Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pergulatan Iman dan Materialisme

13 Agustus 2021   21:13 Diperbarui: 13 Agustus 2021   21:17 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sebagai manusia kita tidak pantas bersikap sombong. Sehingga dalam hadist Muslim dikatakan tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar biji sawi. Sombong sedikit saja bisa menjadi masalah yang sangat besar. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata: Rasulullah SAW (yang artinya) :"Ada tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan (pelakunya) ialah; 1. Sifat kikir yang selalu ditaati,2. Hawa nafsu yang selalu diikuti,3. Dan seseorang yang merasa bangga diri. 

 Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan (pelakunya) ialah; 1. Bertakwa kepada Allah di waktu sepi maupun ramai,2. Mengatakan yang haq dalam keadaan ridho maupun benci,3. Dan bersikap sederhana ketika kaya maupun miskin." (Hadits ini derajatnya Hasan sebagaimana dinyatakan oleh Al-Mundziri di dalam At-Targhib wa At-Tarhib I/162, dan syaikh Al-Albani di dalam Silsilatu Al-Ahaadiits Ash-Shohiihah no.1802).

 Seperti dalam kisah pemilik dua kebun yang diberi nikmat besar oleh Allah tetapi ia malah lupa dan merasa dirinya lebih hebat dari yang lain. Hal itu banyak menjerumuskan orang. Jika Allah memberi kita harta, kadang-kang kita lupa. seakan-akan harta itu menjadi hal yang pokok. Sikap seperti itu membuat pemilik dua kebun dalam keadaan mendzalimi dirinya sendiri. Apa maksud mendzalimi dirinya sendiri? Karena kesombongannya sehingga dampaknya akan kembali pada dirinya sendiri, bukan ke orang lain. Sama seperti Qorun, ketika dia mengatakan hartanya adalah hasil ikhtiar dan kehebatannya, maka dia telah membuat masalah yang sangat besar kepada dirinya sendiri. 

 Dalam kisah Nabi Musa AS juga, ketika Nabi Musa merasa paling pintar maka Allah memerintahkannya bertemu Nabi Khidir. Pertama kali, Khidir mengatakan pada Nabi Musa, "kamu tidak akan sabar jika ikut denganku". Namun Nabi Musa memaksa sembari mengatakan "insyaallah aku sabar dan tak akan menentangmu." Tapi apa yang terjadi, dalam setiap kejadian, apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir selalu diprotes Nabi Musa. Padahal apa yang dilakukan Khidir adalah untuk kebaikan, karena Khidir tahu apa yang akan terjadi ke depan, hal yang sama sekali tidak diketahui Nabi Musa.

 Pelajaran yang bisa dipetik, kita diperintahkan untuk tidak cinta dunia, apalagi sampai membabi buta.. Cinta dunia atau hubbudunya hanya akan membuat hidup menjadi gelisah, stress, dan tidak tenang. Kebalikannya jika kita cinta kepada Allah dan cinta akan akhirat, maka akan membuat hidup kita tenang, sabar dan syukur. 

 Cinta kepada Allah dengan cinta kepada dunia itu ibarat sebuah timbangan yang bertolak belakang. Jika cinta pada dunia tinggi, maka cinta akhirat akan rendah. Begitu juga sebaliknya, cinta kepada Allah rendah karena cinta kita kepada dunia kita akan tinggi. Maka Al Quran mengingatkan kita dengan kisah pemilik dua kebun agar kita selalu menempatkan dunia dibawah rasa cinta kita pada Allah. Jika kita mendewakan akal dan intelektual, serta gelar, maka kita akan diingatkan kisah tentang Nabi Musa AS. Begitu kita sudah menekan pemikiran materialisme, maka kecintaan kita kepada akhirat akan bertambah tinggi.

 Sikap materialisme hingga saat ini masih banyak terjadi. Sebagai contoh seorang Ibu yang akan menikahkan anaknya. Biasanya calon mertua selalu menanyakan apa pekerjaan calon menantunya, siapa orang tuanya dan sebagainya. Padahal Rasulullah SAW menasehati jika ada seseorang yang meminang anakmu dan sudah jelas agamanya, maka nikahkanlah. Sebab jika tidak dinikahkan, maka akan  terjadi fitnah yang besar di muka bumi. Materialisme sudah menjadi ideologi atau "agama" bagi kebanyakan manusia. Jika dalam diri kita terdapat jiwa materialisme sebenarnya kita sudah menjadi pengikut Dajjal. Materailisme identik dengan Dajjal karena Dajjal adalah mahluk bermata satu yang menyimbolkan hanya melihat sisi dunia saja, dan tidak melihat kepada akhirat. 

 Pelajaran tawadlu yang paling mendasar adalah menyadari apa yang kita miliki bukanlah milik kita dan bukan dari hasil kerja keras kita, namun semua itu adalah karena karunia dan kekuasaan Allah SWT belaka.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun