Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Aku Tak Layak Mendapatkan Perawan

29 Maret 2016   13:43 Diperbarui: 29 Maret 2016   14:34 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode : Aku Tak Layak Mendapatkan Perawan

 

Kulihat malam menyelimuti Vera. Aku memulung rindu demi rindu memandangi wajahnya nan sunyi. Apakah yang patut aku berikan padamu, sayangku?  Apakah yang sudah aku perbuat untuk kebaikanmu? Hatiku berkecamuk. Keinginan membahagiakan dirinya telah melayangkan anganku ke masa lalu.

Teringat ketika aku meminta Pak Haji Husin menikahkanku dengan Vera, gadis yatim  piatu berparas cantik yang diasuhnya sedari belia. Pak Haji tercenung. Wajah penuh wibawa yang masih terlihat tampan itu tiba-tiba berubah sendu. Ia seperti mencemaskan sesuatu. Tapi itu tak lama. Ia dapat menguasai sedihnya seketika. Sepertinya ia tak mau aku terpengaruh dengan perasaan yang dialaminya.

“Apakah kau sudah siap?” Tanya Pak Haji.

“Umurku sudah empat puluh enam.” Jawabku.

“Bukan masalah umur, tapi apakah kau sudah mengenal Vera lebih banyak?  Vera itu anak yatim piatu, aku sendiri tidak tahu pasti latar belakangnya. Ingat, jika kau hanya menjadikannya sebagai pelarian semata,  kau tidak bersungguh-sungguh berumah tangga dengannya, maka hanya penderitaan saja yang akan kalian alami.” Pak Haji mulai menasehatiku.

 “Aku sudah siap dengan segala kemungkinan Pak Haji.” Kataku.

“Baiklah, jika kau berjanji akan bersungguh-sungguh, aku akan memberitahumu satu hal, yang tidak boleh engkau sebarkan bahkan tak boleh kau katakan kepada Vera sekali pun.” Ia menataku tajam.

“Saya berjanji Pak Haji.”

“Vera, adalah korban kebrutalan manusia bejat. Orang tuanya dibunuh perampok di depan matanya. Lalu dia diperkosa oleh salah seorang perampok berhati iblis. Saat itu umurnya baru empat belas tahun. Dia dibawa ke pesantren ini dalam kondisi depresi parah. Jiwanya kosong, labil, sulit diajak bicara, bahkan menggerakkan bibir pun hampir tak bisa.” Pak Haji berhenti sejenak menatap mataku.

Aku terkejut. Termenung mendengar jalan hidup Vera. Tak kusangka ia yang begitu ramah, ternyata menyimpan cerita kelam.  Rasa ibaku tiba-tiba semakin menumbuhkan keinginanku meminang Vera.  Kalau masalah keperawanan yang dikhawatirkan Pak Haji, itu tak menjadi penghalang apa-apa. Bukankah aku lebih buruk dari itu? Aku pun tak layak mendapatkan perawan.

Aku mantan penjahat kambuhan. Yang keluar masuk penjara. Yang dalam aksinya pernah membunuh dan memperkosa. Dadaku bergetar hebat mengingat satu peristiwa lama, sekitar  sepuluh tahun lalu, dalam kondisi pengaruh minuman aku bersama kawananku merampok sebuah rumah mewah. Lalu tanpa sadar melihat kemolekkan tubuh gadis muda, hasratku meronta dan melampiaskannya tanpa menghiraukan tangisan pilu gadis lugu itu.

Aku meninggalkannya begitu saja. Tanpa ingat wajah ataupun rasa. Tak peduli apakah ia akan mendendam atau menyudahi hidupnya yang padam.

Kebrutalanku terjadi berulang-ulang. Bahkan sampai bertahun-tahun mendekam dalam penjara tak menghilangkan kebusukan yang bersarang dalam jiwa. Di penjara pun aku masih sempat membunuh. Aku berontak terhadap kekangan penjara. Berkali-kali aku ternoda karena harus melayani nafsu sipir yang tergiur milihat kekekaran tubuhku. Berkali-kali pula aku tak kuasa menolak walaupun tanpa nafsu.

Lambat laun hatiku teriris pedih. Aku lelah, melayani kemurkaan yang muncul dari setiap bilik. Aku lebih banyak duduk merenung menatap langit-langit pada saat kesadaranku datang. Tiap tengah malam aku membaca dan mengenang garis takdirku yang menghitam. Membaca segala ketololan dan kekosonganku. Kusimpulkan bahwa aku tak boleh mengalah dan harus melawan, sekali pun nyawa harus kupertaruhkan.  Dan akhirnya, terjadilah pembunuhan di penjara itu. Korbannya sipir penjara yang selalu menggerayangiku. Hukumanku pun bertambah panjang.

Tuhan tak pernah meninggalkanku. Dia mulai mengingatkanku dengan ayat-ayat hidupnya. Aku dijangkiti penyakit kelamin. Penyakit terkutuk dengan nanah disetiap kemihku. Aku telah menerima karmaku, sungguh aku sudah pasrah dengan apa yang akan dijatuhkan Tuhan atas diriku, atau Dia akan menghukumku menjadi penghuni neraka jahanam. Aku memang bersalah, aku memang berdosa, tapi tak henti aku memohon sedikit ampun untuk memberiku ruang bertobat sebelum senja tiba.

Kudengar matahari datang menyembul. Tanah mulai terang. Sementara gemericik air menabuhkan nyanyian alam.

“Besok kamu bebas.” Kata Kepala Sipir sambil memberi salam.

“Apakah aku dapat remisi?” Tanyaku.

“Tidak, memang sudah waktunya.” Jawabnya.

Aku tak pernah menghitung sudah berapa lama aku di penjara. Aku tak pernah berharap untuk keluar lagi dari sana. Percuma, di luar sudah tidak ada tempatku berlabuh, tak ada tempat untuk berteduh, bahkan hanya untuk mengadukan sesuatu.

“Terima kasih pak.” Jawabku lemah tak berselera.

Keluar penjara aku tak lantas bersuka cita. Tak ada sujud sukur layaknya pendosa bertobat. Bahkan, orang-orang menghindar bertemu denganku. Mereka takut berinteraksi dengan mantan narapidana. Aku pun tak hendak menjadikan orang-orang yang mengenalku sebagai tempat bersandar ataupun sekedar membasuh luka.

Tapi yang pasti, aku ingin berbuat baik sesudah bercokol lama dalam masa yang buruk. Aku ingin hidupku lebih berarti hingga tak ada lagi duri yang menusuknya. Niat baikku itu mendapat apresiasi dari seorang wanita tua yang sudah menjanda. Ia dengan rela mempekerjakanku menjaga gudang miliknya. Tempat ia menyimpan barang-barang dagangan. Pekerjaan itu membuatku menatap masa depanku terpampang di langit nan biru.

Suatu ketika ada orang datang mendekatiku. Aku sangat mengenalnya. Ia teman satu sel denganku. Ia datang hendak mengatakan sesuatu, atau mengeluhkan sesuatu. Tapi intinya ia ingin aku membantunya merampok tuanku.  Aku berpikir ia hanya ingin mengetes kesetianku, atau mungkin ia ingin mengorek iba dariku, mungkin juga ia ingin memperolok keinginan baikku.

“Kamu mau apa?” aku menjadi marah mendengar kengototannya mempengaruhiku.

Ia tak menyahut, ia memperlihatkan mimik muka yang sangat tak lucu sambil mempermainkan tangannya ke arah kemaluan dengan gerakan orang beronani.

“Kita pernah melakukannya.” Katanya.

“Bahkan aku yakin kau sudah ketularan penyakitku.” Dia tertawa penuh ejekkan.

Aku geram. Aku begitu membenci kejadian-kejadian itu. Apalagi tubuhku telah dihinggapi kuman-kuman mematikan. Kulihat dia beringsut mendekat sambil merangkulkan sebelah tangannya. Detik itu juga kucabut sebilah pisau yang terselip di pinggangku. Dalam kekagetan, aku refleks menusukkan pisah itu ke jantungnya bertubi-tubi. Bahkan sempat kuputar-putar pisau itu di perutnya.

Kurang dari sedetik, aku sudah menyaksikan tubuh itu terkapar berlumuran darah dengan usus terburai, menggelepar seperti ikan habis diperuti. Suaranya mengerang mengerikan, darah kental merah kehitaman membasahi sekujur tubuhnya. Awan hitam segera berarak cepat menutupi kubangan darah merah.

Aku terpana dengan pisau basah di tangan gemetar. Ujung pisau meneteskan darah terus menerus. Suasana gudang yang sepi membuatku sempat berpikir untuk menyingkirkan mayat itu.  Lalu kumasukkan ke dalam karung dan kubuang di sungai yang tak jauh dari gudang setelah kugantungkan batu-batu besar agar karungnya tenggelam.

Setelah itu, aku berlari dan terus berlari mengikuti arah matahari tanpa mengenal rasa nyeri di sekujur tubuh dan persendian kaki. Aku tak ingin mengulangi lagi hidup di penjara. Aku tak kuasa menghadapi tuntutan walaupun nyatanya aku hanya membela diri. Aku tak ingin terlihat lagi sebagai manusia laknat nan keji.

Pagi datang dengan hawa dingin menusuk tulang. Sebuah desa di tengah hutan membentang sunyi. Kabut masih menyelimuti rumah-rumah penduduk, ketika aku sampai di desa ini. Tubuhku yang lemah, langkahku yang gontai, kakiku yang rapuh sudah tak kuat lagi mengajak berlari. Dengan tubuh lusuh aku mengharapkan sinar matahari pagi menghiasi bumi. Semilir angin telah membekukan wajahku, ia pun mengusap rambutku dan hatiku pun terjatuh, hingga tubuhku menjadi layu terkulai di tanah basah. Aku lelah, dan tak ingat apa-apa lagi.

“Kalau begitu segera akan kupersiapkan perkawinanmu.” Kata Pak Haji Husin menyentakkan lamunanku.

Aku tersenyum kecut. Bayangan kejadian masa lalu dengan harapan hidup di masa depan sama buramnya. Gigiku gemelutuk dibuatnya. Mulutku yang kelu hanya ternganga begitu Pak Haji Husin pamit meninggalkanku. Aku hanya berdiam diri, dan tak tahu apakah pelupuk mataku yang mulai menghangat oleh buliran air mata jatuh karena kegembiraan ataukah karena kesedihan yang tak mau hilang.

 

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Pelarian

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Mas Bejo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun