Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Gaple

6 April 2016   19:50 Diperbarui: 6 April 2016   20:51 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menatap sejenak ke arahnya. Sementara ayah dan ibuku hanya mendengarkan sedari tadi. Mereka tak berkata apa-apa. Tak ada yang patut dibela dari anak seperti aku ini. Dulu, saat mereka mengetahui aku mulai menjadi nakal, bergaul dengan preman-preman pasar. Mereka sudah tak bisa mencegahku lagi untuk berbuat sesuatu yang kusukai. Ibu hanya bisa menangis sejadi-jadinya, manakala aku mulai dicari-cari Polisi atau preman lainya lagi.

Aku benar-benar menemukan kehampaan di wajah Vera. Kehampaan yang tersembunyi dari wajahnya yang menahan tangis. Perlahan air mata itu deras mengalir di pipinya yang pucat. Tak ada isak di sana. Vera tak dapat menahan gejolak hatinya. Tubuhnya terguncang, suaranya sesegukkan.

“Aku mencintai Abang, tapi tak begini keadaan yang kuharapkan.” Vera menangis sejadi-jadinya.

Aku segera memeluknya. Mendekapkan wajahnya ke dadaku.

“Apa pun yang terjadi tak akan bisa mengubah takdir kita.” Kataku.

Ia berusaha mendiamkan tangisnya. Tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Lalu ia menggenggam erat tanganku.

“Kita pulang malam ini.” Ajaknya.

“Aku merasakan banyak mata yang mengintai rumah ini.” Lanjutnya lagi.

Entah bagaimana ia dapat merasakan itu. Mungkin karena mendengar cerita kriminalku atau ia memiliki indra keenam yang terasah setelah ia menjadi penghuni pesantren.

Angin kesunyian berhembus di kegelapan malam. Setelah pamitan pada ayah dan ibu kami berjalan mengendap-endap dalam gelap. Tak kuhiraukan hiruk pikuk pemain gaple yang mengeluarkan pekik nyaring kegirangan disaat menang. Sempat kuintip di pos ronda, Mas Bejo sudah  tak ada lagi di situ. Ah, mungkin ia sudah pulang. Tapi kemana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun