Kembali ke konteks menghindari konflik, orang Samin akan selalu memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus mengalah. Bahkan terkadang memposisikan dirinya sebagai pihak yang salah. Ini bukannya tanpa alasan. Dia tidak ingin menyalahkan orang lain. Kalau menyalahkan oang lain, dia berpikiran nantinya akan timbul pertentangan. Kemudian terjadi konflik. Itu yang dia tidak inginkan.
Rasa malu yang berlebihan di kalangan orang Samin, tanpa mereka sadari juga menghindarkan diri dari keributan atau hal-hal yang bisa menimbulkan persoalan baru.
Orang Samin juga terkadang malah bersyukur di tengah musibah yang menimpanya. Rasa syukur ini sebagai rasa keberuntungan, karena musibah yang menimpanya tidak sebesar musibah yang menurut mereka mungkin saja terjadi.
Beberapa kisah yang digambarkan melalui dialog antara orang Samin dengan sahabatnya yang bukan Samin berikut ini, dapat memperjelas betapa anehnya pemikiran orang Samin dalam menyikapi atau menghadapi suatu masalah.
Sahabat orang Samin (SS) : "Klambimu sing dipepe nang njobo omah ilang, kenopo ora digoleki?" (Bajumu yang dijemur di luar rumah hilang, kenapa tidak kamu cari?)
Orang Samin (S) : "Ora, ben wae. Ilang yo mergo salahku dewe, klambi koq dipamer-pamerke nang njobo omah" (Tidak, biar saja. Hilang juga salahku sendiri, baju koq dipamerkan di luar rumah).
Kisah yang lain;
SS Â Â : "Kabare kowe bar kemalingan? Malinge mlebu omahmu njikuk opo wae?" (Kabarnya kamu baru saja kecurian? Pencurinya masuk rumahmu mengambil apa saja?"
S Â Â Â : "Malinge ora njikuk opo-opo, terus lungo" (Pencurinya tidak mengambil apa-apa, terus pergi).
SS Â : "Lho piye to kowe. Malinge ora mbok cekel?" (Bagaimana sih kamu. Pencurinya tidak ditangkap?).
S Â Â : "Ora. Aku malah ndelik. Aku isin....aku ora nduwe barang opo-opo sing bisa dijukuk" (Tidak. Saya malah sembunyi. Saya malu.....saya tidak punya barang-barang berharga yang bisa dicuri).