Mohon tunggu...
Politik

Belajar Bersikap Samin, Tak Mau Salahkan Orang Lain

29 Oktober 2017   21:00 Diperbarui: 29 Oktober 2017   21:04 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bangsa Indonesia semestinya belajar bersikap Samin. Sikap tidak mau menyalahkan orang lain. Ini jika kita ingin urip tentrem, ayem. Hidup tenang dan damai.

Kegaduhan politik, hukum, dan lainnya, yang belakangan ini sempat mengkhawatirkan karena terkadang beraroma SARA, tak akan terjadi lagi apabila masing-masing pihak mau menahan diri. Tidak responsif berlebihan. Tidak agresif membabi-buta. Sehingga yang panas tidak semakin ganas. Yang terpojok tidak semakin diolok-olok. Begitu pula yang merasa menang, merasa punya kuasa, merasa paling benar, tidak sesumbar dan tinggi hati. Tidak mengumbar rasa dengki.

Orang Samin yang hidup di masyarakatnya Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dan Bojonegoro, Jawa Timur, mewarisi sikap nenek moyangnya yang memegang teguh kejujuran dan keluguan. Tetapi sikap jujur dan lugu mereka berlebihan, sehingga sering disalahpahami masyarakat umum. Orang Samin dianggap bodoh, tolol, karena sikap jujur mereka cenderung naif.

Kisah nyata orang Samin yang cukup populer karena keluguan dan kejujurannya, sampai kini tak pernah sirna dari ingatan masyarakat Blora dan sekitarnya.

Orang Samin pada masa lalu selalu bepergian dengan jalan kaki. Sejauh apa pun mereka akan jalan kaki. Pada suatu hari ada orang Samin dari Blora yang ingin pergi ke Rembang.     

Tentu saja itu  jarak yang jauh sekali jika ditempuh dengan jalan kaki. Ketika sampai di jalan raya, seorang kondektur bus jurusan Rembang menawari orang Samin tersebut. "Pak...Rembang nggih? (Pak ke rembang ya)," tanya kondektur."Nggih (ya)." "Lha monggo nitih bis. (Silakan naik bis).""Oh...nggih... (Oh iya)" Dia pun naik bus itu. Tidak lama sang kondektur mendatangi orang Samin tersebut untuk menarik ongkos. "Ongkosipun Pak? (Ongkosnya, Pak).""Ongkos menapa? (Ongkos apa?)""Ya ongkos nitih bis Pak. (Ya bayar untuk naik bus, Pak)"

Karena suara kondektur keras, semua mata penumpang tertuju pada mereka berdua.

"Njenengan ingkang nawani kulo nitih bis (Kan, tadi Anda yang menawari saya naik bis).""Tapi nggih tetep mbayar Pak (Tapi ya tetap membayar). ""Kulo mboten gadah arto (Saya tidak punya uang)." "Lek ngoten mandap mriki mawon (Kalau begitu, turun sini saja).""Nggih mboten nopo-nopo (Ya tidak apa-apa)."

Sang kondektur memberi aba-aba sopir untuk berhenti. Orang Samin itu siap-siap turun, tiba tiba  ada seorang penumpang yang hendak membayari orang Samin tersebut. Namun, si Samin menolak. "Sekeca mlampah mawon, mboten wonten ingkang ngajak tukaran (lebih nyaman jalan kaki saja, tidak ada yang ngajak berantem)," kata si Samin sambil melangkahkan kaki turun dari bus.

Logika berpikir dan bersikap orang Samin itu sederhana. Praktis, dan tidak ribet. Dirinya memilih jalan kaki ketimbang naik bus, karena 2 (dua) alasan. Merdeka atau bebas, dan menghindari permusuhan dengan orang lain. Meskipun secara nalar atau logika orang bepergian pada umumnya, naik bus jelas lebih nyaman, tidak capek, dan lebih cepat sampai tujuan ketimbang jalan kaki.

Tapi orang Samin itu memegang teguh sikap dan pendiriannya, yaitu tidak mau ribut atau bertengkar dengan kondektur bus, dan merasa leluasa atau bebas dengan berjalan kaki, karena tidak melibatkan orang lain dalam proses perjalanannya menuju tempat tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun