Kulihat butiran bening mulai menetes di pipi Vera. Awalnya aku ingin mengusap air mata itu. Semenjak menikahinya aku tak pernah melihat ia menangis. Dia seperti punya kekuatan bathin yang tak bisa digores oleh sembilu.
“Maafkan aku….” Kataku tercekat.
Vera tersenyum kecut dan menjawab dengan suara penuh kehampaan.
“Aku sudah memaafkanmu Bang. Jauh sebelum Abang memintanya.”
“Aku tak sanggup mengatakannya selama ini.”
Vera berdiri melihat ke luar jendela. Orang-orang semakin ramai berkerumun menonton permainan gaple. Suara gaple cletak cletok beradu dengan meja gaple mengeluarkan gesekkan-gesekkan beraroma kegetiran. Aku merinding bila mendengar biji-biji gaple ini bersentuhan satu sama lain. Entah kenapa. Aku seolah menikmati alunan kematian atau pun pertumpahan darah.
Dulu aku sering ikut ajakan tetangga untuk bermain gaple. Aku tak bisa menolak. Kalau menolak mereka akan cemberut dan mengejekku tak pandai menjadi laki-laki sejati. Walaupun permainan gaple sangat mengasyikkan, tapi tak jarang terjadi pertengkaran antar pemain, bahkan pernah sampai menjadi pertumpahan darah yang berujung pada kematian.
Mata Vera berubah semakin hampa. Lalu ia berbalik ke arahku. Kesedihan dan kehampaan yang ia rasakan begitu pilu di kalbuku. Aku menyesali semua yang telah terjadi. Aku menyesali kenapa bertemu Vera setelah aku menjadi orang jahat.
Aku memberanikan diri mendekatinya. Vera mendongak dan menghela nafas panjang. Semakin dekat aku dengannya, semakin jelas melihat kesedihan yang terperangkap di wajah manisnya.
“Aku sudah menerima hukuman atas semua perbuatan jahatku yang telah lalu. Aku di penjara selama 10 tahun. Tapi yang terakhir, ketika aku hendak tobat, aku tak sengaja membunuh seseorang yang ingin mengajakku kembali pada kejahatan.” Aku berkata serak.
“Aku tak punya pilihan. Aku harus menjalani takdir yang sudah dipilih untukku. Aku berlari karena takut kembali terpidana lagi. Hingga sampailah aku ke pesantren itu.” Aku mencoba meminta pengertian Vera.