Mohon tunggu...
Hasudungan Hutasoit (Hts S)
Hasudungan Hutasoit (Hts S) Mohon Tunggu... Sales - Kompasianer abal-abal seperti dulu masih

Kalau tidak bisa peluk ayahmu, peluklah anakmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akuntansi Batak, Betulkah Orang Batak "Menjual" Putrinya?

22 Juni 2019   23:47 Diperbarui: 23 Juni 2019   00:02 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meluruskan Pemahaman Tentang "Tuhor", Mahar Pernikahan Batak Toba\

Unsur-unsur akuntansi yang diuraikan Tinker (dikutip dari Carmona dkk, 2004) yaitu sebagai penyediaan alternatif valuasi (valuation of alternatives), memfasilitasi kegiatan pertukaran (reciprocity), dan penentuan klaim ekonomi dan hubungan sosial secara umum (adjudicating economic claims and social relations).

Dalam tulisan ini sengaja saya tidak membahas "sinamot", suatu konsep yang berkaitan dengan mas kawin (mahar) yang diterima dalam prosesi pernikahan. Seingat saya, masalah itu sudah pernah ditulis seorang mahasiswi dari salah satu kampus di Jakarta dalam skripsinya berjudul "akuntansi sinamot". Saya masih mencarinya (skripsi tersebut) sebelum saya turut serta menulis thema yang sama.

Dalam tulisan ini saya akan menggunakan konsep "tuhor" yang sering disalahartikan dengan semena-mena baik oleh pihak luar maupun pihak dalam masyarakat Batak Toba. Karena istilah "tuhor" itu sendiri arti harafiahnya adalah beli, maka dengan semena-mena orang mengatakan bahwa "putrinya telah dijual" atau "menantu perempuannya telah dibeli".

Benarkah anggapan demikian? Mari kita simak uraian berikut ini.

 Pra Dalihan Na Tolu 

Dalihan Na Tolu yang kita kenal sekarang ini tidak langsung ada bersamaan dengan terbentuknya masyarakat Batak Toba. Kalau kita periksa ke cerita-cerita kuno mite Batak Toba, maka akan kita temukan pada awal-awal cerita leluhur kita tidak memiliki unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Dalam satu versi mite Batak Toba, konon manusia pertama itu menetas dari 3 butir telur suatu makhluk ghaib bernama Manuk Hulambu Jati. 

Ketiganya bernama: Ompu Tuan Batara Guru, Ompu Tuan Soripada, Ompu Tuan Mangala Bulan. Tidak diceritakan dari mana ketiga orang pertama ini mengambil isteri. Jadi tidak ada diceritakan hulahula-nya (pihak pemberi isteri). 

Tetapi kemudian ketiga orang ini saling kawin mengawinkan anak. Pasangan pertama yang tercatat ialah putra dari Ompu Tuan Soripada bernama Siraja Endapati dengan putri dari Ompu Tuan Batara Guru yang bernama Siboru Sorbajati.

Siboru Sorbajati sempat menolak pertunangan itu. Dia tak bisa menerima Siraja Endapati. Dalam satu kunjungan sebelum mereka resmi dipersatukan dalam satu rumah tangga, Siboru Sorbajati melihat dan mengetahui wujud tunangannya itu ternyata berupa "ilik", sejenis tokek. Tentulah dia amat ketakutan dan segera pulang ke rumahnya. 

Dengan terengah-engah dia mengadu ke ayahnya, "Saya tidak berkenan menikah dengan orang itu, dia bukanlah manusia" Ayahnya, Ompu Tuan Batara Guru menjawab, "Tidak bisa. Saya telah menerima tuhor dari Ompu Tuan Soripada. Kau jangan mengelak. Jika kau mengelak, maka kita akan dijual menjadi budak guna mengembalikan tuhor itu dua kali lipat besarnya."

Begitulah potongan kisah kuno yang bercerita tentang tuhor. Nampaknya ketika itu tuhor sepenuhnya adalah hak dan menjadi tanggung jawab orang tua si perempuan dan berlaku sebagaimana tuhor dalam transaksi jual-beli.

Dalihan Na Tolu

Penulis belum menemukan kapan lahirnya sistem Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba. Namun, diketahui kemudian bahwa tatanan bermasyarakat Batak Toba didasarkan pada tiga pilar Dalihan Na Tolu, suatu sistem yang terbentuk dari tali-temali perkawinan. 

Tiga pilar yang menopang tatanan masyarakat Batak Toba itu adalah: (1) dongan tubu (saudara satu marga); (2) hulahula (marga pihak pemberi isteri); dan (3) boru (marga pihak ke mana putri menikah). 

Dalam praktiknya saat ini, cakupan luas marga dalam satu pilar ini tidak lagi satu marga keseluruhan, tetapi terbatas pada cabang-cabang atau klan (saompu) dari pohon silsilah marga.

Itu dikarenakan jumlah anggota dalam satu marga sudah sangat banyak dan tersebar luas di berbagai daerah. Maka satu pilar yang mengambil posisi adalah yang benar-benar masih bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya dalam satu marga.

Dari unsur Dalihan Na Tolu itu dapat kita baca bahwa hulahula dan boru adalah kekerabatan yang tercipta setelah ada pernikahan.

Mari kita lihat bagaimana posisi hulahula terhadap ego. Hulahula adalah pihak yang memberikan putrinya menjadi isteri dari ego. Sejak terjadi perkawinan itu, maka ego menjadi boru dari hulahula. 

Dalam rangka untuk mendapatkan isteri tadi, ego harus memberikan mas kawin yang dalam bahasa Batak Toba disebut "tuhor". Tuhor itulah yang terkesan atau oleh sebagian orang disamakan dengan pertukaran bermotif komersial. 

Seakan putrinya dijual kepada pihak ego untuk dijadikan isteri atau menantu perempuan (karena menikahkan anak adalah kewajiban orang tua, jadi yang membayar tuhor adalah orang tua). Dalam posisi seperti ini, perempuan terkesan dianggap sebagai sesuatu yang telah dibeli.

Pendapat demikian akan terbantah jika kita cermati prinsip Pangalaho Na Tolu sebagai turunan dari Dalihan Na Tolu. Pangalaho Na Tolu adalah tiga sikap dasar terkait dengan Dalihan Na Tolu yaitu: manat mardongan tubu (sikap menjaga persaudaraan semarga), somba marhulahula (hormat kepada pemberi isteri), dan elek marboru (penuh kesabaran kepada penerima isteri).

Dalam transaksi komersial yang biasa kita lihat ada pendapat "pembeli adalah raja". Kalau kita kaitkan dalam konteks pernikahan Batak Toba, jika tuhor kita maknai sebagai pertukaran komersial, maka ego adalah pembeli, sedangkan hulahula adalah penjual. Seharusnya, hulahula sebagai penjual menghormati ego sebagai pembeli. 

Tetapi yang terjadi dalam konteks Dalihan Na Tolu adalah sebaliknya. Pemberi isteri adalah hulahula yang posisinya sangat terhormat di hadapan ego. Ego sebagai penerima isteri adalah boru yang harus selalu menghormati hulahula. 

Ego sebagai boru harus selalu siap sedia untuk membantu hulahula dalam hal diminta maupun tidak diminta. Jadi jelas terbantahkan jika fungsi tuhor dalam perkawinan Batak Toba dimaksudkan sama dengan harga dalam transaksi jual-beli.

Boli

Sebelum ada istilah tuhor, leluhur Batak Toba lebih dahulu mengenal istilah boli. Kata ini berakar dari kata pangolihon, artinya membuat mangoli atau membuat marnioli. Menjadikan seorang anak laki-laki mempunyai isteri dengan cara memberikan boli.

Boli artinya imbalan. Pada awalnya hanya istilah ini yang dikenal oleh leluhur Batak Toba. Tetapi kemudian muncullah istilah tuhor sebagai pengaruh luar yang dibawa oleh Belanda dengan budaya uang. Orang-orang Batak ketika itu pun jadi terpesona oleh gemerincing uang dan menjadi terpapar sifat materialistis.

Hal tersebut juga mempengaruhi adat perkawinan ketika itu sampai sekarang. Penggunaan istilah tuhor telah menimbulkan kesan -- terlebih-lebih bagi orang luar seperti misionaris Jerman -- seolah-olah orang Batak Toba menjual anak gadisnya waktu dikawinkan. Padahal tidaklah demikian adanya.

Bantahan tentang anggapan itu dapat ditemukan dalam perumpamaan Batak Toba yang bunyinya demikian:

Tuhor ni tigatiga do sietongon, boli ni boru sihalashonon.
(Harga daganganlah yang harus dihitung, sedangkan boli harus diterima dengan suka cita.)

Boli itu pada prinsipnya tidaklah dihitung-hitung. Walaupun dibicarakan, tetapi motifnya bukanlah untung rugi. Akhirnya, boli harus diterima dengan suka cita.

Memang masih ada beberapa dalil yang bisa disampaikan untuk membantah anggapan komersialisasi pernikahan berdasarkan mas kawin (tuhor) ini, namun kiranya paparan ini pun sudah cukup untuk menjelaskan bahwa tuhor dalam perkawinan adat Batak Toba tidak dimaksudkan untuk transaksi jual beli.

Demikian semoga bermanfaat. Jika ada masukan dan koreksi, penulis senang menerimanya.

Ref:

Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, TM Sihombing, 2000

Accounting History Research: Traditional and New Accounting History Perspectives, Carmona dkk, 2004

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun