Aku menikmati cintaku dengan rasa, yang kadang-kadang mengiris hati bahkan menyayatkan sembilu dikala rindu. Sosokmu hadir di tengadah harap hampa menunggu pasti yang tak pasti bila. Sampai pada cahaya nafasmu menyibak gambut sukma melipurkan lara.
Kedatanganku ke kota sunyi ini betul-betul membuat jiwaku bergemeretak dibakar risau lelap rintih pedih. Aku sering terjebak di ruang rindu tak berbatas pada penghias-penghias hati yang sudah lama bersemi. Sampai tiba-tiba hadirmu mewarnai jalan hidupku yang mulanya biasa saja.
“Abang memikirkan apa?” tanyamu kala itu.
“Aku memikirkan kamu untuk menggubah sebuah nyanyian”. Jawabku
“Tentang apa, Bang?” tanyamu lagi dalam nada sendu
“Tentang hubungan kita yang tak punya arah”. Aku berbisik parau
=====
Keringat luruh berbulir di wajah lucumu. Ya, kamu memang lucu. Lucu yang menggemaskanku. Yang membuat cucur rencana masa depan denganmu hanya terbayang indah. Yang bila dekatmu cuma ada kemanisan-kemanisan terang tanah menyuburkan cinta. Yang kala bersama kamu seluruh dedaunan bergemerisik seakan mencumbu senandung merdu.
“Abang meragukan kesungguhanku?” tanyamu terisak
“Tidak, Abang tak pernah ragu. Tapi keadaan Abanglah yang membawa semuanya jadi tak pasti”. Jawabku sejujurnya
“Aku tak mau Abang memeluk kabut lalu menghilang. Aku selalu merindu berlindung di kepak sayap perkasa Abang. Aku mencintai Abang lebih dari yang pernah kumiliki sebelumnya”. Suaramu semakin serak.
“Terlebih Abang, yang setiap saat menginginkan adanya dirimu. Kadang di malam sahdu berharap kamu berkunjung untuk sekedar lelap tidur bersama. Semua itu sangat menyiksa”. Rintihku. “Tapi Maafkan Abang, Ellen. Akan banyak hati yang terluka dan jiwa-jiwa menangis masgul menyesali takdir”. Lanjutku lagi penuh sesal.
“Lalu Abang mengabaikanku?” tanyamu tersinggung
“Bukan itu, hanya saja hadirmu tidak dimasa Abang masih sendiri”. Aku mencoba menggenggam jemarimu dengan tangan lusuhku. Ah, kutepis saja itu. Aku tak butuh. Angin sudah reda. Angkuh cinta tak terpenuhi. Tapi hasratku menginginkan untuk terus menggenggam tanganmu. Bahkan membuka ruang dadaku buatmu berlabuh.
“Aku selalu merindukan Abang”. Katamu dengan wajah memohon.
“Tak terkecuali aku. Yang terus berusaha membunuh rindu, seperti mawar-mawar layu. Aku sudah sekarat, dengan dahaga terik menyengat menahan penat dari penantian merindu padamu”. Suaraku tercekat.
“Lalu kenapa kita tidak mencobanya?” Kamu menatapku penuh harap
“Tak mungkin. Datangmu sudah terlambat”. Jawabku dengan dada sesak.
“Baiklah Abang. Kalau begitu, jangan sesali apa yang akan terjadi nanti”. Katamu dengan suara sendu.
====
Lalu, setelah malam itu kamu berlalu. Berlalu meninggalkan jejak basah air mata. Berlinang tanpa kejab di riak-riak kubangan cinta berbaur dosa. Karammu menenggelamkan labuhan hatiku hingga tergelincir di ujung gelap cakrawala. Pergimu telah mengiriskan pisau tajam merajam punggung hati dengan luka menganga berkepanjangan. Setiap detik, aku menuntut catatan langit hanya ingin melihat adakah kisah-kisah kita mengukir lagu indah disana.
Maafkan aku Ellen. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku tak mungkin menyakiti wanita yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anakku. Aku hanya selintas pergi darinya. Setelah itu kutemppuh jalan pulang meneruskan perjalanan sakral jejak terang melepas kegelapan. Terima kasih telah membuatku bahagia walau hanya dalam jenak waktu tak seberapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H