MESKI SULIT, ORANG TUA SELALU BERIKAN YANG TERBAIKÂ
Sebuah sudut di rumah susun (rusun) kumuh Blok 51 Ilir di tengah kota Palembang. Disitulah seorang anak bernama Richard dan adiknya, David tinggal bersama kedua orangtuanya. Rumah susun yang mereka tempati sangat jauh dari kata layak.
Lantainya masih terbuat dari plesteran semen, belum berkeramik dan dindingnya menggunakan batako. Ruangannya sempit, terdiri dari ruang depan, dapur, kamar mandi dan kamar tidur. Luasnya standar rusun, tidak lebih dari 30 meter persegi. Jendela belakang menggunakan kaca nako usang yang dibiarkan terbuka, karena sudah rusak dimakan usia. Jendela tidak bisa ditutup lagi. Jika turun hujan deras disertai angin, akan tampias sehingga air masuk ke dalam rumah.
Kesan kumuh semakin kentara dengan banyaknya jemuran aneka ragam bergelantungan di depan setiap rusun. Pemandangan itu membuat tidak enak untuk dilihat dan kurang nyaman, terlebih rusun terletak di tengah kota Palembang. Rusun Ilir Palembang milik Perum Perumnas yang sudah dibangun sejak tahun 1994 silam.Â
Sampai saat ini rusun kumuh dan tidak layak huni tersebut masih dihuni belasan ribu orang. Rusun ini memiliki 53 Blok, yang telah habis masa Hak Guna Bangunan atau HGB sejak 2013. Bangunan tersebut hingga sekarang belum diperbaiki meski dindingnya terlihat kusam dan sebagian berlumut. Namun untuk Blok 50-53 sudah dilakukan peremajaan dengan pengecatan sehingga tampak lebih rapi.
Rusun pun mempunyai kelas atau tingkatan yang mencerminkan status sosial penghuninya. Biasanya rusun yang paling mahal yakni Blok terletak di dekat jalan raya. Semakin jauh lokasi Blok dari pinggir jalan, harganya kian murah. Selain jarak, posisi juga menentukan. Rusun yang berada di lantai satu lebih mahal ketimbang lantai diatasnya.Â
Pastinya semakin ke atas, harganya makin miring. Nah, rusun yang ditempati keluarga Richard terletak di Blok yang lokasinya paling jauh dari jalan. Posisinya di lantai 4 pula. Dilihat dari status kelasnya, sudah bisa ditebak, harga rusun tersebut yang paling murah. Namun ironisnya, meski murah sekalipun, rusun yang mereka tempati ternyata bukan milik sendiri alias sewa. Ini menandakan keluarga Richard berasal dari kalangan kurang mampu.
Maklumlah, Ayah Richard bernama Herling, hanyalah seorang salesmen perusahaan swasta yakni PT. ABC, produsen batu baterai merk ABC. Gaji pria asal Medan itu juga tidak seberapa karena hanyalah tamatan SMP.Â
Sedangkan ibunya, Lina Dewi berasal dari Jambi. Meski lulus SMA, tetapi dia memilih menjadi ibu rumah tangga. Mendidik dan mengasuh kedua anaknya di rumah. Serta mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Richard biasa memanggil ibunya dengan Mama dan ayahnya dipanggil Papa. Â
Namun karena penghasilan suaminya pas-pasan, sang Mama kadang mencari penghasilan tambahan. Antara lain dengan menjual baju-baju secara kredit kepada tetangga atau teman-temannya door to door. Selain itu, juga pernah berdagang sepatu di dekat jembatan Ampera. Berdagang apa saja, asalkan halal dilakukan agar dapur tetap ngebul.
 Kedua orangtuanya menikah di Medan. Richard lahir di Medan, pada 11 Oktober 1985. Ketika Richard berumur 40 bulan dia dibawa naik pesawat, karena sang Papa pindah kerja ke Palembang. Di kota Empek-Empek itu, orangtuanya mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mamanya pun senang pindah ke Palembang, karena di Medan, jauh dari keluarga dan teman sehingga kesulitan untuk berjualan.
Keluarga itu menjalani kehidupan dengan mengontrak rumah susun di tengah kota Palembang. Penghasilan Papa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan setiap kali akan membayar uang sewa rusun, sang Papa selalu mencari pinjaman baik ke saudara maupun perusahaan. Padahal tahun 1990-an, harga sewanya sangat murah, hanya Rp.200 ribu-an per tahun. Namun Papanya sama sekali tak mempunyai tabungan, karena gaji bulanan selalu habis untuk mencukupi kebutuhan.
Satu diantara aset berharga yang mereka miliki hanyalah televisi tabung 14 inch. Itulah hiburan keluarga satu-satunya yang mereka nikmati di rusun yang terletak kecamatan Bukit Kecil, Kota Palembang. Namun suatu ketika, aset berharga tersebut pecah lantaran tidak sengaja tersenggol Richard. Mamanya sempat marah karena tak ada lagi hiburan keluarga. Namun ada hikmahnya, justru anak-anak malah bisa konsentrasi belajar. Â
Di rusun ada juga bangku duduk yang terbuat dari plastik. Namun suatu ketika bangku itu terbakar kena lilin. Biasanya saat mati lampu, mereka menggunakan cahaya lilin sebagai penerang ruangan. Maklum mereka tidak memiliki lampu emergency. Selebihnya nyaris tak ada barang yang berharga di rusun tersebut.
Meski tinggal di rusun yang sangat padat, namun Richard kecil dikenal sebagai anak rumahan. Ia jarang bergaul dengan anak-anak tetangga. Sepulang sekolah, dia habiskan waktunya di rumah. Belajar mengerjakan PR atau bermain bersama adiknya.
Meski dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi, namun orangtuanya ingin memberikan yang terbaik untuk Richard dan adiknya. Misalnya urusan makanan, anak-anak selalu mendapat asupan gisi yang cukup. Ketika orangtua memasak ikan, bagian badan ikan yang banyak dagingnya diberikan pada anak-anaknya.Â
Sedangkan bagian kepala atau ekor yang durinya banyak, dikonsumsi orangtuanya. Begitu juga ketika memasak sayur sup, anak-anak mengkonsumsi daging dan sayur, sedangkan orangtua cukup makan kuahnya saja. Kedua orangtua lebih mengutamakan makanan yang bergisi untuk anaknya, sedangkan mereka rela makan seadanya.
Rusun Ilir Kota Palembang
Setiap hari, sang Mama selalu memasak sayur mayur dan lauk pauk untuk kebutuhan gizi dua buah hatinya. Dengan memasak sendiri, biayanya juga relatif lebih murah, sehingga bisa menghemat pengeluaran. Richard dan adiknya selalu makan apa saja hidangan yang disajikan Mamanya. Semua menu yang disajikan sang Mama biasanya habis mereka santap. Dari ketrampilan memasak, kadang Mama juga berjualan tekwan kiloan dan menerima pesanan dari teman-temannya.
Selain makanan, urusan pakaian pun orangtuanya selalu mengalah. Mereka biasanya membelikan baju yang bagus-bagus untuk anaknya agar penampilan anak-anak bersih dan rapi.Â
Orangtua rela memakai baju ala kadarnya demi sang anak. Apalagi urusan pakaian, Richard kecil suka mengenakan baju yang bersih dan rapi. Berbeda dengan adiknya, David, yang penampilannya terkesan apa adanya.
Tak hanya soal makanan dan pakaian, orangtua Richard sangat peduli dengan pendidikan. Mereka ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Mereka meyakini, pendidikan adalah salah satu cara untuk merubah nasib. Jika pendidikan Papanya hanya setingkat SMP, sedangkan Mamanya cuma lulusan SMA, mereka ingin kedua anaknya lebih tinggi lagi. Orangtua berjanji menyekolahkan anak-anaknya hingga Sarjana meski tantangannya cukup berat.
Richard Lee dan David Lee
Mereka yakin dengan bekal pendidikan yang tinggi, akan meningkatkan status sosial dan ekonomi keluarga. Apalagi anak-anak memiliki masa depan yang masih panjang.Â
Orangtua tidak ingin kehidupan anak-anak nanti seperti mereka yang hidupnya penuh kekurangan. Sang Mama sering memotivasi anaknya agar kelak hidup menjadi orang yang sukses. Ketika Richard dan David masih kecil, sang Mama saat memandikan mereka sering mengatakan, agar mereka nanti mempunyai banyak uang. Kedua anak itu pun mengangguk. Sebuah pesan yang tersirat agar kelak mereka berdua menjadi orang kaya.
Selain pendidikan sekolah, pendidikan rohani juga ditanamkan orangtua sejak dini. Semasa kecil, Papanya rajin mengajak anak-anaknya ibadah ke gereja katedral Katholik di Palembang. Pendidikan agama yang masih membekas, misalnya Richard hafal doa-doa seperti doa Novena, Salam Maria dan sebagainya. Sebagai jemaat yang rajin sembahyang, orangtuanya pun dekat dengan Pastor Paroki (kepala para Pastor).
Ketika Richard berumur 5 tahun, Pastor Paroki atau disebut Romo di gereja menanyakan kenapa anak-anak belum disekolahkan. Keluarga kecil itu menjawab belum memiliki uang untuk sekolah.Â
Kemudian atas bantuan Romo, Richard disekolahkan di TK B, karena untuk masuk TK A mereka tidak mempunyai biaya. David pun sempat masuk TK menjadi "anak bawang" atau hanya uji coba belajar selama seminggu di TK. ***
Â
"Orangtua selalu memberikan yang terbaik untuk anak, karena kehidupan mereka masih panjang "
Dudun Parwanto
Penulis Biografi dr Richard LeeÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H