Sepanjang 2018, tidak banyak media massa nasional yang merilis laporan WHO terkait stunting di Indonesia. Republika (24/1/2018), satu dari sedikit media yang mengungkap ketetapan WHO mengenai batas toleransi stunting, yaitu 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan Balita.
Fakta tahun ini di Indonesia, 7,8 juta dari 23 juta anak atau 35,6 persen adalah penderita stunting. Sebanyak 18,5 persen berkategori sangat pendek dan 17,1 persen pendek. WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk. Satu dari tiga balita Indonesia pengidap stunting.
Tiga tahun lalu, Bank Dunia merilis laporan di bawah judul, 'Beban Ganda Malnutrisi di Indonesia', dikutip oleh Indonesia Investment, 25 April 2015, menyebutkan 37,2 persen anak Indonesia di bawah usia 5 tahun dalam kondisi stunting (artinya bertubuh kecil menurut umurnya) dan menderita gizi buruk yang kronis.
Fakta ini menempatkan Indonesia pada peringkat kelima tertinggi pengidap stunting di dunia. Laporan itu juga menyebut 19,6 persen anak Indonesia di bawah usia 5 tahun (atau setara 4,4 juta) berberat badan rendah sebagai akibat malnutrisi. 'Di Indonesia, Kesadaran publik tentang isu ini sangat rendah,' demikian laporan Bank Dunia.
Tiga tahun terjadi pembiaran. Tidak ada intervensi, program, dan kebijakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengatasi masalah kronis ini. Jutaan balita sejak tiga tahun lalu, sekarang sudah memasuki masa kanak-kanak.
Itu artinya sudah tidak ada lagi kesempatan menyelamatkan hampir separuh generasi yang berumur di bawah lima tahun pada 2015 -- 2018. Stunting tidak bisa disembuhkan. Dampak buruknya bakal bertahan seumur hidup. Mereka, generasi milenial, yang digadang-gadang jadi berkah demografi Indonesia di masa depan, malah bisa jadi beban.
SEBAB
Stunting terutama disebabkan oleh kurangnya asupan gizi atau karena gii buruk pada usia pertumbuhan, yaitu 1 -- 5 tahun. Dua sebab kerap menjadi sandarannya, yaitu (1) kurang sadarnya ibu dan keluarga untuk memenuhi gizi anak; dan (2) kemisikinan keluarga itu sendiri.
Sebab pertama disebut alasan kultural, sebab kedua bersifat struktural. Yang pertama lebih disukai pemerintah ketika hendak melakukan kegiatan penyuluhan, sementara yang kedua lebih banyak ditutup-tutupi. Padahal, justru yang kedua itu yang lebih mendekati kebenaran.
Gizi anak, selalu jadi prioritas setiap ibu. Tanpa harus diajari, setiap ibu memiliki naluri kuat untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Jika ibu dan keluarganya tidak miskin, niscaya kebutuhan nutrisi bagi anak-anaknya akan tercukupi.
Menyoal kemiskinan itu sendiri, pemerintah lebih menyukai alasan kultural daripada struktural. Secara kultural kemiskinan bisa terjadi karena masyarakat tidak terdidik, tidak terlatih, dan malas bekerja.
Padahal, jika kita cermat meneliti, nyata betul bahwa orang-orang Indonesia itu rajin bekerja, ingin bekerja, tapi tidak cukup tersedia lapangan kerja yang bisa memberikan penghasilan yang memadai bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Kemiskinan masyarakat lebih karena sebab-sebab struktural.
Sementara soal keterdidikan dan keterlatihan, bukankah beban itu juga sebenarnya bersifat struktural? Tanggung jawab pendidikan dan pelatihan seharusnya sebesar-besarnya dipikul oleh pemerintah.
Jika pemerintah gagal mencerdaskan masyarakat, yang mengakibatkan mereka tidak bisa melepaskan diri dari jerat kemiskinan, maka pemerintahan inilah biang kegagalan kita dalam bernegara. Gagal sejak awal, gagal menyehatkan bangsanya, gagal memenuhi kebutuhan gizi anak-anak Indonesia.
Fakta-fakta yang menguatkan hal itu mudah ditemui. Hitung saja jumlah angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja dari tahun ke tahun. Perhatikan jenis-jenis lapangan kerja yang diisi oleh para pekerja Indonesia. Lebih banyak pekerja kasar yang mengandalkan tenaga dan tidak membutuhkan keahlian tertentu daripada bidang-bidang pekerjaan yang menyaratkan keahlian dan kreatifitas.
Hitung juga jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dengan menjadi buruh pabrik, tenaga kasar di perkebunan, dan pembantu rumah tangga. Bandingkan dengan tenaga-tenaga ahli yang bekerja di perusahaan-perusahaan multi nasional di luar negeri. Jomplang.
AKIBAT
Ggizi buruk kronis berakibat ganda; (1) mereduksi produktivitas manusia dan (2) meningkatkan risiko penyakit yang tidak bisa disembuhkan, seperti penyakit jantung dan diabetes di masa tua. Beban ganda ini disebut dalam laporan Bank Dunia itu. Dalam waktu tiga tahun, riset juga menyebutkan terjadi peningkatan penderita stunting dari 35,6 persen menjadi 37,2 persen.
Laporan Bank Dunia juga mengungkapkan bahwa perkembangan otak anak tidak optimal akibat gizi buruk. Performa anak di sekolah menurun, tingkat IQ mereka juga bisa turun dari 5 sampai 11 poin. Ketika dewasa keterampilan kognitif untuk memahami persoalan yang lebih rumit pun menurun. Akibatnya bukan hanya diderita pada tingkat individu melainkan juga ekonomi masyarakat.
Estimasi Bank Dunia GDP Indonesia turun 2,5 persen akibat gizi buruk ini. Dasarnya, hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia berusia di bawah 30 tahun. Ini artinya pemerintah harus sanggup membuka lapangan kerja yang sangat besar. Karena tiadanya pekerjaan, jelas bakal berakibat pada merebaknya kemiskinan.
Jika pemerintah tidak mengambil tindakan apa-apa menyangkut soal kesehatan dan gizi masyarakat juga lapangan kerja, bonus demografi akan berubah jadi bencana demografi.
SOLUSI: SEDEKAH
Negara hakikatnya lahir dari rahim masyarakat. Jika Negara dan Pemerintah sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk menyelesaikan masalah gizi buruk, maka masyarakat harus kembali pada kekuatannya sendiri. Jurang kaya dan miskin yang terus menganga, yang nyatanya tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa, harus kembali ditangani oleh masyarakat.
Masyarakat memang tidak punya kekuatan struktural untuk menyelesaikan masalah ini, karena kekuasaan mereka sudah diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah yang memiliki kekuasaan besar, berkuasa mengatur alokasi anggaran negara, ternyata tidak menggunakannya untuk mengatasi masalah kronis gizi buruk, yang terus memburuk.
Tapi masyakarat punya kekuatan kultural, yaitu nilai-nilai positif yang masih hidup untuk menolong sesama, yaitu SEDEKAH. Semangatnya harus dihidupkan lagi. Sedekah dari kelompok masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang kurang mampu. Segelas susu atau bubur kacang ijo untuk bayi-bayi yang terancam gizi buruk bisa menyelematkan satu generasi. 1 dari 3 bayi Indonesia mengidap stunting.
Jika ada satu keluarga mengeluarkan sedekah susu atau kacang ijo kepada seorang bayi setiap hari selama masa pertumbuhan mereka, maka selamatlah satu generasi oleh sebuah gerakan masyarakat, meski itu berarti menegaskan kegagalan negara.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H