja. Nampaknya mereka belajar betul dari sejarah, bahwa ketika Maarschalk Daendels dan Raffles berusaha mengobok-obok sistem kekuasaan Jawa malah berujung huru-hara dan timbul krisis kepercayaan pada pemerintah. Selain itu, semangat birokrasi kolonial sebagaimana dapat dilihat dalam "konstitusi" Regering Reglement 1854 menunjukkan adanya penyerapan unsur kekuasaan Jawa dalam sistem kolonial. Sekalipun pada saat yang sama pemerintah kolonial juga berusaha merampingkan gaya hidup para bupati yang dinilai kelewat hedon.

Kemunculan kota-kota Kol-Ja (kolonial tapi Jawa) pada paruh kedua abad 19 berkaitan dengan dihapuskannya cultuurstelsel pada 1870 dan digantikan dengan opendeur politiek. Paket kebijakan ekonomi pemerintah kolonial menganut haluan baru dengan dibukanya Hindia Belanda terhadap investasi. Regulasi yang paten dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi para investor, yaitu Agrarische Wet (undang-undang agraria) dan Suiker Wet (undang-undang gula) yang keduanya ditetapkan tahun 1870. Kedua beleid kolonial tersebut sebenarnya sudah ditunggu-tunggu oleh pengusaha Belanda yang nyidam ingin mencicipi kue ekonomi di tanah jajahan. Maka sejak 1870 bermunculan perusahaan-perusahaan swasta yang umumnya berkutat di sektor agroindustri khususnya perkebunan dan industri gula.

Ada tiga wilayah di Hindia Belanda yang menjadi prima donna para ondernemer (pengusaha perkebunan swasta) yaitu Priangan, Sumatera Timur, dan Ujung Timur Jawa. Ini berkaitan dengan ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perkebunan, yang memerlukan lahan luas dan masih subur. Selain itu komoditas tertentu khususnya kopi memerlukan ketinggian tanam yang ideal, dan hanya bisa didapatkan di dataran tinggi. Priangan kaya akan pegunungan, dan Ujung Timur Jawa memiliki plateau di Ijen. Selain kopi, budidaya tembakau juga mensyaratkan karakter lahan nan spesifik yang terpenuhi oleh tanah-tanah di Sumatera Timur khususnya wilayah Kesultanan Deli dan Jember di Karesidenan Besuki.

Investasi yang masuk ke wilayah yang semula tergolong pedalaman seperti Jember berpengaruh pada perkembangan ekonomi setempat. Perkebunan adalah usaha ekonomi berorientasi ekspor, sehingga sebuah wilayah yang "ketempatan" perkebunan dengan sendirinya menjadi bagian dari jejaring produksi sejak komoditas dibudidayakan di lahan hingga dilelang di kota-kota dagang seperti Amsterdam dan Rotterdam. Maka fasilitas pokok seperti pabrik, pergudangan, perumahan pekerja, dan perkantoran pun berdiri di wilayah perkebunan. Fasilitas produksi biasanya berada di lokasi lahan, sementara perkantoran berada dekat dengan pusat kota. Antara keduanya kemudian dibangun jalan penghubung untuk menunjang kelancaran usaha. Jalan-jalan inilah yang kemudian menjadi jaringan transportasi desa ke kota.

Apapun itu, kota-kota di Jawa sendiri mengalami perkembangan seiring peningkatan populasi penduduk pasca cultuurstelsel. Ini bukan berarti bahwa sistem tanam paksa sebagai suatu bentuk "pencapaian positif" kalau bicara demografi, namun lebih pada keberhasilan program vaksinasi cacar di Jawa sejak paruh kedua abad 19. Wilayah-wilayah dengan pertumbuhan penduduk yang signifikan memerlukan tata kelola yang lebih kompleks dan biasanya ini adalah wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan. Maka pada periode yang sama dengan pelaksanaan opendeur politiek, kita dapat menyaksikan pertumbuhan kota-kota "baru" di hampir seluruh Jawa --khususnya dalam bahasan ini adalah Jember.

Kapan kiranya Jember bisa disebut kota?

Pada 9 Januari 1883, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s'Jacob mengeluarkan Lembaran Negara Nomor 17 tentang Pembagian Afdeeling Bondowoso menjadi Dua Ke-asisten residen-an (afdeeling). Disebutkan bahwa hoofdplaats yang di sini diterjemahkan secara bebas sebagai "ibu kota" untuk Afdeeling Jember adalah Jember yang terletak di Distrik Jember. Jelas sudah posisinya di mana. Tentang alun-alun sebagai inti kota kolonial, Hageman mencatat bahwa dalam kunjungannya ke Jember tahun 1861 bahwa di alun-alun Jember banyak tanaman sadeng dimuat dalam gerobak-gerobak. Sayangnya Hageman tidak merinci aspek fisik alun-alun dan sekitarnya, namun cukup menjelaskan bahwa lapangan ini telah ada sebelum Jember bertransformasi menjadi kota sejak 1883.

Kiranya alun-alun Jember bermula dari suatu tanah lapang yang terletak persis di pertemuan jalan dari Tanggul/Puger ke arah Bondowoso, dan juga akses Bondowoso--Kranjingan/Mumbulsari. Titik ini menjadi penting karena menjadi simpul transportasi dari dan ke pusat pemerintahan Afdeeling Bondowoso (sebelum dipecah). Berdasarkan dugaan ini, maka fungsi alun-alun pada mulanya sebagai titik istirahat atau checkpoint para pelintas yang hendak menuju Bondowoso dan sebaliknya. Lokasi alun-alun kemungkinan merupakan wilayah inti dari Kabekelan Jember yang kemudian direorganisasi menjadi Distrik Jember pada 1774 oleh pemerintah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Perserikatan Perusahaan Hindia Timur). Lokasinya menjadi strategis lantaran merupakan titik percabangan akses jalan yang menjangkau wilayah-wilayah lain, sehingga ketika di Jember dibentuk pemerintahan afdeeling sebagai sub-karesidenan, titik pusat pemerintahan yang dipilih adalah alun-alun. Pertimbangan rasional yang bermain di sini.

Alun-Alun Jember circa 1927-1929 (Sumber: https://hdl.handle.net/20.500.11840/10535)
Alun-Alun Jember circa 1927-1929 (Sumber: https://hdl.handle.net/20.500.11840/10535)
Oleh karena konsep alun-alun Jember bukan sebagai mandala kosmis, maka pengaturan ruang fisiknya pun berbeda dengan keraton dengan konsep catur gatra tunggal. Tanpa keraton, justru letak bangunan kantor AR berada di sisi timur atau kini menjadi bangunan Bank Jatim. Rumah dinas meneer AR justru berada tepat di sisi selatan alun-alun, yang sekarang sudah berubah total menjadi Kantor Bupati Jember di Jalan Sudarman Nomor 1 --dan satu-satunya. Pada masa regentschap sejak 1940 hingga awal Orde daripada Baru, bupati-bupati Jember berkantor di belakang rumah AR. Bangunannya sampai sekarang masih terjaga, dengan ciri khas menara yang menjulang tepat di atas ruang aula.

Pada bagian barat, di sebelah barat daya terdapat masjid dan kantor wedana yang mengapit jalan raya. Kini kedua bangunan tersebut sama-sama menjadi masjid jami' --lama dan baru. Sampai awal 2024 masih ada jembatan penghubung kedua bangunan bersejarah itu, namun kerapuhan struktur membuat keberadaan jembatan dinilai membahayakan penggunanya dan pengguna jalan sehingga dibongkar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun