Kisah lainnya lagi ;
SS Â Â : "Kabare jaranmu ilang dicolong maling. Kowe koq malah seneng, ngguya-ngguyu?" (Kabarnya kudamu hilang dicuri orang. Kenapa kamu malah senang, senyam-senyum?).
S Â Â : "Iyo, jaranku ilang dicolong maling. Aku seneng, bersyukur, untung jaranku ilang orang pas tak tumpaki, dadi aku ora melu ilang" (Iya, kuda saya hilang dicuri orang. Saya senang dan bersyukur, untungnya kuda itu hilang dicuri orang tidak pada saat saya naiki, sehingga saya tidak ikut hilang).
Kepolosan dan keluguan berpikir serta bersikap orang Samin seperti itu memang selalu dianggap aneh oleh orang di luar masyarakat Samin. Bahkan kepolosan dan keluguan itu, tidak jarang mengundang anggapan bahwa orang Samin seperti orang tolol.
Tapi sejatinya, kalau kita mau jujur, di zaman sekarang ini dimana hampir setiap individu maupun kelompok tertentu pada semua aspek kehidupan selalu berupaya ingin menang. Harus menang. Entah dengan cara apa pun. Lainnya harus kalah. Juga ada yang merasa paling benar. Entah dengan dasar apa pun, asalkan ada pembenaran. Lainnya harus salah. Bahkan kalau perlu dengan cara disalahkan atau direkayasa agar kelihatan salah.
Dari kenyataan itu, maka semestinya bangsa ini belajar bersikap Samin. Dalam arti tidak perlu meniru sikap dan perilaku yang terlalu polos, lugu, tetapi cukup meneladani prinsip hidup mereka dalam bermasyarakat, yaitu tidak mau menyalahkan orang lain.
Untuk cakupan lebih luasnya, tidak mau menyalahkan orang lain dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bahkan mau mengalah, atau dengan legowo dan ikhlas mengakui kesalahan, menghindari konflik, tidak suka permusuhan, dan lebih memilih untuk hidup tentram, aman, dan damai. Â Itu pilihannya, ketimbang hidup dalam kegaduhan yang tak kunjung selesai.*** (MA/29/10/2017).