Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggapai Kesuksesan Dunia untuk Kebahagiaan di Akhirat

10 Februari 2023   11:32 Diperbarui: 10 Februari 2023   11:37 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka."

 

Setiap muslim, pasti hafal dengan doa sapu jagat di atas. Doa yang memiliki keutamaan begitu besar tersebut sangat jelas menunjukkan posisi Islam sebagai agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk meraih kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa setiap dari kita, umat Islam, harus menggapai kejayaan selama hidup di dunia dan kelak di alam keabadian. Bahkan, kita harus bisa menjadikan kejayaan dan kesuksesan hidup di dunia sebagai wasilah (sarana) untuk meraih kebahagiaan akhirat.

Salah satu caranya adalah Islam mengarahkan tiap pengikutnya untuk memiliki pola pikir (mindset) yang benar ketika memandang sebuah kekayaan. Hal ini tentunya perlu dimulai dengan memahami seperti apa konsep ekonomi Islam. Terlebih banyak orang yang masih menganggap bahwa Islam adalah agama yang tidak memperbolehkan pengikutnya untuk hidup keberlimpahan harta.

Pandangan tentang ekonomi Islam (Iqtishodi) lebih mendalam disampaikan oleh Prof. Dr Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Malaamih Al Mujtama Al Muslim. Dari penjelasan pemikir Islam kontemporer tersebut yang menarik adalah pernyataan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama dan juga satu-satunya ideologi yang menempatkan dunia berada tepat di tengah-tengah. Tidak ekstrem kiri ataupun kanan. Pernyataan ini menyiratkan bahwa Islam merupakan agama yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Apakah benar demikian?

Nyatanya, pendapat ulama besar Mesir yang sekarang tinggal di Qatar tersebut, bertolak belakang dengan kondisi realita umat muslim saat ini, terutama dalam bidang perekonomian. Sebagian besar pembahasan mengenai ekonomi islam ini menempatkan Islam sebagai agama yang masih condong ke kiri atau menjauhi dunia. Inilah yang menyebabkan semangat untuk meraih kejayaan dunia menjadi melemah. Pemahaman ini juga berdampak pada posisi perekonomian negara-negara mayoritas Islam masih berada di bawah negara-negara mayoritas non muslim.

Mestinya umat Islam bersyukur memiliki Risalah Islam yang berada di pertengahan, tidak menjauhi dunia tetapi juga tidak menuhankan dunia, bahkan menjadikan dunia sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan akhirat. Keberadaan Islam di tengah-tengah merupakan anugerah yang luar biasa bagi para pengikutnya. Hal ini juga didukung dengan pendapat Syekh Yusuf Al Qaradhawi yang mengutip surat Al-Adiyaat ayat 8.

Artinya "Sesungguhnya manusia itu menjadi bakhil karena sangat cintanya kepada (Al-khair) harta yang banyak.

Di samping maksud dari ayat itu, mayoritas ulama ahli tafsir sepakat mengatakan bahwa yang disebut dengan al khair pada ayat tersebut adalah harta atau kekayaan yang melimpah. Allah SWT menyebut harta kekayaan yang banyak sebagai al khair. Artinya, harta kekayaan yang banyak merupakan "al khair" atau sesuatu yang baik. Penyebutan khair merupakan sesuatu yang penting sebab bagi umat Islam, amat sulit melakukan amal kebaikan tanpa adanya harta. Tanpa harta, kita tidak bisa membantu orang lain, tidak bisa berdakwah, tidak bisa menjayakan umat, bangsa, dan negara tercinta.

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi juga menyinggung surat al-Baqarah ayat 180, yang isinya:

Artinya, "Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan "khoira" harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa)."

            Dalam ayat tersebut Allah lagi-lagi menggunakan kata "khoiron" untuk mendefinisikan harta peninggalan yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan harta yang banyak untuk memastikan anak keturunan kita tidak membebani orang lain adalah suatu kebaikan.

Nabi Muhammad SAW juga berpesan"Meninggalkan ahli warismu dalam keadaan cukup, itu jauh lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan fakir". Hadis ini merujuk dari 'Amir bin Sa'ad, dari ayahnya. Sa'ad adalah salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Beliau berkata bahwa Rasulullah SAW menjenguknya ketika haji Wada', tersebab sakit keras. Sa'ad pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?" Beliau menjawab, "Tidak."

Sa'ad bertanya lagi, "Bagaimana kalau separuhnya?" Beliau menjawab, "Tidak." Saya bertanya lagi, "Bagaimana kalau sepertiganya?" Beliau menjawab, "Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu."(Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 4409 dan Muslim no. 1628).

Hadis tersebut menyiratkan bahwa Islam mengajarkan kepada para pengikutnya agar harta peninggalan lebih baik diserahkan pada ahli waris. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga mereka agar tetap hidup dalam keadaan berkecukupan. Hal ini tentu lebih baik dibandingkan menelantarkan mereka sehingga hidup meminta-minta atau menjadi pengemis. Islam pun menyampaikan bahwa seseorang yang berniat mencari rida Allah ketika mencari dan memberi nafkah, akan membuahkan pahala. Untuk itu, umat Islam harus berjuang menjemput rezeki Allah sehingga bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Apalagi Allah SWT lebih menyukai muslim yang kuat daripada muslim yang lemah.

Artinya, "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan." (HR. Muslim)

Meski sudah disebutkan berkali-kali dalam Al-Qur'an dan hadis, nyatanya masih ada sebagian pemuka agama yang mendoktrin umat Islam untuk fokus pada kehidupan akhirat saja dan cenderung mengesampingkan dunia. Sering kali kita mendengar ungkapan bahwa hidup di dunia hanya sebentar saja, buat apa menumpuk harta, toh mati tidak dibawa? Mengapa harus bersusah payah mencari rezeki? Toh rezeki itu sudah ada yang mengatur. Seolah-olah menjadi kaya hanya akan membuat lupa pada kehidupan akhirat.

Pendapat di atas sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, jika disampaikan pada orang atau momen yang tidak tepat akan melemahkan semangat kaum muslim untuk meraih kesuksesan. Misalnya saja seorang pemuda yang baru lulus kuliah. Ketika ia langsung didoktrin dengan dalil-dalil agar menjauhi kehidupan duniawi, pada akhirnya akan menyebabkan pemuda tersebut kehilangan daya saing memenangkan persaingan ekonomi dan bisnis.

Seharusnya, pemuda yang baru lulus kuliah atau mereka yang hendak terjun di dunia kerja diberikan suntikan semangat agar mau bersaing dan memberdayakan dirinya dengan semaksimal mungkin. Dengan begitu mereka akan memiliki semangat yang kuat untuk meraih kesuksesan pendidikan, bisnis dan mampu meraih jabatan-jabatan penting strategis serta seluruh prestasi keduniaan lainnya. Doktrin yang justru melemahkan mereka untuk berdaya saing tinggi justru akan menyebabkan kemunduran bagi generasi muda Islam.  

Maka, dalil-dalil untuk mengingatkan jangan sampai terlena pada dunia, akan lebih sesuai bila diberikan kepada orang yang sudah sukses atau sudah berumur lanjut. Orang yang sukses memang harus diingatkan agar tidak terlena dengan kesuksesannya, dan harus menjadikan kesuksesan dunianya menjadi kesuksesan akhirat. Begitupun orang yang berusia lanjut, harta yang dimiliki seyogyanya dimanfaatkan pada jalan-jalan kebaikan sebagai bekal menuju kematian.

Pada intinya Islam tidak pernah melarang para pengikutnya untuk memiliki harta yang melimpah, tetapi justru banyak dalil yang menganjurkannya. Dengan harta, setiap muslim bisa menolong saudaranya, mengenalkan agamanya, dan tentu tidak menutup kemungkinan menjayakan negaranya. Oleh karena itu, menjadi kaya merupakan kewajiban setiap muslim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun