“Terlebih Abang, yang setiap saat menginginkan adanya dirimu. Kadang di malam sahdu berharap kamu berkunjung untuk sekedar lelap tidur bersama. Semua itu sangat menyiksa”. Rintihku. “Tapi Maafkan Abang, Ellen. Akan banyak hati yang terluka dan jiwa-jiwa menangis masgul menyesali takdir”. Lanjutku lagi penuh sesal.
“Lalu Abang mengabaikanku?” tanyamu tersinggung
“Bukan itu, hanya saja hadirmu tidak dimasa Abang masih sendiri”. Aku mencoba menggenggam jemarimu dengan tangan lusuhku. Ah, kutepis saja itu. Aku tak butuh. Angin sudah reda. Angkuh cinta tak terpenuhi. Tapi hasratku menginginkan untuk terus menggenggam tanganmu. Bahkan membuka ruang dadaku buatmu berlabuh.
“Aku selalu merindukan Abang”. Katamu dengan wajah memohon.
“Tak terkecuali aku. Yang terus berusaha membunuh rindu, seperti mawar-mawar layu. Aku sudah sekarat, dengan dahaga terik menyengat menahan penat dari penantian merindu padamu”. Suaraku tercekat.
“Lalu kenapa kita tidak mencobanya?” Kamu menatapku penuh harap
“Tak mungkin. Datangmu sudah terlambat”. Jawabku dengan dada sesak.
“Baiklah Abang. Kalau begitu, jangan sesali apa yang akan terjadi nanti”. Katamu dengan suara sendu.
====
Lalu, setelah malam itu kamu berlalu. Berlalu meninggalkan jejak basah air mata. Berlinang tanpa kejab di riak-riak kubangan cinta berbaur dosa. Karammu menenggelamkan labuhan hatiku hingga tergelincir di ujung gelap cakrawala. Pergimu telah mengiriskan pisau tajam merajam punggung hati dengan luka menganga berkepanjangan. Setiap detik, aku menuntut catatan langit hanya ingin melihat adakah kisah-kisah kita mengukir lagu indah disana.
Maafkan aku Ellen. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku tak mungkin menyakiti wanita yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anakku. Aku hanya selintas pergi darinya. Setelah itu kutemppuh jalan pulang meneruskan perjalanan sakral jejak terang melepas kegelapan. Terima kasih telah membuatku bahagia walau hanya dalam jenak waktu tak seberapa.