Dongeng ini ditulis tahun 2100 Masehi
Konon zaman dahulu kala Palembang Darussalam baru memasuki masa peralihan dari kota tradisional menjadi kota internasional yang religius. Ia laksana gadis kecil yang menjelma bagaikan bunga penabur kisah-kisah menawan, mengembangkan pesona bulan merah jambu, menggiring tawa renyah bagi penikmat sorga dunia. Pembangunan infrastruktur yang mengukir jejak peradaban panggung nusantara untuk menyapu debu-debu panas jalanan yang menaburi peristiwa demi peristiwa di sudut Swarna Dwipa.
Saat itu, negeri Palembang Darussalam dipimpin oleh seseorang yang dipanggil Pak Wali untuk melukis segala keinginan dalam lembaran mimpi. Ia mendapatkan kepemimpinannya karena peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah kejujuran terbuang.
Awalnya Pak Wali berada di posisi wakil yang berpijak pada kaki-kaki timpang penghianat bumi di langit matahari. Lalu sebuah tabir rahasia mengungkap tanah-tanah lapuk perbuatan laknat berkarat kemenangan curang dari sebuah proses pemilihan menuju singgasana diraja. Akibatnya, sang pemimpin menerima balas dari laku yang meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam selongsong jeruji tajam pengingat mati. Maka, berdirilah kaki Pak Wali mengambil alih kedudukkan dalam selongsong waktu yang tidak dapat ditentukan.
Suatu hari, ketika pagi tak berembun dan kemarau tak berdebu, Pak Wali kedatangan tamu renta. Seorang penduduk negeri yang meretas hutan belantara untuk mendapatkan keadilan.
“Saya mohon keadilan Tuan”. Kata Pak Renta.
“Apa yang terjadi?” Tanya Pak Wali arif dan bijak.
Kemudian Pak Renta bercerita tentang kisah menyakitkan atas kejadian buruk yang menimpanya. Bahwasanya, ia telah menemukan sebuah benda pusaka milik Si Kaya yang hilang di kedalaman sungai Musi. Dengan bersusah payah ia menyelam mempertaruhkan nyawa berbungkus harap dan menguras waktu berbungkus takdir demi bersua nasib peruntungan yang telah lama tersangkal. Begitu benda pusaka ditangan ia bersua kerakusan menggandeng nafsu raga dari bathin kering kerontang milik sebuah jiwa jahat dari sepasang perampok kerdil yang akhirnya mengaku bahwa merekalah sang pemenang.
Lalu Sang Perampok pertama tertangkap sebagai maling ketahuan, namun ia menyerahkan benda pusaka pada teman rampoknya yang akhirnya mendapatkan hadiah dari Si Kaya.
Pak Renta tidak terima semua itu. Menurutnya, pagi harus mengikuti matahari, dan manusia harus mengikuti hati nurani agar keadilan dan kedamaian yang menjadi cita-cita hidup dari setiap yang berjiwa akan jadi nyata. Ia harus mendapatkan keadilan itu. Itulah kenapa hari ini Pak Renta datang langsung menemui Pak Wali sebagai satu-satunya pemilik keputusan fana akhir.
“Benda Pusaka itu adalah hasil perjuangan Pak Renta, oleh sebab itu – engkaulah yang berhak mendapatkan hadiah dari Si Kaya”. Kata Pak Wali memberi keputusan paling bijak.
Berita kembalinya kemenangan Pak Renta akan hadiah dari Si Kaya segera menyebar. Semua memuji Pak Wali sebagai pemimpin yang adil, arif dan bijaksana. Memang, setiap manusia – ketika nurani berbicara, ketika berjalan di hati, ketika fikiran membawa nafas mulia, saat itulah kebenaran berdiri kokoh menyapa dunia. Kasih sayang, cinta kasih, takkan terkalahkan oleh nafsu serakah.
Sejak itu, Pak Wali terus menyelam ke dalam dirinya sendiri. Semakin lama ia menyelam, semakin sadar bahwa kisah Pak Renta persis sama seperti yang ia alami. Akhirnya, dengan suara lantang bak elang perkasa tanpa lelah, tanpa menyerah pada terik sang surya, ia menyatakan mundur dan meletakkan kedudukkan untuk diberikan pada pemenang yang terenggut. Ia telah menyapu serta menghanyutkan awan hitam tak bergerak. Ia sadar waktu akan mengikis usia menuju pemilikNya. Dan jalan baginya tetap terbentang lebar karena keberaniannya mengakui kesalahan adalah jalan kebaikan yang terang benderang.
Sepeninggal Pak Wali dari tahta kepemimpinan, orang-orang terus bertanya dan merindukan kehadirannya. Keberanian mengakui kesalahan dan kejujurannya menyatakan kebenaran adalah nilai yang tak terkira tingginya. Ia mengisi hari-harinya untuk selalu berbuat baik dan mengisi ruang hidup dengan perbaikan-perbaikan menuju takdir sukacita. Tanpa ia sadari, sekujur tubuhnya semakin kokoh, bunga-bunga kebaikan menjelma menjadi buah yang memberikan rasa segar bagi semua orang.
Hingga- dalam pemilihan pemimpin berikutnya ia dipilih secara aklamasi oleh seluruh penduduk negeri yang mencintainya. Berasal dari akar-akar jiwa yang sudah melewati titik balik ia menjelma menjadi pribadi yang menyebarkan wewangian kehidupan.
Sejak itu, Palembang Darussalam menjadi cahaya rembulan yang penuh api cinta kasih tak terbunuh oleh lekangnya zaman. Pak Wali dikenang sebagai arus kebaikan hidup yang tak bisa ditolak, ia telah menjadi tonggak sejarah membesarkan Palembang Darussalam dan membuat suatu perubahan dari hati yang tergerak kejujuran hingga akhirnya Palembang Darussalam menjadi negeri termodern dengan mengedepankan nilai-nilai religius sebagai salah satu penunjang berdiri tegaknya kekokohan bumi nusantara saat ini.
Andai dulu Pak Wali tidak membuat keputusan itu, maka dongeng ini tidak pernah tertulis, karena cerita tentang negeri yang makmur tak pernah terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H