Mohon tunggu...
Hasudungan Hutasoit (Hts S)
Hasudungan Hutasoit (Hts S) Mohon Tunggu... Sales - Kompasianer abal-abal seperti dulu masih

Kalau tidak bisa peluk ayahmu, peluklah anakmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akuntansi Batak, Betulkah Orang Batak "Menjual" Putrinya?

22 Juni 2019   23:47 Diperbarui: 23 Juni 2019   00:02 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam transaksi komersial yang biasa kita lihat ada pendapat "pembeli adalah raja". Kalau kita kaitkan dalam konteks pernikahan Batak Toba, jika tuhor kita maknai sebagai pertukaran komersial, maka ego adalah pembeli, sedangkan hulahula adalah penjual. Seharusnya, hulahula sebagai penjual menghormati ego sebagai pembeli. 

Tetapi yang terjadi dalam konteks Dalihan Na Tolu adalah sebaliknya. Pemberi isteri adalah hulahula yang posisinya sangat terhormat di hadapan ego. Ego sebagai penerima isteri adalah boru yang harus selalu menghormati hulahula. 

Ego sebagai boru harus selalu siap sedia untuk membantu hulahula dalam hal diminta maupun tidak diminta. Jadi jelas terbantahkan jika fungsi tuhor dalam perkawinan Batak Toba dimaksudkan sama dengan harga dalam transaksi jual-beli.

Boli

Sebelum ada istilah tuhor, leluhur Batak Toba lebih dahulu mengenal istilah boli. Kata ini berakar dari kata pangolihon, artinya membuat mangoli atau membuat marnioli. Menjadikan seorang anak laki-laki mempunyai isteri dengan cara memberikan boli.

Boli artinya imbalan. Pada awalnya hanya istilah ini yang dikenal oleh leluhur Batak Toba. Tetapi kemudian muncullah istilah tuhor sebagai pengaruh luar yang dibawa oleh Belanda dengan budaya uang. Orang-orang Batak ketika itu pun jadi terpesona oleh gemerincing uang dan menjadi terpapar sifat materialistis.

Hal tersebut juga mempengaruhi adat perkawinan ketika itu sampai sekarang. Penggunaan istilah tuhor telah menimbulkan kesan -- terlebih-lebih bagi orang luar seperti misionaris Jerman -- seolah-olah orang Batak Toba menjual anak gadisnya waktu dikawinkan. Padahal tidaklah demikian adanya.

Bantahan tentang anggapan itu dapat ditemukan dalam perumpamaan Batak Toba yang bunyinya demikian:

Tuhor ni tigatiga do sietongon, boli ni boru sihalashonon.
(Harga daganganlah yang harus dihitung, sedangkan boli harus diterima dengan suka cita.)

Boli itu pada prinsipnya tidaklah dihitung-hitung. Walaupun dibicarakan, tetapi motifnya bukanlah untung rugi. Akhirnya, boli harus diterima dengan suka cita.

Memang masih ada beberapa dalil yang bisa disampaikan untuk membantah anggapan komersialisasi pernikahan berdasarkan mas kawin (tuhor) ini, namun kiranya paparan ini pun sudah cukup untuk menjelaskan bahwa tuhor dalam perkawinan adat Batak Toba tidak dimaksudkan untuk transaksi jual beli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun