Aku menatap sejenak ke arahnya. Sementara ayah dan ibuku hanya mendengarkan sedari tadi. Mereka tak berkata apa-apa. Tak ada yang patut dibela dari anak seperti aku ini. Dulu, saat mereka mengetahui aku mulai menjadi nakal, bergaul dengan preman-preman pasar. Mereka sudah tak bisa mencegahku lagi untuk berbuat sesuatu yang kusukai. Ibu hanya bisa menangis sejadi-jadinya, manakala aku mulai dicari-cari Polisi atau preman lainya lagi.
Aku benar-benar menemukan kehampaan di wajah Vera. Kehampaan yang tersembunyi dari wajahnya yang menahan tangis. Perlahan air mata itu deras mengalir di pipinya yang pucat. Tak ada isak di sana. Vera tak dapat menahan gejolak hatinya. Tubuhnya terguncang, suaranya sesegukkan.
“Aku mencintai Abang, tapi tak begini keadaan yang kuharapkan.” Vera menangis sejadi-jadinya.
Aku segera memeluknya. Mendekapkan wajahnya ke dadaku.
“Apa pun yang terjadi tak akan bisa mengubah takdir kita.” Kataku.
Ia berusaha mendiamkan tangisnya. Tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Lalu ia menggenggam erat tanganku.
“Kita pulang malam ini.” Ajaknya.
“Aku merasakan banyak mata yang mengintai rumah ini.” Lanjutnya lagi.
Entah bagaimana ia dapat merasakan itu. Mungkin karena mendengar cerita kriminalku atau ia memiliki indra keenam yang terasah setelah ia menjadi penghuni pesantren.
Angin kesunyian berhembus di kegelapan malam. Setelah pamitan pada ayah dan ibu kami berjalan mengendap-endap dalam gelap. Tak kuhiraukan hiruk pikuk pemain gaple yang mengeluarkan pekik nyaring kegirangan disaat menang. Sempat kuintip di pos ronda, Mas Bejo sudah tak ada lagi di situ. Ah, mungkin ia sudah pulang. Tapi kemana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H