Mohon tunggu...
Hasudungan Hutasoit (Hts S)
Hasudungan Hutasoit (Hts S) Mohon Tunggu... Sales - Kompasianer abal-abal seperti dulu masih

Kalau tidak bisa peluk ayahmu, peluklah anakmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cinta Bukanlah Pengikat Utama Keutuhan Pernikahan Batak Toba

21 Juni 2019   18:40 Diperbarui: 21 Juni 2019   18:46 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau membicarakan cinta tentu akan banyak pendapat mengenainya. Bahkan jenis-jenisnya pun beragam di perbincangkan, misalnya: cinta monyet, cinta karet, dan lain-lain. Dalam pelajaran agama Kristen waktu saya SMP, guru agama kami menerangkan ada empat jenis cinta: storge, eros, phileo, dan agape. Keempat nama jenis cinta ini berasal dari bahasa Yunani. Storge adalah cinta orang tua kepada anak-anaknya dan sebaliknya. Eros merupakan jenis cinta tercampur gairah asmara antara pria dan wanita. Phileo merupakan cinta antar sahabat yang tidak terkait hubungan darah. Sedangkan agape merupakan cinta  yang tulus tanpa perhitungan.

Bahasa Batak Toba menyebut cinta dalam satu kata yaitu holong. Jika ada jenisnya, maka tinggal ditambahkan kata keterangan di belakangnya. Misalnya untuk cinta yang abadi, bahasa Batak Tobanya ialah holong na manontong. Inilah jenis holong yang sesungguhnya dalam pengertian filsafat Kierkegaard. Sedangkan holong atau cinta yang lain yang berubah-ubah bukanlah holong. Artinya keempat jenis holong dalam bahasa Yunani itu merupakan holong jika dia abadi.

Dalam konteks pernikahan, cinta merupakan salah satu alasan agar dua insan menikah. Jika cintanya sangat kuat, maka baginya cukuplah alasan cinta saja untuk menikah. Tetapi kalau tipis-tipis saja, tentu ada alasan lain yang membuat orang menikah. Katakanlah untuk memenuhi keinginan orang tua. Atau agar tak sendiri lagi.

Dalam perjalanan usia pernikahan, jika cintanya adalah seperti cinta yang dimaksudkan Kierkegaard, tentu cintanya akan mengikat pernikahan untuk selamanya, kecuali kematian yang memisahkan. Seperti pesan pendeta di altar pernikahan. Tetapi manusia itu adalah bosanan. Bisa berubah perasaannya. Bosan inilah yang menjadi akar dari masalah. Bosan mendengar, bosan diperlakukan tidak baik, dan bosan yang lainnya. Itu bisa memicu keretakan mahligai rumah tangga. Cinta yang tadi sudah dikukuhkan di altar gereja oleh pendeta, sudah melemah. Ibarat lampu, cahanya kini memudar, kadang kedap-kedip. Lama-lama bisa korslet.

Begitulah pernikahan dua insan yang disatukan oleh cinta saja.

Bagaimana dengan pernikahan Batak Toba? Pernikahan Batak Toba tidak banyak menceritakan cinta. Ketika seorang pemuda atau pemudi menceritakan pergaulannya kepada orang tua, mungkin dia ditanya apakah sudah yakin dengan pilihannya. Kalau sudah yakin, maka kisah asmara mereka itu akan dibawa ke rapat penjajagan "marhori-hori dinding"  oleh keluarga laki-laki ke keluarga perempuan. Di sini sudah melibatkan keluarga dekat.

Lalu setelah itu mereka akan dibawa dalam rapat yang lebih besar yang mempertemukan keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan -- kali ini sudah dalam spektrum yang lebih luas. Pihak yang terlibat sudah lebih banyak.

Acara ini disebut "patua hata" dan "marhusip". Keluarga berunding. Lalu kedua calon mempelai ditanya tentang keseriusannya. Jika sudah sepakat, pada akhir acara ini, setiap orang diberikan sejumlah uang kecil yang dinamakan "ingot-ingot" artinya untuk mengingat bahwa hari ini sudah terjadi kesepakatan kedua belah pihak tentang rencana pernikahan kedua insan tadi. Kepada kedua calon itu diberi nasehat dengan huruf tebal dan garis bawah: "jangan macam-macam lagi, ini sudah kesepakatan keluarga".

Jadi pernikahan orang Batak Toba, selain menikahkan dua insan, juga mengikat tali kekeluargaan Dalihan Na Tolu bagi kedua pihak. Mereka nantinya akan menjadi marhulahula dan marboru.

Bagi orang Batak Toba, struktur kekeluargaan bernama Dalihan Na Tolu itu sepenuhnya terbentuk karena tali temali perkawinan. Maka kekacauan dalam perkawinan akan mengguncang struktus masyarakat tadi. Tidak diharapkan ada permasalahan di dalam lembaga perkawinan, sebab konsekuensinya menjadi rumit bagi kelompoknya.

Katakanlah jika ada kita dengar berita kekerasan dalam rumah tangga dalam keluarga Batak Toba, hal demikian itu akan membuat marga-marga terkait merasa malu. Itu merupakan konsekuensi kecil yang ditanggung marga. Lebih rumit lagi nanti jika di kemudian hari akan dilangsungkan upacara-upacara adat yang harus melibatkan unsur Dalina Na Tolu: dongan tubu, hulahula, dan boru.

Oleh karena itu, selalu diharapkan mahligai rumah tangga yang langgeng. Sedapat mungkin, andaikan cinta pun sudah pudar, pertahankanlah rumah tangga. Karena mengingat itu tadi, tali temali keluarga besar yang terikat dalam Dalihan Na Tolu oleh satu pernikahan.

Walaupun tentunya, tak ada yang bisa memilih takdirnya. Jika masalah itu datang, kadang tidak ada jalan keluar selain perceraian. Dalam hal terburuk itu terjadi, maka segala konsekuensinya pun sudah siap menerima. Adalah tugas para bijak adat untuk memberi jalan keluarnya kelak. Karena adat harus bisa memberikan solusi bagi anggota masyarakat.

Penulis bukanlah praktisi adat, ini ulasan pribadi, terbuka terhadap kritik dan masukan dari tetua/pemerhati adat Batak Toba).

Tentang Dalihan Na Tolu sudah sekilas diuraikan dalam tulisan terdahulu.

Penulis: Hasudungan Hutasoit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun