“Aku resign”, kataku pada Mel. “Perjalananku tidak secepat keinginan. Keinginanku tidak sesuai kenyataan. Kenyataan yang kuhadapi tidak sejalan dengan wiyata yang kudapat.” Aku meneruskan celoteh pada Mel.
“Bukankah mereka sudah memberi kehidupan dan energi buatmu”, kata Mel. “Harta melimpah, penampilan menawan. Apalagi yang kau cari?” lanjutnya lagi.
Aku terpekur diam. Hati pedih oleh sayatan karang pantai malam atas nasehat kelopak mekar dari bibir Mel.
“Aku akan menanggalkan kesombongan, Mel. Aku tak sanggup dalam dunia bertolak belakang pada nurani. Dalam idrakku, tempat kerjaku tidak berjalan pada perjuangan murni seperti yang digembar-gemborkan.”
“Tapi mereka menganut prinsip syariah,” kata Mel. “Bukankah itu keinginanmu sendiri untuk kerja di bank syariah?”
“Kamu belum pernah kerja di bank syariah Mel,” jawabku tersenyum yang semestinya mekar indah, karena hembusan nafasku menyapa lembut ke nadi Mel, pacarku. Aku berbisik meniup kuntum yang menari di paras ayu Mel. Lalu kuncup itu bermanja merekah memanggil terbit matahari saga perkasa.
“Lihatlah tubuhku dingin dan lunglai,” kataku. “Mereka berkoar tentang perselisihan renta antara halal haramnya perekonomian. Mereka menghujamkan pedang terhunus ke arah konvensional. Tapi mereka tidak memahami tertempuhnya jalan syariah yang sudah menyimpang.”
“Aku akan kembali ke konvensional,” ungkapku sambil menatap tajam mata Mel.
“Apa kamu tidak malu diperolok murtad?” Mel memastikan kesungguhanku dengan tanya tanpa resah.
“Tidak, muara telah menggandeng terang cahaya. Pagi telah menantikan warna. Kaki telah menunggu di senja nun penuh harap meski hanya tersisa butiran-butiran asa. Kamu belum pernah kerja di bank syariah, Mel. Sama dengan mereka-mereka yang meributkannya di luar sana.” Jawabku.
Tapi aku tetap tak akan menjelaskan kaki-kaki timpang yang berhaluan surga, pasir-pasir merana yang tertebaran ke langit, atau sinar surya yang menyusuri pelangi untuk menyeruak lembaran mimpi manusia menuju sempurna. Biarlah apa yang terjadi di bank syariah hanya menjadi kenangan masa untuk suatu saat nanti akan kusinggahi lagi.
Lalu kisah kembalinya aku ke bank konvensional sibuk menjelma menjadi perbincangan bagai bunga yang menaburi kisah para sejoli tanpa kembang tanpa pesona. Belakangan aku tersadar bahwa duniaku memang di sini, karena ia bisa menakar getir, manis, bahkan sesuatu yang liar sekalipun.
Sementara di luar sana, orang-orang tetap sibuk bercerita tentang sorga dan neraka dari persoalan ekonomi yang tak pernah berkesudahan. Tapi biarlah, mereka memang belum pernah kerja di bank syariah. Syariahnya sangat benar, tapi lembaganya bertaklif orientasi profit, yang tak berfikir menjadi besar berawal dari merajut hal-hal kecil, seperti lidah api yang menjilat, menapak, lalu menghampiri seisi perut bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H