Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren-Aku Tak Layak Mendapatkan Perawan

29 Maret 2016   13:43 Diperbarui: 29 Maret 2016   14:34 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terkejut. Termenung mendengar jalan hidup Vera. Tak kusangka ia yang begitu ramah, ternyata menyimpan cerita kelam.  Rasa ibaku tiba-tiba semakin menumbuhkan keinginanku meminang Vera.  Kalau masalah keperawanan yang dikhawatirkan Pak Haji, itu tak menjadi penghalang apa-apa. Bukankah aku lebih buruk dari itu? Aku pun tak layak mendapatkan perawan.

Aku mantan penjahat kambuhan. Yang keluar masuk penjara. Yang dalam aksinya pernah membunuh dan memperkosa. Dadaku bergetar hebat mengingat satu peristiwa lama, sekitar  sepuluh tahun lalu, dalam kondisi pengaruh minuman aku bersama kawananku merampok sebuah rumah mewah. Lalu tanpa sadar melihat kemolekkan tubuh gadis muda, hasratku meronta dan melampiaskannya tanpa menghiraukan tangisan pilu gadis lugu itu.

Aku meninggalkannya begitu saja. Tanpa ingat wajah ataupun rasa. Tak peduli apakah ia akan mendendam atau menyudahi hidupnya yang padam.

Kebrutalanku terjadi berulang-ulang. Bahkan sampai bertahun-tahun mendekam dalam penjara tak menghilangkan kebusukan yang bersarang dalam jiwa. Di penjara pun aku masih sempat membunuh. Aku berontak terhadap kekangan penjara. Berkali-kali aku ternoda karena harus melayani nafsu sipir yang tergiur milihat kekekaran tubuhku. Berkali-kali pula aku tak kuasa menolak walaupun tanpa nafsu.

Lambat laun hatiku teriris pedih. Aku lelah, melayani kemurkaan yang muncul dari setiap bilik. Aku lebih banyak duduk merenung menatap langit-langit pada saat kesadaranku datang. Tiap tengah malam aku membaca dan mengenang garis takdirku yang menghitam. Membaca segala ketololan dan kekosonganku. Kusimpulkan bahwa aku tak boleh mengalah dan harus melawan, sekali pun nyawa harus kupertaruhkan.  Dan akhirnya, terjadilah pembunuhan di penjara itu. Korbannya sipir penjara yang selalu menggerayangiku. Hukumanku pun bertambah panjang.

Tuhan tak pernah meninggalkanku. Dia mulai mengingatkanku dengan ayat-ayat hidupnya. Aku dijangkiti penyakit kelamin. Penyakit terkutuk dengan nanah disetiap kemihku. Aku telah menerima karmaku, sungguh aku sudah pasrah dengan apa yang akan dijatuhkan Tuhan atas diriku, atau Dia akan menghukumku menjadi penghuni neraka jahanam. Aku memang bersalah, aku memang berdosa, tapi tak henti aku memohon sedikit ampun untuk memberiku ruang bertobat sebelum senja tiba.

Kudengar matahari datang menyembul. Tanah mulai terang. Sementara gemericik air menabuhkan nyanyian alam.

“Besok kamu bebas.” Kata Kepala Sipir sambil memberi salam.

“Apakah aku dapat remisi?” Tanyaku.

“Tidak, memang sudah waktunya.” Jawabnya.

Aku tak pernah menghitung sudah berapa lama aku di penjara. Aku tak pernah berharap untuk keluar lagi dari sana. Percuma, di luar sudah tidak ada tempatku berlabuh, tak ada tempat untuk berteduh, bahkan hanya untuk mengadukan sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun