Setelah itu, aku berlari dan terus berlari mengikuti arah matahari tanpa mengenal rasa nyeri di sekujur tubuh dan persendian kaki. Aku tak ingin mengulangi lagi hidup di penjara. Aku tak kuasa menghadapi tuntutan walaupun nyatanya aku hanya membela diri. Aku tak ingin terlihat lagi sebagai manusia laknat nan keji.
Pagi datang dengan hawa dingin menusuk tulang. Sebuah desa di tengah hutan membentang sunyi. Kabut masih menyelimuti rumah-rumah penduduk, ketika aku sampai di desa ini. Tubuhku yang lemah, langkahku yang gontai, kakiku yang rapuh sudah tak kuat lagi mengajak berlari. Dengan tubuh lusuh aku mengharapkan sinar matahari pagi menghiasi bumi. Semilir angin telah membekukan wajahku, ia pun mengusap rambutku dan hatiku pun terjatuh, hingga tubuhku menjadi layu terkulai di tanah basah. Aku lelah, dan tak ingat apa-apa lagi.
“Kalau begitu segera akan kupersiapkan perkawinanmu.” Kata Pak Haji Husin menyentakkan lamunanku.
Aku tersenyum kecut. Bayangan kejadian masa lalu dengan harapan hidup di masa depan sama buramnya. Gigiku gemelutuk dibuatnya. Mulutku yang kelu hanya ternganga begitu Pak Haji Husin pamit meninggalkanku. Aku hanya berdiam diri, dan tak tahu apakah pelupuk mataku yang mulai menghangat oleh buliran air mata jatuh karena kegembiraan ataukah karena kesedihan yang tak mau hilang.
[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren
[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Pelarian
[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Mas Bejo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H