Dalam hukum adat Batak Toba, saksi adalah orang yang mendengar satu persitiwa, percakapan atau perjanjian/kontrak (na umbegesa, sibege hata atau padan). Mendengar dalam hal ini adalah orang yang terlibat langsung dalam sebuah perikatan. Mereka ini biasanya adalah laki-laki dewasa.
Dahulu sebelum ada budaya tulisan, perjanjian-perjanjian dibuat lisan. Setiap transaski penting, kecuali transaksi sehari-hari seperti meminjam cangkul, membeli hasil seekor ayam, dan sebagainya, tunduk kepada satu persyaratan umum.Â
Transaksi/perjanjian yang penting harus tunduk kepada suatu persyaratan yang ditetapkan adat kebiasaan (di bagasan adat), tata krama dan ketertiban bersama. Tidak diperkenankan melakukan perjanjian penting secara sambil lalu. Tidak juga diperkenankan dilakukan perikatan di tempat sembarangan seperti persimpangan jalan, ladang, atau di warung.Â
Sama seperti saksi yang lazimnya adalah laki-laki dewasa, transaksi juga harus ditutup oleh laki-laki dewasa. Tidak biasa transaksi/perjanjian penting ditutup oleh perempuan. Jadi setiap transaksi/perjanjian penting dalah urusan laki-laki dan harus dilakukan di antara sesama laki-laki.
Jika ada dua orang melakukan transaksi/perjanjian penting secara diam-diam, misalnya melakukan jual-beli seekor lembu atau kerbau tanpa disaksikan oleh kepala desa, penduduk kampung, atau seorang penengah, maka jika terjadi perselisihan di kemudian hari orang-orang akan mencemooh atau mencurigai sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Hal itu diungkapkan dalam umpama Batak Toba berikut:
Padan sidua-dua atik beha patolu begu, padan sitolu-tolu paopat jolma.
(Jika melakukan perikatan hanya berdua mungkin akan dihadiri setan sebagai pihak ketiga, sedangkan perikatan yang dihadiri bertiga, maka ketiganya adalah manusia yang sah mengikat janji)
Parhujur mundi-mundi, partotoran hau halak, parpadan sibuni-buni sipaguntur-guntur halak.
(Perjanjian yang dilakukan sembunyi-sembunyi akan menimbulkan keributan kelak)
Zaman dulu, perjanjian penting dibicarakan di partungkoan (pertemuan resmi di bawah sebatang pohon rindang). Mungkin juga telah dibicarakan di satu warung yang ramai pengunjungnya. Sedangkan perjanjian yang sangat penting biasanya dilakukan di rumah dengan jamuan makan (di ginjang ni sipanganon).
Untuk mempertemukan dua belah pihak, biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penengah. Penengah ini nanti akan mendapatkan upah yang disebut upa domu-domu (berasal dari kata pardomuan artinya pertemuan kesepakatan). Seorang saksi yang mendengar jalannya suatu pembicaraan untuk mencapai suatu persetujuan diharapkan juga harus mengingat isi perjanjian dan bagaimana persetujuan itu dicapai. Untuk itu dia diberikan upah mengingat yang disebut ingot-ingot.