“Aku tak kan kembali di waktu selanjutnya.” Jawabku.
Rinai hujan tak memadamkan bara api yang terus membakar kegetiran. Rembulan badai tak menghalangi rintik hujan yang berterus datang. Aku meninggalkan keping-keping hati yang berserakan dihempaskan pedih cinta yang karam.
“Aku tak pernah berniat selingkuh.” Suaraku bergumam lirih.
Tapi aura Durgandini berkilat tajam menyelam di gelapnya sanubari, yang menenggelamkan kepercayaan manakala seorang lelaki kaya menebar janji manis mengeluarkanku dari kemiskinan yang membelenggu. Ia memangsa humus suburkan radang-radang nestapa yang kamu ciptakan. Kebaikanmu hanya menghasilkan papah berujung derita yang akhirnya mematikan rasaku padamu.
Sebenarnya aku menyadari bahwa cinta ini masih menggelung di lubuk hatiku. Terang membara di relung hidupku, mencerna kepercayaan yang kau berikan waktu demi waktu. Tapi kamu selalu meninggalkanku, sepanjang hari, sepanjang minggu hingga berbulan lamanya.
“Aku harus mengumpulkan uang untuk biaya anak kita kelak.” Katamu memandangku layu.
Katamu, mencari nafkah tak cukup di bibir saja. Mencari nafkah tak bisa di ladang saja. Mencari nafkah tak dapat berdiam di tempat. Mencari nafkah harus pergi keluar sehingga rumah cinta kita tertutup rapat. Dan kamu tak berkabar seakan meminang minggat dari hatiku yang sekarat.
Sejak itu, sebutir waktu yang pernah hinggap di kepingan hidup kita berdua, mulai menceritakan mendung, kabut, bahkan asap tebal yang menghalangi penglihatanku. Paras-paras masa lalu yang pernah kita rajut bersama surga rembulan terang, perlahan meredup di lubuk penantian nan panjang.
Aku mulai merasakan kesepian, terkadang harus melukis malam di terang cahaya rumah-rumah pinggiran bibir Pantai Anyer tempat kita biasa bertemu. Lalu datanglah lelaki itu saat kurobek malam dengan pecah tangis pilu menahan rindu padamu. Ia mampu menaikkan mahkotaku hingga kupersembahkan cinta yang seharusnya hanya untukmu. Ia juga melantunkan tembang-tembang harapan yang dulunya pernah kamu nyanyikan untukku. Ia pun membelah ranting-ranting temaram di hatiku yang menggantungkan dongeng-dongeng pelipur lara milikmu.
“Maafkan aku Kang….” Bibirku tercekat diantara desah berkeringat yang kualirkan di rintik kebencianmu yang siap menghujamku.
Setelah itu, kejadian demi kejadian terus menggeliat menari di sela rintik hujan. Kesepian dan kerinduan akan nafas cinta kita telah menggiringku menyelimuti kelam dengan lentera jahanam. Tak ada kunang-kunang yang menerangi malamku. Tak ada aroma wewangian yang menyerbak mengharumkan penciumanku. Tak ada kata-kata mutiara yang meluruskan pikiranku. Semua terjadi dan berlalu.