Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Gaple

6 April 2016   19:50 Diperbarui: 6 April 2016   20:51 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Episode : Gaple

 

Aku berniat mendekati sekumpulan orang di meja gaple. Setelah berpuluh tahun tidak pernah menyentuhnya. Ada kerinduan mendengar hempasan batu gaple tatkala memainkannya beramai-ramai, dengan riuhnya komentar beserta tawa lepas adalah kesenangan tak mendua. Ada kebersamaan yang mampu menekan emosi dan melatih kesabaran mendapati kesalahan kawan atau lawan.  

Kulihat meja gaple yang dulu masih berdiri kokoh di sebelah pos jaga malam. Lampu yang menerangi juga tidak berubah. Ada lampu neon berkapasitas 25 watt di atas meja gaple, ada yang kecil sekitar 10 watt di dalam pos jaga. Di sana duduk seorang lelaki membelakangi arahku. Ia mempermainkan punggungnya yang gempal. Aku merasa sangat kenal lelaki itu. Tapi dimana? Apakah dia menungguku? Oh, iya. Itu Mas Bejo. Bergegas aku hendak keluar.

“Jangan keluar rumah!” Cegah Ayah.

“Kenapa Yah?” Tanyaku.

“Berita sudah tersebar akan kedatanganmu.” Kata Ayah.

Aku melirik Vera. Tapi ia diam saja. Ia tak terkejut atau pura-pura. Lalu kulihat ia memandangku, lekat. Kemudian menatap jauh, ke arah ayah, ke ibu yang sedang sakit, dan ke pintu rumah seolah menembus ruang dan waktu masa lalu.

“Ada rahasia apa?” Tanyanya menyentakku.

Aku menggeleng. Mataku nanar gelisah. Kuhirup nafas panjang. Tercenung, lalu berbisik lirih.

“Aku residivis.”

Kulihat butiran bening mulai menetes di pipi Vera. Awalnya aku ingin mengusap air mata itu. Semenjak menikahinya aku tak pernah melihat ia menangis. Dia seperti punya kekuatan bathin yang tak bisa digores oleh sembilu.

“Maafkan aku….” Kataku tercekat.

Vera tersenyum kecut dan menjawab dengan suara penuh kehampaan.

“Aku sudah memaafkanmu Bang. Jauh sebelum Abang memintanya.”

“Aku tak sanggup mengatakannya selama ini.”

Vera berdiri melihat ke luar jendela. Orang-orang semakin ramai berkerumun menonton permainan gaple. Suara gaple cletak cletok beradu dengan meja gaple mengeluarkan gesekkan-gesekkan beraroma kegetiran. Aku merinding bila mendengar biji-biji gaple ini bersentuhan satu sama lain. Entah kenapa. Aku seolah menikmati alunan kematian atau pun pertumpahan darah.

Dulu aku sering ikut ajakan tetangga untuk bermain gaple. Aku tak bisa menolak. Kalau menolak mereka akan cemberut dan mengejekku tak pandai menjadi laki-laki sejati. Walaupun permainan gaple sangat mengasyikkan, tapi tak jarang terjadi pertengkaran antar pemain, bahkan pernah sampai menjadi pertumpahan darah yang berujung pada kematian.

Mata Vera berubah semakin hampa. Lalu ia berbalik ke arahku. Kesedihan dan kehampaan yang ia rasakan begitu pilu di kalbuku. Aku menyesali semua yang telah terjadi. Aku menyesali kenapa bertemu Vera setelah aku menjadi orang jahat.

Aku memberanikan diri mendekatinya. Vera mendongak dan menghela nafas panjang. Semakin dekat aku dengannya, semakin jelas melihat kesedihan yang terperangkap di wajah manisnya.

“Aku sudah menerima hukuman atas semua perbuatan jahatku yang telah lalu. Aku di penjara selama 10 tahun. Tapi yang terakhir, ketika aku hendak tobat, aku tak sengaja membunuh seseorang yang ingin mengajakku kembali pada kejahatan.” Aku berkata serak.

“Aku tak punya pilihan. Aku harus menjalani takdir yang sudah dipilih untukku. Aku berlari karena takut kembali terpidana lagi. Hingga sampailah aku ke pesantren itu.” Aku mencoba meminta pengertian Vera.

Aku menatap sejenak ke arahnya. Sementara ayah dan ibuku hanya mendengarkan sedari tadi. Mereka tak berkata apa-apa. Tak ada yang patut dibela dari anak seperti aku ini. Dulu, saat mereka mengetahui aku mulai menjadi nakal, bergaul dengan preman-preman pasar. Mereka sudah tak bisa mencegahku lagi untuk berbuat sesuatu yang kusukai. Ibu hanya bisa menangis sejadi-jadinya, manakala aku mulai dicari-cari Polisi atau preman lainya lagi.

Aku benar-benar menemukan kehampaan di wajah Vera. Kehampaan yang tersembunyi dari wajahnya yang menahan tangis. Perlahan air mata itu deras mengalir di pipinya yang pucat. Tak ada isak di sana. Vera tak dapat menahan gejolak hatinya. Tubuhnya terguncang, suaranya sesegukkan.

“Aku mencintai Abang, tapi tak begini keadaan yang kuharapkan.” Vera menangis sejadi-jadinya.

Aku segera memeluknya. Mendekapkan wajahnya ke dadaku.

“Apa pun yang terjadi tak akan bisa mengubah takdir kita.” Kataku.

Ia berusaha mendiamkan tangisnya. Tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Lalu ia menggenggam erat tanganku.

“Kita pulang malam ini.” Ajaknya.

“Aku merasakan banyak mata yang mengintai rumah ini.” Lanjutnya lagi.

Entah bagaimana ia dapat merasakan itu. Mungkin karena mendengar cerita kriminalku atau ia memiliki indra keenam yang terasah setelah ia menjadi penghuni pesantren.

Angin kesunyian berhembus di kegelapan malam. Setelah pamitan pada ayah dan ibu kami berjalan mengendap-endap dalam gelap. Tak kuhiraukan hiruk pikuk pemain gaple yang mengeluarkan pekik nyaring kegirangan disaat menang. Sempat kuintip di pos ronda, Mas Bejo sudah  tak ada lagi di situ. Ah, mungkin ia sudah pulang. Tapi kemana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun