Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Kenapa Aku Menjomblo?

27 September 2014   02:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:21 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raut wajah sendu itu tak banyak bercerita. Bibir mungilnya memang selalu tertutup rapat, sulit mengharapkan tegur sapa. Tapi mata sayu itu dapat berbicara, layaknya kawan lama yang sudah sering mengungkapkan rasa.

Dulu kamu selalu menyendiri di pojok mesjid itu menghayati ayat-ayat yang kamu baca perlahan. Sambil membungkukkan badan atau bersandar di dinding keramik, membiarkan angin meniup wajah manismu dari jendela kaca yang terbuka, seakan kamu ingin menyatu dengan hembusan demi hembusan yang diterpakannya pada setiap desah nafasmu. Begitu, dan selalu begitu.

Awalnya, kupikir kamu seorang gadis pendiam. Yang menutup diri dari segala macam pergaulan wanita seumurmu. Ya, tentu saja aku menduga demikian. Karena hari-harimu selalu dihabiskan di tempat-tempat pengajian atau di sudut mesjid kuliahan. Sudah berapa lamakah kamu mengisi waktumu dengan kegiatan seperti ini? Setahun, dua tahun, enam tahun atau sepuluh tahun? Aku sendiri tak pernah menghitungnya.

Sehari setelah perkenalan kita, aku merasa kamu wanita yang sangat sempurna. Hampir seluruh waktumu habis didedikasikan untuk sesuatu yang dinamakan pekerjaan atau hobby. Gaya dan lagumu melebihi kecerdasan yang kumiliki, kamu pintar bicara politik bahkan mengalahkan seorang politikus, kamu pintar bicara kebijakan bahkan ilmumu tak terjangkau oleh eksekutif maupun legislatif, lebih dari itu kamu sangat menguasai masalah agama bahkan ulama sekali pun tak dapat mematahkan argumen-argumenmu.

“Aku mencintaimu karena kecerdasanmu.” Kataku suatu ketika. “Namun yang aku sayangkan, kenapa kecerdasanmu hanya terungkap lewat status di facebook atau hanya tatkala berbicara dengan teman-temanmu saja.”

“Aku puas jika terkenal di dunia maya.” Jawabmu.

“Terserah kamu saja.” Aku tersenyum sambil merangkulkan kedua tanganku di lehermu.

“Aku ingin memiliki dirimu seutuhnya.” Bisikmu menghembuskan nafas lembut setelah melepas semua duri terpendam pada raga kelam kita.

Aku tahu, kamu tak disukai oleh teman-temanmu. Bahkan orang-orang yang pernah mendekat pun lari menjauh. Lah, mereka bosan dengan semua pelangi yang kau ukir itu. Kamu hobby berargumen untuk setiap kata yang terlontar. Kamu hobby menjawab setiap kalimat yang sebetulnya tak perlu penjelasan. Kamu hobby menganalisa kebijakan pemerintah di media. Kamu hobby menghina aqidah orang-orang seagamamu yang kamu rasa tidak sejalan dengan pemikiranmu. Kamu hobby membela politikus yang kamu anggap sesuai dengan haluanmu sekali pun itu busuk. Dan sebaliknya kamu akan menghujat politikus yang kamu anggap mengganggu lajunya dukunganmu.

Ingatkah kamu ketika saya bilang “jomblo itu banyak disebabkan oleh kurangnya kualitas diri, sayang”.

Dengan suara yang meluap laksana lahar kamu jawab. “Lah, iyalah. Kualitas diri memegang peranan penting dalam dinamika sosial dan romansa. Orang harus selalu mengupgrade diri mereka, baik secara luaran maupun dalaman, bukannya malah mengandalkan tampang doang, mengandalkan kekayaan orang tua, kalau aku tidaklah demikian”. Tapi saat itu kurasakan jemari kita saling erat meremas.

Aku hanya tersenyum sambil membathin : “Lah, kamu apa? Penampilan seadanya, lusuh, dekil, bahkan jilbab pun seperti tak pernah dicuci. Emang itu yang kamu sebut dengan kualitas diri? Untung aku masih mau sama kamu.”

“Maafmanis, aku katakan kamu salah besar! Percuma kamu pintar bicara tapi tak bisa memperhatikan penampilanmu sendiri.” Perkataanku mulai memancing letupan-letupan kebersamaan kita yang baru mulai terbangun.

Dan yang tak kalah serunya, kamu masuk dalam kategori wanita yang menghiasi hari-hari dengan complain. “Tiada hari tanpa complain”, demikian candaan orang-orang. Sementara kamu bangga menjadikan complain sebagai tag-line semboyan hidupmu. Tak jemunya kamu mengkritik gebetanmu, tentang kejamnya dunia, bahkan tanpa segan kamu sering menyalahkan tuhan atas segala apa yang kamu rasakan.

“Sayang, mengeluhkan tentang kehidupan atau tentang segala hal hanya akan menggelontorkan daya tarik pribadimu”, kataku suatu saat.

Tapi dengan pongahnya kamu tetap menjawab bahwa kamu tidak mengeluh, kamu tidak memprotes tentang apa yang kamu dapat, tapi kamu hanya mengungkapkan apa yang ingin kamu ungkapkan. Duh, sangat bodoh!

“Kalau kamu tidak menginginkan aku lagi, ya sudahlah, kita akhiri saja hubungan ini sampai di sini!” Bentakmu.

“Bukan itu, aku hanya ingin membuat kamu jauh lebih menarik.” Suaraku melemah.

Namun kamu bukannya berubah, malahan kamu semakin menampakkan sikap negative feeling terhadap segala sesuatu yang kamu lihat, bahkan kamu sangat bersahabat dengan bad mood itu, selalu saja tak ada perbuatan orang yang bagus di matamu, tak ada niat orang yang baik di benakmu, kamu gagal menebar pesona.

“Orang yang beraura negative feeling sangat mudah terdeteksi”, ujarku kala itu. “Sayang, aku tak mau kehilangan kamu”. Lanjutku penuh harap.

“Aku juga, dan aku tahu itu. Aku sangat bisa membaca orang yang seperti itu. Makanya, aku kurang respek dan malas berbaur dengan mereka”, jawabmu memamerkan keangkuhanmu. “Tapi kamu berhentilah menasehatiku.” Katamu dengan pandangan menghujam ulu hatiku.

Kamu lupa, bahwa kamulah orangnya. Yang berjalan dengan tidak bersemangat, yang memandang dunia seperti musuh. Yang loyo, tidak enerjik, bahkan pesimis dengan segala sisi kehidupan. Olala, kamu memang sangat tidak menarik! Lantas, kenapa aku terperangkap dalam dekapanmu?

“Pernahkah kamu mempelajari romansa dan cinta guna menambah daya tarik dirimu?” Tanyaku ingin menyadarkan kamu.

“Jelas dong, aku belajar dari sumber yang berbeda-beda, bahkan sedari kecil.” Jawabmu penuh percaya diri. “Kita tak boleh belajar dari sumber yang salah, karena ia akan merusak sebuah perjalanan romansa”.

“Hah, maksud kamu apa sayang?”

“Saat kamu PDKT padaku, kamu sudah memberi banyak perhatian. Tapi, jika saat awal kita jumpa aku tak tertarik padamu, maka apapun yang kamu lakukan tak akan membuatku tertarik.” Jawabmu diplomatis. Wuihh!! Kamu memang jagonya mengolah oral.

Tapi tunggu dulu, walaupun kamu sudah banyak belajar. Tapi kamu nol besar. Karena kamu tidak pernah melakukan apapun dari apa yang telah kamu ketahui itu.

“Maafkan aku Soraya, dengan jujur aku katakan. Aku gagal mencintaimu!” Sangat aneh kalau hubungan ini kita lanjutkan.” Kataku tersenyum penuh kemenangan.

“Tapi kamu sudah berjanji untuk membangun keluarga yang bahagia Dina!” Bentakmu sambil menerjang ke arah dadaku.

Seketika aku tersungkur. Keningku berdarah terhempas sudut bangku taman. Saat terbangun ayah dan ibuku memandangku dengan wajah haru, penuh selidik atas apa yang telah terjadi. Aku tak sanggup membuka mataku lagi. Bahkan hanya untuk sekedar mengingatmu Soraya! Menjauhlah, aku jijik dengan semua ini. Aku akan meninggalkanmu, aku akan membunuh sepidengan mencari lelaki sejati. Yah, sejatinya memang begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun