Hidup miskin mengajarkan sabar
Jadi kaya menebarkan pahala
Harusnya
Hujan telah berhenti bersenandung pagi itu. Suasana desa Arisan Musi yang berada di tepi Sungai Musi mulai bergeliat. Para penduduk satu per satu keluar rumah. Aku masih berjibaku di dalam kamar tidur yang berantakkan. Menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari. Aku baru tiba di desa ini tadi malam, ingin bertemu Bik Rohma yang pernah menjadi bagian hidupku denganmu.
Cahaya matahari lamat mengintip di celah jendela kayu yang tak rapat. Kumpulan embun masih tertinggal di rerumputan dan helai-helai daun keladi belakang rumah. Aku membuka jendela lebar-lebar. Melihat paras alam sejumput. Aku sedang tak mau menangguk kesedihan. Aku ingin bergembira, ingin bernostalgia terhadap kenangan lama.
“Ah, tak ada yang berubah.”
Aku menatap rumah di pojok jalan ke timur, pondok kecil - tempat Bik Rohma menjual pempek masih berdiri di situ. Tak sadar air mataku menetes menuju kenangan lama. Takkan lupa meski waktu kejam menelan kenangan-kenangan pilu yang kamu muntahkan, Andre.
“Aku mencintaimu.” Katamu waktu itu. Aku hanya terdiam. Kulihat Bik Rohma pura-pura tak mendengar. Ia terus menggoreng pempek untuk disajikan ke bakul-bakul yang sudah kosong.
“Aku akan meminta orang tuaku meminangmu selesai KKN ini.” Lanjutmu serius.
Aku tersedak. Biar bagaimana pun cueknya aku, tetap saja kaget dengan ucapanmu. Mulutku komat kamit merafal ayat-ayat yang kuhafal. Aroma pempek Bik Rohma menusuk hidungku seolah bunga-bunga nestapa menggapai-gapai di sela harapan menjauh dari keperkasaan waktu.
“Dengan apa kamu memberiku makan?” Tanyaku setelah mampu menenangkan pikiran.
“Aku akan mencari pekerjaan.” Jawabmu lantang.
“Semudah itukah?” Aku meremehkannya.
“Aku akan buka usaha sendiri, kalau itu susah.”
“Usaha apa?”
“Pempek!” Jawabmu yakin setelah menatap pempek buatan Bik Rohma.
Sejak itu kamu belajar membuat pempek. Bik Rohma menjadi pilihan gurumu. Kuakui pempek Bik Rohma sangat unik, baik rasa maupun ukurannya. Walaupun bahan yang dipilihnya bukan ikan yang mahal, hanya ikan lampam ataupun ikan sepat yang setiap hari berlimpah dari hasil tangkapan para nelayan, namun nikmatnya luar biasa. Tak kan kutemui di kota Palembang sekalipun.
Aku belum mengiyakan keinginanmu, tapi setiap hari aku selalu menemanimu membuat adonan pempek yang sudah disiapkan Bik Rohma. Dua kilo ikan giling untuk satu kilo sagu, resep yang selalu diingatkan Bik Romah. Setelah itu ia akan menghaluskan bumbu-bumbu cuka, seperti bawang putih, bawang merah, cabe rawit, gula merah, asam jawa dan lain-lain, yang kesemuanya itu adalah bahan-bahan pilihan.
“Nanti rasanya nggak enak kalau ada yang sudah busuk atau layu,” kata Bik Rohma.
Mungkin aku seorang penghayal yang berangan-angan tinggi, atau mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi, karena aku seorang pemimpi yang sering meninggalkan jejak kaki angkuh mendongak ke langit. Namun aku meyakini bahwa mimpi adalah surga yang bersarang di benak khayal yang mampu bangkit jemputkan langit tertinggi.
Lalu, perlahan. Setelah meyakini semua kesungguhanmu mencari rezeki, meskipun hanya dengan berjualan pempek yang resepnya didapat dari Bik Rohma, aku tak ragu lagi mengulurkan tangan bak sinar cahaya menyelusup di celah kegelapan penuh semangat bagaikan kobaran api saat mengatakan “iya” padamu.
Pinangan itu meluluhkan hatiku bagaikan air terjun yang jatuh di tenang telaga, merentangkan sayapku lebar-lebar mengejar mimpi yang membumbung tinggi. Di sana awan-awan legam telah hanyut tersapu titah langit pada sang waktu tentang surga yang terbuka untuk perjalanan dua insan dalam pengaturan tangan Ilahi.
“Hari ini habis terjual.” Katamu penuh keceriaan, menyampaikan hari pertama berjualan pempek seminggu setelah pesta pernikahan kita.
Perlahan kehidupan mulai merangkak, berjalan, seterusnya berlari kecil untuk lama-lama menjadi kencang. Kamu selalu hangat tersenyum, bercerita tentang jati diri yang ditiupkan sang pencipta. Aku selalu menyuguhkanmu kisah cinta suci yang tertanam dalam nurani, menyajikan kebaikan-kebaikan yang ditiupkan jiwa berhati tulus menghapus jejak hitam untuk terbuka pada semesta alam.
Namun, kegembiraan tak berlangsung lama. Hidup tak selalu lurus, cinta tak selamanya mulus. Saat itu aku ingin mengajakmu menjenguk Bik Rohma. Hanya sekedar mengucapkan terima kasih atas sukses yang kamu raih. Tapi kuncup matamu terpejam pada kegelapan. Binar matamu mulai digoda kerling nakal jahanam. Di sekeliling putih bening rayuan sofa gairah di hotel-hotel berbintang, kamu meredupkan benak menyapa setiap tarian tawarkan nikmat.
Kamu yang bergelora menyusuri jalan sesat, menutup hati pada bayang-bayang tubuh telanjang berhasrat harta melimpah. Yang hanya mencumbu laknat berbekam nafsu tersumbat. Puaskanlah. Puaskanlah dengan seringai terbahakmu atas kerapuhan jiwaku. Puaskanlah tertawa hianatmu pada hancurnya hatiku. Aku tak peduli lagi. Aku tak peduli lagi.
Hari ini, aku melihat matahari pagi bersinar keemasan. Ia mengajarkan tentang sebuah kesetiaan cahaya yang dipancarkan tepat waktu. Aku mengusap air mata yang terus menetes tanpa henti. Cahaya kasih tak boleh pergi, tapi jika matahari telah karam maka kesedihan tak dapat dielakkan. Lupakan petuah tentang cinta. Lupakan petuah tentang makna kehidupan berumah tangga, jika lentera tak dapat terangkan seisi malam atau purnama kembali redup.
Dari jendela rumah Kepala Desa, kulihat Bik Rohma mulai merapikan tempat jualannya. Ia begitu sigap, memasang taplak meja, menyusun piring dan cangkir, menyapu, lalu menyiapkan adonan pempek yang akan dimasak pagi itu.
“Assalamualaikum, Bik.” Suaraku tercekat.
Bik Rohma menoleh, lalu aku tak sanggup lagi menahan derita yang kupikul. Kutubruk tubuh kurus itu, kupeluk dia seerat-eratnya tanpa bisa menghentikan tangis yang membebaniku.
Aku ingin menceritakan kesuksesanmu, Andre. Tapi aku lebih ingin lagi menceritakan kepiluanku akan tingkah lakumu. Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Bik Rohma yang telah memberikan resep pempek paling enak, hingga usahamu maju pesat. Tapi luka hatiku lebih ingin bercerita padanya betapa pedih tak dapat menerima sejuknya tetesan air sekalipun.
Maafkan aku Andre. Aku harus bermalam di sini, di desa ini. Selamanya. Selamanya….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H