Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pergulatan Iman dan Materialisme

13 Agustus 2021   21:13 Diperbarui: 13 Agustus 2021   21:17 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis Dudun Parwanto

seorang Ghostwriters dan owner Bianglala Publishing  

Abul Hasan Ali Nadwi, merupakan seorang ulama terkemuka India yang sangat populer dengan bukunya Sirah Nabawiyah. Selain itu, karya-karya beliau sangat mumpuni, satu diantaranya buku tentang "Pergulatan Iman dan Materialisme" yang mengupas pesan dan hikmah dari surat al Kahfi. Buku ini sangat berbobot dalam meruntuhkan pemikiran dan peradaban Barat yang sarat dengan aliran hedonisme dan materialisme. Abul Hasan Ali Nadwi ingin menyadarkan pada umat, bahwa kekuasaan Alllah jauh diatas teori alamiah yang sering didewa-dewakan manusia. 

 Surat Al Kahfi merupakan surat yang memiliki banyak keutamaan dan hikmah. Dalam kitab Al-Mukhtarah karya Al-Hafiz Ad-Diyaul Maqdisi disebutkan dari Abdullah ibnu Mus'ab, dari Manzur ibnu Zaid ibnu Khalid Al-Juhani, dari Ali ibnul Husain, dari ayahnya, dari Ali secara marfu', Rasulullah Saw bersabda:  " Artinya: Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka ia dipelihara selama delapan hari dari segala fitnah; dan jika Dajjal keluar, maka ia dipelihara dari fitnahnya." 

 Karena keutamaan tersebut, maka umat Islam dianjurkan untuk membaca Surat Al Kahfi, paling tidak 10 ayat pertama agar selamat dari zaman yang penuh fitnah. Jika kita diberi kesempatan bertemu Dajjal, maka kita harus menghindar, karena tak ada manusia yang sanggup mengalahkannya. Bahkan seorang yang alim luar biasa pun bila bertemu Dajjal, maka dia akan tunduk dan mengikuti kemauan Dajjal. Apabila kita terpaksa harus bertemu Dajjal, maka kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk  membaca pembukaan surah Al-Kahfi. 

 Selama ini kita cenderung mempersepsi Dajjal dalam bentuk wujud mahluk.  Sedangkan Abul Hasan An-Nadwi memberi penilaian lebih dari itu, yakni memahami karakteristik Dajjal tidak hanya dalam bentuk fisik semata, namun dalam bentuk sifat, paham, dan peradaban. Bahkan, Dajjal dapat merupakan sebuah sistem yang menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Suatu peraturan yang mengajak kepada kemaksiatan merupakan sistem Dajjal.

 Dalam bukunya, Abul Hasan An-Nadwi menegaskan mengenai kandungan pokok surat al Kahfi yakni pertentangan antara pandangan dan sikap hidup kebendaan atau keduniawian, dengan pandangan dan sikap hidup yang dibentuk dari keimanan kepada Tuhan dan hari akhirat. Kisah-kisah yang disampaikan dalam surat Al Kahfi, hikmahnya adalah pertentangan antara iman dan materialisme yang menegaskan sempitnya perspektif materialistik dalam memandang dan menyikapi fenomena kehidupan ini.

 Surah Al-Kahfi berisi 4 kisah atau cerita yang sangat mengguggah hati. Pertama kisah tentang Ashabul Kahfi. Kedua kisah pemilik dua kebun. Ketiga, adalah kisah Nabi Musa dan Khidir. Dan keempat, kisah tentang Dzulqarnain. Secara singkat hikmah dari setiap kisah tersebut adalah sebagai berikut; 

 Ashabul Kahfi

Ash-habul Kahfi, adalah kisah tentang upaya para pemuda yang beriman kepada Allah, yang ingin menyelamatkan iman mereka dengan berlindung ke dalam sebuah gua. Hijrahnya mereka ke dalam sebuah gua untuk menghindari penindasan penguasa yang sangat zalim. Ini dikarenakan penguasa zalim tersebut tidak menyukai keimanan tumbuh subur di teritorialnya. 

 Kemudian Allah menidurkan para pemuda itu selama 309 tahun di dalam gua. Mereka tidur cukup lama yang secara logika, kejadian tersebut tidak masuk akal. Namun dalam kekuasaan-Nya,  sebab-sebab material (alamiah) menjadi hal yang relatif dengan bukti yang nyata. Ini merupakan kritik terhadap keyakinan materialistik yang memandang bahwa sebab-sebab alamiah akan mengarahkan dunia ini sebagaimana seharusnya, dengan melupakan faktor kuasa Tuhan. Maka ketika mereka dibangunkan, kemudian mereka keluar dari gua untuk membeli makanan.  Mereka tersadar mata uang yang mereka bawa ternyata sudah tidak berlaku lagi, karena pada masa itu sudah berganti rezim.

 Pemilik Dua Kebun

Kisah pemilik dua kebun, bertutur mengenai keangkuhan seorang pemilik kebun yang diberikan kekayaan pertanian berlimpah ruah, salah satunya buah anggurnya sangat produktif, yang terus menerus berbuah tanpa henti. Diantara celah-celah kebun-kebun itu terdapat sungai-sungai yang mengalir. Sungguh sebuah anugerah yang luar biasa pemberian Allah SWT. 

 Namun sang pemilik 2 kebun, tidak mengakui faktor kekuasaan Allah yang menumbuh-kembangkan semua yang dimilikinya. Pemilik kebun merasa kehebatan (ilmu dan produktifitas-nya) saja yang menjadi faktor utama kesuksesannya. Dia juga merasa memiliki banyak harta dengan pengikut yang sangat kuat. Dia bersikap merasa dirinya lebih tinggi daripada orang termasuk kepada seorang petani miskin, yang taat pada Allah. 

 Kemudian petani yang beriman tersebut mengingatkan pada pemilik dua kebun bahwa dalam kesuksesannya ada kekuasaan Allah, ada campur tangan Allah. Ia kemudian menyadarkan bahwa elemen-elemen seperti "maasya Allah, la quwwata illa billah" atau "insya Allah" hadir dalam kehidupannya, serta dalam kesuksesan perkebunannya. Namun petani kaya raya itu mengingkarinya dan kemudian  Allah pun akhirnya membinasakan kebunnya. 

 Musa dan Khidhir

Kisah Musa dan Khidhir merupakan kisah yang sangat mahsyur. Sebuah kisah mengenai terbatasnya sudut pandang yang sering kali kita gunakan dalam memahami atau menilai fenomena alam. Apa yang kita ketahui, kadang  hanya merupakan zahir-nya saja dari kehidupan dunia ini. Kita tak  bisa memaknai kandungan nilai dari setiap kejadian. 

 Kisah ini menegaskan perlunya kita memiliki sikap rendah hati untuk mengakui keterbatasan pandangan empiris kita terhadap kehidupan. Ilmu empiris hanya bergulat dengan alam syahadah). Sedang kehidupan gaib, tiada kita ketahui sedikitpun, kecuali apa yang diajarkan oleh Allah.

 Nabi Musa AS adalah satu diantara waliyullah yang utama. Namun Nabi Musa mempunyai karakter yang sangat unik, sehingga Allah sangat sayang kepadanya. Bukti sayangnya Allah, yakni menjadi Nabi Musa menajdi Nabi yang paling banyak disebut namanya di dalam Al Quran. Nah suatu ketika, Nabi Musa AS sedang berkhutbah di hadapan Bani Israil, kemudian Beliau ditanya kaumnya "ya Musa, siapa manusia yang paling pintar? Jawab Nabi Musa "anna aalam",  sayalah orang yang paling pintar. Ucapan tersebut membuat Allah kecewa, karena ada kesombongan. Kemudian Allah mengutus Nabi Musa menemui Nabi Khidir yang memiliki kualitas pengetahuan ruhiah yang lebih hebat ketimbang Nabi Musa. 

 Kisah Zulqarnain

Kisah Zulqarnain, bercerita mengenai seorang yang diberikan kekuasaan sangat besar oleh Allah, tetapi dia menggunakannya secara bijak dan adil. Kisah mengenai pentingnya memadukan sebab-sebab alamiah (material) dengan visi moral yang bersumber dari keimanan. Sehingga kekuasaannya tidak berubah menjadi Dajjal yang menyesatkan dan menzalimi banyak orang.

 Seperti diterangkan Alquran, Dzulkarnain melakukan tiga ekspedisi atau perjalanan penting, yakni ke bumi belahan barat, timur, hingga akhirnya ke daerah-daerah yang terdapat barisan pegunungan. Ia senantiasa berhadapan dengan berbagai kaum pada setiap ekspedisi. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah gunung yang berapitan, dan membangun benteng yang kuat sebagai penghalang antara Ya'juj dan Ma'juj dengan manusia. Kisah tersebut menjadi refleksi betapa Dzulqarnain adalah seorang mukmin yang bertauhid, dan tidak menyimpang dari jalan keadilan. 

 Dari keempat cerita diatas memberi satu simpulan bahwa, manusia tidak mempunyai kekuatan apapun, karena semua daya upaya dan kekuasaan hanyalah milik Allah. Manusia harus mempunyai sifat tawadlu atau rendah diri baik kepada sesama, apalagi kepada Allah SWT.

 Sifat Tawadlu

Tawadhu yakni sifat yang merasa dirinya rendah dan tidak merasa dirinya lebih baik daripada orang lain. Mereka yang ber-tawadhu selalu sadar bahwa kenikmatan, rezeki, kebahagiaan, dan segala hal yang ada di dunia ini terjadi karena atas izin Allah. Dengan tawadlu, maka Allah akan meninggikan derajat kita, seperti dalam kutipan Hadits di bawah;  Artinya: "Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Dan tidaklah Allah menambahkan kapada seorang hamba dengan sebab (suka) memaafkan (kesalahan orang lain) melainkan kemuliaan. Dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu' karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.". (Diriwayatkan oleh Muslim no.2588, At-Tirmidzi no.2029, dan ia berkata; "Hadits ini Hasan Shohih", Ad-Darimi I/396, Ahmad II/386).

 Tawadhu menjadi ajaran Islam yang paling utama. Ada sebuah peribahasa yang luar biasa dalam kitab Ma'alim fi tarikh karya Syekh Abdul Aziz Abdul Rashidon. Beliau mengatakan dalam bahasa yang sangat indah. Bertawadhulah kalian, dan rendah hatilah maka kamu akan seperti bintang, dimana orang melihatnya bercahaya di atas genangan air, padahal  tempatnya sangat tinggi diatas langit. Sebaliknya janganlah seperti asap, yang mengangkat dirinya membumbung tinggi ke angkasa, padahal dia berada di posisi yang sangat rendah.

Rendahkanlah dirimu

Niscaya kau menjadi seperti bintang,

Orang melihatnya bercahaya di atas genangan air,

Padahal ia berada tinggi di atas....

Janganlah kau menjadi seperti asap

Yang mengangkat dirinya ke angkasa

Padahal dia (asalnya) rendah 

(Dalam kitab Maalim fi thariiq Thalabil 'Ilmi, karya syaikh Abdul Aziz bin Abdullah As-sidhan, Hlm. 267) 

Tawadlu sangat penting sebagai akhlak kepribadian seorang muslim. Sebagaimana contoh, ada seseorang yang sebenarnya masyarakat sudah tahu dimana posisinya. Namun dia ingin selalu tampil di depan. Jika duduk dalam sebuah majelis, jika dia tidak mendapat  tempat di barisan depan, dia tersinggung. Orang seperti ini hakikatnya tidak bersikap tawadlu. Sebenarnya skornya 6, tapi ingin dihargai dengan angka 9. Dia merasa diriinya lebih tinggi yang lain. 

Namun ada juga orang yang posisinya di tengah masyarakat mendapat  nilai 9, namun dia merasa dirinya hanya bernilai 6. Sebagai contoh, seorang ustad yang sangat terkenal. Jika dia datang ke sebuah majelis dan menjadi pembicara atau khatib, maka pertama kali yang dia lakukan yakni akan menyalami semua jamaah. Namun dalam kesempatan yang lain, ketika dia datang ke majelis dan tidak menjadi pembicara, serta datangnya terlambat, dia tidak mau duduk di depan, tapi duduk di barisan belakang. Meskipun orang-orang memintanya duduk di depan, dia tetap tidak bersedia. Itulah sifat tawadhu sehingga orang menjadi respek. 

Abdullah bin Al-Mu'taz RA berkata: "Penuntut ilmu yang bersikap tawadhu' adalah orang yang banyak ilmunya, sebagaimana tempat yang rendah lebih banyak menampung air." (Dikeluarkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi di dalam Al-Jaami' Li Akhlaaqi Ar-Roowi no.345). Sikap tawadlu selalu memandang orang lebih tinggi dan selalu memandang positif orang lain. 

Di dunia ini, kita akan menjumpai orang-orang yang merasa berjasa baik dalam organisasi, kemasyarakatan, perusahaan dan sebagainya. Orang ini seringkali sikapnya menyiratkan pesan, 'kalau nggak ada saya, nggak jadi tuh barang." Biasanya orang yang seperti itu, malah kontribusinya tidak sepadan dengan apa yang ia katakan. Dia ingin menonjolkan kelebihannya untuk menutupi kelemahannya. Padahal semua itu Laa haula wa lla quwata ila billah.

Menurut Imam Al-Hasan Al-Bashri, tawadhu' itu jika setiap kali seseorang keluar rumah dan bertemu seorang muslim, ia "selalu menyangka bahwa orang itu lebih baik daripada dirinya".

Ketika ia melihat orang kafir yang baru masuk Islam, ia mengatakan betapa beruntungnya orang tersebut. Dosa dosanya hapus laksana seorang bayi yang baru lahir. Sedangkan saya begitu banyak bergelimang dosa.

Ketika ia melihat orang yang sudah tua, ia berkata bahwa betapa beruntungnya dia. Ia begitu banyak pahala dengan ibadah-ibadahnya, sedangkan aku masih banyak bergelimangan dengan dunia.

Ketika ia melihat ada seorang pemuda yang rajin beribadah, ia berkata betapa beruntungnya dia masih muda sudah rajin ibadah, betapa besar pahalanya. Ia sudah mengumpulkan kebaikan kebaikan hingga hari tuanya. Sedangkan sisa usiaku untuk beribadah tinggal sedikit. 

Ketika ia melihat orang fajir yang banyak maksiat maka ia berkata, bisa jadi dia lebih baik dari aku, bisa jadi ia bertaubat hingga Allah mengampuni semua dosa. Sedangkan akupun tiada yg menjamin bisa husnul khotimah. 

Ketika melihat orang yang berilmu dia berkata, betapa beruntungnya ia bisa berilmu dan dekat dengan Tuhan.

Ketika ia melihat orang bodoh ia pun berkata betapa beruntungnya dia tidak berilmu, bisa jadi Allah mengampuninya, sedangkan untuk aku, Allah memberikan banyak ilmu tapi banyak tidak mengamalkan.

Ketika ia melihat tukang sampah, ia mengatakan bahwa akulah tukang sampah, akulah orang yang menyampah, sedangkan dia adalah tukang kebersihan yang mulia.

Ketika ia mendapatkan staf atau bawahan yang sangat mengesalkan, ia pun tetap tersenyum saja, ia mengatakan bahwa bisa jadi orang itu Allah turunkan untuknya, untuk melatih kesabarannya. Justru itulah nilai mahal dari orang tersebut dan ia perlu berterima kasih atasnya. 

Ketika ada orang lain mencacinya atau mencelanya, ia tidak marah bahkan tersenyum. Dan ia berkata, bisa jadi diriku sebenarnya lebih buruk dari cacian dan makiannya.

Ketika ada orang yang memujinya, ia tidak lantas berbangga hati dan sombong. Ia berkata bisa jadi penilaian Allah atasku tidak seperti itu. Sebenarnya aku tidak pantas mendapatkan pujian tersebut.

Ketika ia melihat orang lain, ia merasa orang tersebut bisa jadi, lebih baik dari dirinya, dan ia tidak merasa bahwa ia lebih baik dari orang lain tersebut.

Maka ia akan menghormati orang lain, akan menghargai orang lain, bisa mendengar kebaikan dari orang lain

Sombong atau Takabur

Kebalikan dari sikap tawadlu adalah sikap tinggi hati, sombong atau takabur. Merasa dirinya paling kuat, lebih baik dan lebih hebat daripada orang lain. Sombong atau alkibri'a tidak layak disematkan kepada mahluk, sebagaimana hadits Rasulullah SAW  Kesombongan adalah selendang-Ku, kebesaran adalah sarung-Ku, barangsiapa mengambil salah satu "dari keduanya dari-Ku, maka ia akan Aku lemparkan ke dalam neraka."  HR Muslim:

Dalam hadits lain juga dikatakan : "Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan. Seorang laki-laki bertanya, Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia."

 Sebagai manusia kita tidak pantas bersikap sombong. Sehingga dalam hadist Muslim dikatakan tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar biji sawi. Sombong sedikit saja bisa menjadi masalah yang sangat besar. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata: Rasulullah SAW (yang artinya) :"Ada tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan (pelakunya) ialah; 1. Sifat kikir yang selalu ditaati,2. Hawa nafsu yang selalu diikuti,3. Dan seseorang yang merasa bangga diri. 

 Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan (pelakunya) ialah; 1. Bertakwa kepada Allah di waktu sepi maupun ramai,2. Mengatakan yang haq dalam keadaan ridho maupun benci,3. Dan bersikap sederhana ketika kaya maupun miskin." (Hadits ini derajatnya Hasan sebagaimana dinyatakan oleh Al-Mundziri di dalam At-Targhib wa At-Tarhib I/162, dan syaikh Al-Albani di dalam Silsilatu Al-Ahaadiits Ash-Shohiihah no.1802).

 Seperti dalam kisah pemilik dua kebun yang diberi nikmat besar oleh Allah tetapi ia malah lupa dan merasa dirinya lebih hebat dari yang lain. Hal itu banyak menjerumuskan orang. Jika Allah memberi kita harta, kadang-kang kita lupa. seakan-akan harta itu menjadi hal yang pokok. Sikap seperti itu membuat pemilik dua kebun dalam keadaan mendzalimi dirinya sendiri. Apa maksud mendzalimi dirinya sendiri? Karena kesombongannya sehingga dampaknya akan kembali pada dirinya sendiri, bukan ke orang lain. Sama seperti Qorun, ketika dia mengatakan hartanya adalah hasil ikhtiar dan kehebatannya, maka dia telah membuat masalah yang sangat besar kepada dirinya sendiri. 

 Dalam kisah Nabi Musa AS juga, ketika Nabi Musa merasa paling pintar maka Allah memerintahkannya bertemu Nabi Khidir. Pertama kali, Khidir mengatakan pada Nabi Musa, "kamu tidak akan sabar jika ikut denganku". Namun Nabi Musa memaksa sembari mengatakan "insyaallah aku sabar dan tak akan menentangmu." Tapi apa yang terjadi, dalam setiap kejadian, apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir selalu diprotes Nabi Musa. Padahal apa yang dilakukan Khidir adalah untuk kebaikan, karena Khidir tahu apa yang akan terjadi ke depan, hal yang sama sekali tidak diketahui Nabi Musa.

 Pelajaran yang bisa dipetik, kita diperintahkan untuk tidak cinta dunia, apalagi sampai membabi buta.. Cinta dunia atau hubbudunya hanya akan membuat hidup menjadi gelisah, stress, dan tidak tenang. Kebalikannya jika kita cinta kepada Allah dan cinta akan akhirat, maka akan membuat hidup kita tenang, sabar dan syukur. 

 Cinta kepada Allah dengan cinta kepada dunia itu ibarat sebuah timbangan yang bertolak belakang. Jika cinta pada dunia tinggi, maka cinta akhirat akan rendah. Begitu juga sebaliknya, cinta kepada Allah rendah karena cinta kita kepada dunia kita akan tinggi. Maka Al Quran mengingatkan kita dengan kisah pemilik dua kebun agar kita selalu menempatkan dunia dibawah rasa cinta kita pada Allah. Jika kita mendewakan akal dan intelektual, serta gelar, maka kita akan diingatkan kisah tentang Nabi Musa AS. Begitu kita sudah menekan pemikiran materialisme, maka kecintaan kita kepada akhirat akan bertambah tinggi.

 Sikap materialisme hingga saat ini masih banyak terjadi. Sebagai contoh seorang Ibu yang akan menikahkan anaknya. Biasanya calon mertua selalu menanyakan apa pekerjaan calon menantunya, siapa orang tuanya dan sebagainya. Padahal Rasulullah SAW menasehati jika ada seseorang yang meminang anakmu dan sudah jelas agamanya, maka nikahkanlah. Sebab jika tidak dinikahkan, maka akan  terjadi fitnah yang besar di muka bumi. Materialisme sudah menjadi ideologi atau "agama" bagi kebanyakan manusia. Jika dalam diri kita terdapat jiwa materialisme sebenarnya kita sudah menjadi pengikut Dajjal. Materailisme identik dengan Dajjal karena Dajjal adalah mahluk bermata satu yang menyimbolkan hanya melihat sisi dunia saja, dan tidak melihat kepada akhirat. 

 Pelajaran tawadlu yang paling mendasar adalah menyadari apa yang kita miliki bukanlah milik kita dan bukan dari hasil kerja keras kita, namun semua itu adalah karena karunia dan kekuasaan Allah SWT belaka.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun