Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Tanah Pengharapan

14 Oktober 2014   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jadi, kamu ingin menguasai negeri ini, Achong?” tangannya gemetar memegang tongkat yang sudah berwarna usang. Jemarinya dikepalkan, giginya gemelutuk, matanya tajam menahan amarah yang sudah memuncak. Ia memperlihatkan semangat nasionalisme, patriotisme, bahkan chauvinisme yang tinggi.

Aku hanya tertawa, menertawakan kebodohannya. “Tanah leluhurku sudah habis, mereka perlu tempat untuk berkembang biak!”.

“Aku yang telah mengangkat derajatmu. Aku yang telah membawamu ke nirwana ini. Aku jadikan kamu sebagai pejabat kepercayaan. Lalu kini engkau menghianati itu semua?!” Ia menghardikku dengan geramnya.

=====

Ia memiliki kecintaan yang sangat besar pada negeri. Walaupun kulitnya sudah mulai keriput di sana sini, bahkan sebagian sudah retak bagaikan kulit ketimun tua, namun jika berbicara mengenai keutuhan negara, maka darahnya laksana tersulut api nan tak kunjung padam.

Tapi aku? Aku adalah korban negeri ini. Sepuluh tahun yang lalu, orang-orang keturunan China Daratan yang tinggal di negeri Dwipayana ini hampir musnah dibumihanguskan oleh pemerintah yang dzolim. Hanya beberapa orang saja yang selamat karena kebaikan penduduk untuk melindunginya. Salah satunya aku, yang akhirnya hidup seperti di tanah tanpa harapan.

“Andai aku jadi penguasa negeri ini?” Aku bergumam sambil melihat ke langit yang mendung. Membiarkan rintik-rintik hujan mengalir bersama derasnya air mataku. Membiarkan kilat menjilati awan yang bergemuruh dihantar petir bertubi-tubi.

“Kau tahu, hanya melalui politik kau bisa masuk ke dalam kekuasaan. Saat ini gerakan-gerakan politik sangat dahsyat. Penduduk pribumi sedang mendirikan partai-partai baru di mana-mana. Tentu saja mereka butuh dana dan orang-orang yang mau berkecimpung di dalamnya. Ini kesempatan awalmu. Lakukan atau kau akan terlambat!”. Hardik kakekku yang melarikan diri ke China Daratan karena disangkakan melakukan korupsi terstruktur di bank milik negeri Dwipayana.

=====

Lalu jalan itu terbuka lebar. Seiring gencarnya gerakan-gerakan separatis dan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh para penduduk pribumi, membuat aku mampu bermain cantik dalam percaturan politik mereka. Berkorban dengan pola hidup sederhana bukanlah suatu yang sulit. Tidak ikut menikmati uang jarahan ataupun upeti dari orang-orang yang berkepentingan denganku adalah perkara yang mudah. Bersih-bersih diri dengan mengangkat semua kebaikan humanis dengan memprovokasi setiap kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negeri merupakan keahlianku.

Diam-diam dari China Daratan kakek terus memantau sepak terjangku. Ia membayar media-media mainstream dan media besar yang terafiliasi dengan berbagai percukongan internasional untuk selalu menghembuskan segala kegiatanku menjadi baik dimata pembaca atau penikmat berita. Rakyat Dwipayana memang mudah dipengaruhi. Mereka hidup dalam garis kemiskinan dan ketololan. Sehingga mereka bangga jika dapat beropini tentang segala sesuatu yang didengar, dirasa ataupun dilihatnya. Karena ia akan merasa lebih pintar dari orang-orang tolol lainnya.

Apalagi jika dihembuskan masalah SARA. Itu adalah senjata yang paling ampuh untuk memecahbelah mereka. Jika penduduk pribumi yang mempermasalahkannya maka HAM yang akan bertindak. Tapi jika aku ataupun sisa-sisa keturunan China Daratan yang melakukan maka serangan SARA akan berbalik kepada penduduk pribumi itu sendiri.

Suatu ketika aku mengumpat kepada salah satu penyelenggara pemerintahan dengan sebutan “bajingan!”. Maka bermunculanlah segala sumpah serapah dan umpatan yang ditujukan padaku. Aku hanya tertawa mendapati semua itu. Lagian apa peduliku. Toh, media-media bayaran kakekku sudah memblow-upnya. Sehingga umpatan terkesan istimewa dan berlalu bagai angin saja.

“Dasar, kadar sarkasmemu sangat tinggi!” maki kakek samar-samar di handphone. Dulu, ketika umurku menjelang tujuh tahun, aku mulai mengenal makian. Ketika umurku beranjak ke delapan tahun, makian itu semakin nyaring di telinga. Ketika umurku menjelang sembilan tahun, aku sudah sangat akrab dengan makian. Aku sering dihina, tapi sering pula menghina. Walaupun dalam agamaku dilarang mengucapkannya, tapi lingkunganku sudah mengajarkanku demikian, hingga tak ada lagi rasa bersalah ataupun berdosa ketika makian harus kuungapkan.

=====

“Hei, Achong. Aku tahu cita-citamu? Aku membutuhkanmu untuk mengangkat partai yang baru kubentuk. Dan kamu memerlukan aku sebagai wadah menuju puncak cita-citamu.” Pekik Pak Tua Gondo pendiri Partai Rakyat.

Pak Gondo sudah terkenal sebagai pejuang, karena ia memiliki darah pejuang dan juga keturunan para pejuang di negeri Dwipayana ini. Ia sudah lama bergerilya ke pelosok-pelosok negeri untuk mengenal dan dikenal rakyatnya. Bahkan ia tak segan-segan bercerita tentang hidup dan kehidupannya kepada siapa saja. Entahlah, mungkin sudah berjibun pengalaman dan cita-cita yang menumpuk, membukit atau menggunung dalam otaknya. Jadi, dia harus membagikan pengalaman dan cita-cita itu kepada orang lain sebelum mereka meledakkan otaknya sendiri.

“Berarti kita sejalan dan sehaluan Pak?”

“Ya iyalah, kamu akan kubawa ke ibukota negeri ini!” Ia mengucapkannya dengan penuh semangat.

“Tapi saya bukan orang pribumi Pak”. Aku meminta kepastian.

“Justru itu yang akan membuat kamu cepat terkenal dan partai kita disukai, karena lebih mengedepankan keberagaman.” Jawabnya meyakinkanku.

=====

Hidup dalam masa dimana negara dalam kondisi negatif. Pandangan masyarakat tentang pemerintahan yang penuh dengan kejahatan, pejabat yang egois, polusi berkepanjangan, hiruk pikuk kenderaan, masyarakat miskin, kotor, rasisme, penipuan dan banyak lagi lainnya membuat penduduk pribumi sibuk dengan diri sendiri.

Aku yang sudah terpilih menjadi penyelenggaran tertinggi pemerintahan mudah saja melakukan rencana-rencana besar. Perlahan orang-orang China Daratan yang tadinya tergusur mulai berdatangan ke negeri Dwipayana. Sedikit demi sedikit mereka memasuki kota-kota di seluruh pelosok negeri. Kehadiran mereka hampir tak diketahui, para penduduk pribumi hanya mengira kedatangan mereka adalah perpindahan dari kota ke kota yang ada di negeri Dwipayana itu sendiri. Karena mereka sudah dibekali dengan KTP dan Kartu Keluarga yang diterbitkan dalam negeri.

Malangnya, dugaanku salah. Ternyata, Pak Tua Gondo mengetahui sepak terjangku. Dengan pengalamannya berjuang dan mengamankan Dwipayana berpuluh-puluhan tahun, ia sampai pada titik nadirnya, bahwa dirikulah penyebab lonjakan penduduk China Daratan di Dwipayana ini.

“Aku tak mau menggadaikan negerikku, aku tak pernah berpikir untuk menjual negerikku, dan aku tak sudi negeriku dikuasai asing!” Bentak Pak Tua. Dan tiba-tiba suara dentuman senjata diiringi terjangan peluru yang bersarang di dadaku membuat aku hanya terpana, merasakan jiwa melayang tanpa dapat berkutik lagi.

Keesokan harinya, tanggal 11 Januari 2030, aku memandangi tubuhku yang sudah melepuh menjadi abu dan ditaburkan ke birunya laut Pantai Selatan, tempat aku bermunajat selama ini. Ah, aku juga memiliki kecintaan pada negeri ini, tapi aku juga memiliki kecintaan pada rakyat leluhurku, cinta ini abadi. Mekar bersama jutaan cinta yang masih memegang harapan padaku.

Tapi aku bukan pahlawan. Bukan pula seseorang yang mampu mengangkat derajat serta harkat dan martabat bangsa. Bukan pula seseorang yang dikenal orang banyak sebagai peneriak moral. Aku hanya seseorang yang ingin berbagi kemakmuran negeri yang kutinggali bersama orang-orang di tanah leluhur yang sudah kehabisan tanah pengharapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun